Cerita yang Lewat Saat Mencabut Rumput di Depan Rumah

Selasa pagi berselimut mendung, gerimis turun sejak dini hari, awet pakai banget seakan diformalin, mentari belum juga muncul untuk pancarkan cahayanya, walau waktu telah menunjukkan pukul 06.30 WITA. Semua penghuni sudah berangkat, tinggal aku sendiri yang masih menunggu waktu untuk bersiap kerja karena jam kerjaku memang mulai jam delapan pagi.

Advertisement

Selagi gerimis mereda, untuk mengisi waktu aku mencabuti rumput yang tumbuh di gang depan rumah, bukan rumputnya tetangga yang konon selalu nampak lebih hijau itu loh yaa…. Maklum pagi ini lagi ada mood untuk bersih-bersih rumah sedikit walau masih rintik-rintik.

Satu-persatu rumput mulai tercabut sambil sesekali melirik orang yang lalu lalang, bergegas hendak berangkat sekolah, kerja, ke pasar atau entah kepentingan apa lagi.

Yang pasti lalu lintas kendaraan di gang cukup ramai. Pandangan mataku sekelebat menangkap bayangan tubuh seperti seorang bocah laki-laki, berjalan kaki tapi mengenakan helm, mungkin sedang nunggu ojek online pikirku, lalu mataku kembali tertuju ke arah rumput di depanku sambil terus mencabutinya satu-persatu.

Advertisement

Awalnya aku tak begitu tertarik untuk memperhatikan sebelum akhirnya datang seorang pria mengendarai sepeda motor menghampiri tampak dari bahasa tubuhnya seperti mengajak untuk naik, namun si pejalan kaki itu terus menghindar. Dalam benakku aku berpikir kenapa bocah itu kok tidak mau di bonceng?

Postur tubuhnya dari jarak sekitar seratus meter lebih nampak seperti postur seorang anak laki-laki, tingginya sekitar 140cm, agak gemuk, mengenakan celana jeans hitam, kaos abu-abu berlengan hitam. Dia terus melangkahkan kaki dengan tangan tersilang di depan dada. Semakin lama mereka semakin dekat, sambil mencabut rumput beberapa kali kulayangkan lirikan ke sudut mata mengamati tingkah laku kedua orang itu.

Advertisement

Tampak olehku, si pengendara memotong langkah si pejalan kaki dari kanan sambil mengucapkan sesuatu entah apa, tak terdengar karena jarak yang lumayan jauh dan juga diucapkan seperti bergumam. Si pejalan kaki hanya melengos belok ke sebelah kanan sepeda motor lalu melangkah terus dengan tangan yang masih tetap tersilang di dada dan bungkam seribu bahasa.

Si pengendara motor bergerak memotong langkah si pejalan kaki dari kiri, si pejalan kaki melengos ke sebelah kiri sepeda motor seperti menolak ajakan si pengendara. Kejadian itu terus berulang sampai akhirnya tinggal beberapa langkah dari tempatku berada, barulah aku ngeh kalau ternyata sosok pejalan kaki itu seorang perempuan.

Muncul tanya dalam benakku, wah ada apa dengannya? Sebenarnya sih itu bukan masalahku, hanya saja imajinasiku rupanya lagi iseng. Dalam pikiranku mencoba mencipta sebuah skenario, mungkin telah terjadi perang Bharata Yudha tadi, atau perang Pareg-reg atau mungkin penyerangan Alengka oleh Sang Rama bersama pasukan keranya.

Si pejalan kaki yang ternyata seorang perempuan bertubuh gemuk pendek tapi nampak padat dalam balutan pakaian yang dikenakannya tetap bersikukuh tak bersedia naik ke boncengan si pengendara, bahkan tampaknya tak pedulikan begitu banyak orang yang lalu lalang melihat perilakunya dijalan. Tak ada kata yang terucap dia tetap melangkah dengan tangan yang masih tetap terlipat di depan dada.

Si pengendara motor yang bertubuh jangkung mengenakan celana sobek-sobek di lutut, yang entah kekasih atau bahkan bisa jadi mungkin suaminya, juga tak mau kalah gencarnya, dia tetap berusaha mengikuti dan mengajak, berulang-ulang kali meski telah cukup panjang jarak yang di lewati, mulai dari tikungan di timur gang depan rumah sampai belok di ujung gang sebelah barat .

Terbersit dalam pikirku membayangkan andai pengendara itu adalah diriku yang punya pasangan ngambekan seperti itu, pastilah saat itu sedang menahan marah dan malu yang amat sangat. Bagaimana tidak? Pertengkaran yang terjadi di rumah harus terbuka ke ruang publik, hingga ada begitu banyak orang lewat yang lihat dan tentunya akan menduga-duga dan menilai menurut persepsi masing-masing.

Disisi lain, pikiranku juga berusaha menyelami apa yang mungkin cewek itu rasakan melalui imajinasiku. Sepertinya dia sangat-sangat marah, entah apapun penyebabnya, yang pasti sikapnya yang tampak dingin dan diam tanpa kata, sampai sejauh itu bertahan tetap berjalan kaki.

Dan ketika mereka menghilang di tikungan gang, pikiran nakalku kembali mengganggu, pikirku: "Wow sampai kemana mereka akan seperti itu?" Beberapa orang yang lewat di belakangnya nampak senyam senyum aja, entah apa yang mereka pikirkan.

Tak cuma sampai disitu saja, pikiran usilku terus menjelajah dan berimajinasi, kembali ke masa kecilku, di mana aku masih sangat sering ngambek dan kabur dari rumah kalau habis di marahi, atau ketika keinginanku akan sesuatu tak tercapai.

Bahkan kilasan pikiranku juga sampai kepada orang yang kukenal dekat dan sering ngambekan. Pemikiran ini berseliweran hingga kebawa saat aku mandi dan akhirnya terbersit untuk menjadikan sebuah tulisan yang telah selesai anda baca ketika anda sampai pada kalimat ini..

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Minimnya pendidikan tak lantas menjadi penghalang untuk terus bertumbuh menjadi lebih baik dan mengikuti perkembangan jaman https://myfirstkreatifitas.blogspot.co.id/ https://utakatikkatagambar.wordpress.com

CLOSE