[CERPEN] Terima Kasih Atas Segalanya, Atas Penantian Tiga Tahun yang Sia-Sia

Kisah ini bercerita tentang seorang perempuan yang mengajari saya arti sebuah penantian yang berujung kesia-siaan.

Kali ini, saya ingin bercerita tentang seorang perempuan yang mengajari saya arti sebuah penantian yang berujung kesia-siaan. Terus terang, dia adalah perempuan paling rumit yang pernah saya kenal. Kalau kau tanya siapa perempuan paling rumit di dunia ini, saya pasti akan berada di garis terdepan bahwa nominasi itu jatuh kepada dia.

Advertisement

Dia seperti tipikal perempuan pada umumnya, cantik dan manis ketika tersenyum. Senyumnya itulah yang membuat dunia saya waktu itu berubah seketika. Saat itu, saya baru patah hati dengan seorang perempuan yang sempat membuat hidup saya berantakan dan skak mat. Dia tiba-tiba datang dan kemudian mengambil bagian penting dalam sepenggal fase perjalanan hidup saya.

Sialnya, waktu itu saya baru mengenal dia di penghujung akhir masa putih abu-abu. Saya tahu dia, tapi saya tidak terlalu tertarik untuk mengenalnya. Saat itu, dia tiba-tiba meminjam buku saya untuk persiapan ujian kampus. Dia ingin kuliah di Jogja, berbeda dengan saya yang ingin kuliah di Malang.

Kesan pertama mengenalnya, dia sangat manis dan membuat saya bego seketika. Apalagi ketika dia mengembalikan buku tersebut kepada saya, seolah-olah ada daya magis yang luar biasa yang membuat saya tidak bisa berhenti memikirkan dia. Ya, itulah pertama kalinya saya jatuh hati dengan dia. Setiap malam, lagu dari James Blaunt “You’re Beautiful” terus terputar di ponsel saya. Wajah cantiknya terus terngiang di ingatan. Membuat saya kadang lupa makan hingga amnesia ketika tengah berdiskusi dengan teman.

Advertisement

Perjalanan kami masih berlanjut. Kami selalu bertukar pesan tiap hari hingga itu menjadi sebuah kebiasaan. Sehari tanpa dia seolah hidup terasa ada yang kurang. Dia seperti melengkapi kepingan-kepingan hati saya yang waktu itu masih hampa. Sampai akhirnya, saya memutuskan untuk jujur dengan diri saya sendiri. Saya mengungkapkan perasaan saya kepada dia, meskipun pada waktu itu dia belum bisa memberikan jawaban pasti. Dia merasa lebih baik kami berteman. Namun, jawaban itu terasa ambigu buat saya. Dia memang menganggap saya teman, tetapi cara dia memperlakukan saya tidak demikian. Saya merasa dia lebih dari teman. Saya merasa waktu itu saya merupakan tempat ternyaman untuk dia bercerita. Ketika saya tidak memberi kabar, dia selalu menanyakan kabar saya duluan. Seolah-olah, saya harus selalu ada untuk menemani hari-harinya.

Hubungan kami pun mulai merenggang semenjak kami kuliah di kota yang berbeda. Saya tahu, kami telah bertemu dengan orang-orang yang baru serta membuat cerita baru. Dan itu yang membuat saya kian ragu dengan dia. Saya ragu untuk bertahan dan saya pun bimbang hendak melepaskan.

Advertisement

Hari demi hari kepala saya dipenuhi rasa curiga, apalagi ketika ia mengunggah foto bersama salah satu teman lelakinya di sana. Di samping itu, dia juga pernah meminta pendapat saya tentang lelaki itu. Ah, polos sekali jalan pikirannya. Saya muak dan sakit hati ketika dia bertanya seperti itu.

Satu hal yang ada di benak saya waktu itu, dia sepertinya telah menemukan tempat bersandar yang baru yang mungkin tidak mampu saya berikan. Saya sebisa mungkin menjauh pelan-pelan, tapi anehnya dia masih kembali dan menanyakan kabar saya. Berbulan-bulan siklus itu pun terulang.

Waktu itu, tahun telah berganti dan kami pun bertemu kembali pada sebuah acara seminar kampus di SMA kami. Saya enggan menemuinya karena saya yakin dia juga tidak ada niatan untuk bertemu saya. Namun, dugaan saya salah. Dia memberanikan diri bertemu dan menyapa saya seolah-olah tidak terjadi apa-apa di antara kami berdua.

Perasaan saya waktu itu sangat kompleks. Saya ingin memperjelas kembali dan berharap keadaan akan berubah dan seperti yang saya harapkan. Memang, hubungan kami sempat membaik walau sesaat. Setiap malam saya selalu memutar lagu Payung Teduh yang berjudul Untuk Perempuan yang Sedang dalam Pelukan. Sampai saat saya menulis cerita ini pun, lagu itu masih begitu bermakna bagi saya meski dia sudah tidak lagi bersama saya.

Sayang, hubungan yang baik itupun tak berjalan lama. Dia kembali ke siklus lama. Dia memang tidak pernah serius dengan saya. Saya sudah muak menjalani kepalsuan di bawah bayang-bayang yang dia sebut dengan persahabatan. Hati saya menolak untuk bersahabat dengan dia. Saya mencintai dia dan saya ada niat untuk menjalin komitmen serius dengan dia. Alhasil, saya menghilang sempurna dari kehidupan dia. Saya pamit undur diri dan saya tidak mau menghubungi dia lagi. Saya berusaha semampu saya agar dia tidak bisa menghubungi saya lagi.

Saya pikir waktu itu cerita kami sudah selesai, tetapi takdir masih membuka kemungkinan yang lain. Tepat setahun pasca perpisahan itu, entah mengapa saya merindukan dia kembali. Saya merasa setahun tanpa dia adalah tahun paling hampa yang saya rasakan. Meskipun saya bertemu dengan orang yang baru, tetap saja dia tetap menjadi yang nomor satu dan sosoknya belum bisa tergantikan.

Rindu memang seringkali terasa sederhana dan membingungkan. Saya mencoba kembali untuk menyimpan nomor dia yang sudah lama yang hapus dari kontak saya. Tanpa saya duga, dia tiba-tiba kembali mengontak saya. Dia bertanya kabar seolah-olah tidak pernah terjadi apa-apa di antara kami berdua. Kabar saya tentu tidak baik, apalagi setelah dia datang kembali membawa harapan yang sudah saya coba bunuh berulang kali meski gagal.

Kehadiran dia membuat saya ragu dengan diri saya sendiri. Dari dulu, jalan yang kami pilih selalu memutar tanpa ujung. Saya belum menemukan kesimpulan pasti dengan hubungan kami. Namun, satu yang jelas waktu itu ialah kehadiran dia membuat saya kembali berharap atas cinta yang dulu sempat mati. Sama seperti tahun lalu, kami kembali akrab dan menjalani hari seperti kami yang dulu, meskipun saya tahu ada sesuatu yang berbeda. Mau dinalar seperti apapun, kami sudah bukan kami yang dulu.

Saya pun membuat janji untuk bertemu dengan dia jika kami sudah pulang ke kota kami. Saya mengajak dia untuk ngopi di salah satu kedai kopi yang cukup populer di kota kami dengan harapan saya menemukan jawaban yang masih menjadi tanda tanya besar dalam hidup saya.

Kami pun bertemu seperti yang sudah saya janjikan. Kami sama-sama memesan kopi. Saya pikir, waktu itu kami bisa bicara secara empat mata. Saya ingin menegaskan kembali hubungan kami berdua. Namun, dia malah mengajak salah satu temannya sehingga saya tidak bisa bicara secara intens dengan dia. Jujur, saya sangat kecewa berat dengan dia waktu itu. Rasa-rasanya, hidup saya selalu penuh kekecewaan ketika bersama dengan dia. Di satu sisi, saya pun juga dipenuhi harapan karena dia adalah perempuan yang bisa memahami dunia saya, meski saya sendiri tidak mampu memahami dunia dia yang rumit dan absurd.

Pertemuan kami di kedai kopi waktu itu menyisakan sebuah kenangan dan juga kekecewaan pada diri kami masing-masing. Saya yakin, dia sedikit kecewa dengan saya yang mungkin tidak sesuai dengan yang dia harapkan. Sama seperti siklus lama, kami kembali renggang dan jarang bertukar kabar. Namun, sekali kami bertukar kabar, kadang kami bisa membicarakan banyak hal. Saya pun memutuskan untuk menjalani hubungan yang tidak jelas itu dengan apa adanya. Mungkin, suatu saat saya akan benar-benar menemukan jawaban.

***

Tahun pun berganti dan saya masih suka memikirkan dia.

Bulan kemarin, saya ada kegiatan magang di Jogja, tepatnya di salah satu instansi pemerintah yang bergerak di bidang pengembangan dan pelestarian bahasa Indonesia. Alasan saya memilih tempat itu karena basic saya yang kuliah di jurusan bahasa. Di sisi yang lain, jujur saya ingin bertemu dia di Jogja.

Pertama kali saya sampai di sana, saya merasakan kerinduan yang teramat mendalam. Saya rindu suasana Jogja yang ramah dan penuh hal-hal yang mesti dirindukan. Di sana, saya menginap di tempat sahabat saya yang sama gilanya dengan saya kalau masalah perempuan. Bisa saya katakan, dia lebih gila dari saya karena sahabat saya telah bertahan dalam sebuah hubungan yang tak pasti selama kurang lebih delapan tahun lamanya.

Setiap malam, saya sering berdiskusi dan curhat dengan sahabat saya terkait dia yang saya rindukan. Saya mendadak ragu dan bingung, apakah saya harus menemuinya atau tidak. Saya mencoba mengumpulkan keberanian itu selama satu minggu berada di sana, hingga pada akhirnya saya memutuskan untuk mengajak dia bertemu.

Saya pikir, dia akan bersedia meluangkan waktunya untuk menemui saya. Malah yang terjadi, dia mengalihkan pembicaraan dengan alasan dia terlalu sibuk. Saya hanya bisa tertawa dengan jawaban dia yang konyol seperti itu. Barangkali, dia memang tidak merindukan saya sama sekali. Atau memang saya tidak penting bagi dia.

Setiap malam, saya seringkali ngopi di salah satu kafe dekat tempat kos sahabat saya sambil merenung di tengah deru kota Jogja. Lalu, mendengarkan lagu Kla Project yang berjudul Yogyakarta yang membuat hati saya waktu itu kian gundah gulana memikirkan dia. Jujur, dalam hati saya sangat merindukan dia dan saya ingin bertemu dengan dia. Tapi apa mau kata, dia enggan dan tidak peduli dengan saya.

Namun, perenungan yang saya lakukan selama berada di Jogja perlahan membawa saya pada ujung dari kesimpulan cerita saya selama ini. Saya hanya butuh satu alasan lagi untuk benar-benar meninggalkan dia.

Setelah kegiatan magang selesai, saya kembali ke Malang dan menjalani rutinitas seperti biasa. Saya mulai bisa ikhlas dan menganggap bahwa saya sudah tidak bisa memikirkan dia lagi.

Tapi tetap saja, keraguan itu masih sedikit mengganjal. Saya pun mencoba menghubungi dia lagi untuk yang terakhir kalinya, menanyakan jawaban yang selama ini saya cari-cari. Jawaban itu pun akhirnya muncul tanpa saya tanyakan. Dia bercerita dengan sendirinya, tentang seseorang yang selama ini menjadi tumpuan harapanya. Dan itu bukan saya.

Katanya, dia masih berharap dengan seseorang yang telah memberinya harapan sejak lama. Lelaki itu adalah temannya SMA. Yang paling lucu adalah….

Lelaki yang dia harapkan merupakan teman sebangku saya selama duduk di SMA.

Saya hanya bisa tertawa dan  mengutuki diri saya dan kegilaan yang saya rasakan selama beberapa tahun ini. Penantian yang saya lakukan selama ini ternyata berujung kesia-siaan. Lalu, apa yang sesungguhnya yang saya harapkan selama ini selain kekosongan.

Paling tidak, saya hanya ingin berterima kasih kepada dia yang telah mengajarkan saya arti dari sebuah kesabaran dalam penantian yang tak pasti. Apapun itu, saya hanya bisa mendoakan kebahagiaannya. Semoga dia akan merenung dan menyesali telah menyia-nyiakan seseorang yang dengan tulus menantinya selama tiga tahun ini.

Seperti kata bang Puthut EA, “Mungkin memang ada sesuatu yang datang, terjadi, hanya untuk sia-sia.”

Dan saya sudah mengalaminya.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

CLOSE