#CerpenHipwee – Di Sudut Ruangan

Cerpen Di Sudut Ruangan

Di suatu tempat yang ada keberadaannya, Mei 2020

Dan pada saat aku tahu itu bakal terjadi, ada sebuah rasa di mana aku tak ingin kembali. Hanya saja sudah terasa sedikit nyaman dengan keadaan yang seperti ini. Namun, tatkala kedua mata ini dicoba untuk terbuka sejenak saja, sungguh berat yang tak tertahankan yang terasa. Pukul 21.30. Aku tak ingat sudah berapa lama aku terlelap. Aku pikir, mentari yang bersinar tadi, ternyata itu khayalan semata.

Bau. Menyengat sekali. Kumpulan-kumpulan aroma bak menimpuk wajahku setiap kali aku menggeletakkan tubuhku di atas ranjang ini. Tik, tik, tik. Jamnya berdetik cukup keras, entah mengapa. Seolah seisi ruangan dipenuhi suaranya sedang aku lebih menginginkan lolongan anjing semata. Remang-remang bohlam itu semakin membuatku terjaga saja. Sial.

Kulihat sekali lagi keluar jendela. Kupikir, memang dingin udara sekitar. Banyak embun di jendela. Rupanya, akulah yang terengah-engah napasnya. Sekali lagi, kugeletakkan raga ini dan hanyut dalam angan-angan. Sampai kapan bakal begini terus? Berbaring di atas ranjang tanpa melakukan apa-apa. Mereka bilang sih bekerja kembali. Padahal hanya bermain-main saja. Atau, aku saja yang tak mampu untuk menunjukkan wajah di depan kamera? Hidup memang tidak adil. Mereka bisa enak bergerak kesana kemari sedangkan aku terkerangkeng di dalam penjara ini sambil menunggu uluran tangan yang tak menentu kapan tibanya.

“Yok kita ke Dufan besok!”

Dungu. Manusia yang satu itu tak tahu kalau pikirannya begitu dangkal. Namun, dia kegirangan. Meloncat-loncat sampai-sampai kehabisan napasnya. Batuk-batuk ia selanjutnya. Aneh. Ada pandangan pedih ke arah kami dan aku salah seorangnya. Mereka malah menjauh. Miris. Aku pikir mereka juga manusia tapi mereka mencemooh juga ternyata ya? Kukira juga, ini tak ubahnya hanyalah sandiwara semata. Lalu, mengapa mereka semua menutup wajah mereka? Malu, katanya. Tapi, kalau mereka malu, mengapa banyak yang berkeliaran di antara mereka? Aku orang yang tak mau ambil susah, tapi apa orang-orang yang di sana itu, yang “sibuk” bekerja, sudah benar melayani mereka? Kalau sudah benar, pasti mereka berdiam diri, kan?

Lamunanku buyar seketika sesaat setelah seseorang tiba-tiba berjalan perlahan mendekatiku. Dia lagi, dia lagi. Ingin rasanya kutarik dia keluar. Sayangnya, orang cungkring yang satu ini sudah terlalu terkulai lemas. Syukurlah tak ada barang yang akan melayang ke kepala orang ini. Lucu saja, baju astronot yang ia kenakan selalu membuatku tergelak. Aku pikir, skizofrenia bukan termasuk ke dalam gejala penyakit yang kualami. Terheran diriku untuk itu muncul.

“Kenapa gak mau makan?” tanyanya.

Aku tak menghiraukannya. Bukannya kalian sudah jenuh? Kalian bahkan diabaikan sedemikian rupa. Begitulah kalimat yang selalu muncul tatkala ia “membesuk”-ku. Awalnya, kukira dia bakal langsung pergi seperti biasanya. Namun, terkaanku salah. Dia tiba-tiba mengambil jarum suntik dan memasukkan sesuatu ke selang infusku.

Dia melakukan itu juga rupanya.

“Udah gak tahan?”

Kalimatkku tak disahutinya. Dalam sekejap, bau menyengat tadi sudah hilang. Kedua mata ini semain berat saja untuk dibuka. Ahh… aku bisa berjumpa mereka juga. Sepertinya. Aku pikir ini adalah akhirnya, namun ini baru awalnya ternyata. Awal yang sudah runyam saja.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Maju tak gentar