Pagi itu, mentari mulai menampakkan sinarnya kepada seluruh dunia, tanpa pamrih, seperti biasa. Pagi kala itu terasa sama, namun ada hal berbeda di dalam pandangan seorang bernama Sakti. Sakti adalah seseorang yang lahir dari lingkungan berada. Keluarganya merupakan tempat tercetaknya orang-orang yang dapat menikmati dunia karena keluarga yang kaya.
Sejak dari lahir, Sakti selalu mendapatkan semua kebutuhannya bahkan tanpa ia memintanya. Lingkungan ini membuat ia menjadi seorang yang pasif dan enggan untuk keluar rumah, bahkan untuk sekedar menghirup udara pagi yang konon terasa sejuk. Keadaan pagi di sekitar rumahnya tak berbeda pula dengan kondisi kota metropolitan yang sangat sibuk. Lalu lalang kendaraan sering melewati jalan hanya untuk mengejar waktu yang terkadang memaksakan. Orang-orang yang cenderung acuh kepada orang lain berkumpul di dalam kerumunan yang bahkan dapat dipastikan tidak mengenal satu sama lain. Hanya terlihat ibu-ibu berkerumun untuk membeli sayuran dari tukang sayur keliling dan melakukan rutinitas pagi seorang ibu rumah tangga. Mungkin hanya segelintir orang yang berusaha untuk bisa hanya sekedar mengobrol di beberapa sudut tempat dan itu tidaklah lama. Namun pagi itu terasa berbeda bagi Sakti.
Seperti pagi biasanya, Sakti menikmati pagi dengan sisa sebotol bir yang ia nikmati semalam dan segelas kopi untuk membuat matanya tetap hidup karena efek mabuknya, tentunya dengan ditemani sekotak rokok untuk menikmati segelas kopinya. Dilihatnya pak Surip, tukang kebun keluarganya seperti biasanya, melakukan rutinitas paginya untuk hanya sekedar membersihkan dedaunan kering yang berserakan di halaman rumah majikannya. Tak seperti biasa, pak Surip terlihat bersemangat. Sakti melihat pak Surip dengan pandangannya yang sedikit kabur akibat sisa birnya semalam. Dengan mata sayu, Sakti berusaha untuk sekedar menyapa pak Surip meskipun hanya untuk berdiri saja Sakti sudah kesusahan. Ucapan singkat yang jarang Sakti lakukan, namun ia lakukan pagi itu.
Mendengar suara Sakti, pak Surip tentu saja membalas sapaan itu dengan sangat hangat sebagaimana mestinya seorang pesuruh kepada majikannya. Suara yang berat keluar dari tubuh itu akibat umurnya yang sudah lanjut, pak Surip bersedia membalas sapaan Sakti yang sangat jarang bahkan tidak pernah ia dapatkan selama dia bekerja kepada keluarga itu. Ketika Sakti berusaha menggapai suasana yang terjadi padanya dipagi itu dengan lamunan panjang, ketukan pintu mengagetkan lamunannya. Ternyata ketukan tersebut datang dari Mbok Darmi, pembantu di rumahnya. Kedua orang inilah yang sedari dulu menemani Sakti menghabiskan hidupnya karena kedua orang tuanya yang sudah menjadi orang asing bagi Sakti.
Kembali dia menghisap sisa rokoknya dalam-dalam dan menghembuskannya dengan perlahan, sebatang rokok itu dia harapkan dapat menenangkan hati dan fikirannya yang memang sudah kacau sejak lama sekali, tanpa mempedulikan Mbok Darmi yang memang setiap hari membersihkan kekacauan yang terjadi di kamarnya tanpa sedikitpun mengeluh. Perlahan, Sakti berusaha membuka lebar-lebar matanya dan melangkahkan kakinya yang terasa lemah untuk membersihkan dirinya. Sekembalinya Sakti dari membersihkan diri, dia tersontak kaget melihat kondisi kamarnya yang sudah rapi, meskipun masih ia temukan beberapa kotoran di sudut kamarnya. Namun entah mengapa, keadaan ini membuatnya semakin tidak karuan. Kembali, ia membenamkan dirinya di dalam lamunannya. Begitu banyak gejolak yang ia rasakan kala itu, satu demi satu pertanyaan muncul di kepalanya, namun selalu gagal pula pencariannya mengenai jawaban dari pertanyaan-pertanyaannya. Tak kuasa menahan dirinya sendiri, akhirnya Sakti memutuskan untuk keluar dari rumahnya dan mencari suasana dimana ia mendapatkan ketenangan. Motornya yang masih mulus dan menarik ia pilih untuk menemaninya pagi itu.
Sengatan cahaya mentari yang semakin terik tak meluluhkan tekad Sakti dalam menjawab pertanyaannya. Entah sudah berapa jauh ia menunggangi motornya untuk hanya sekedar berjalan tak tentu arah. Hingga sampailah ia di sebuah tempat yang terasa asing baginya. Tempat itu dipenuhi dengan orang-orang yang berpakaian rapi dan enak dipandang. Mereka melakukan gerakan-gerakan yang terlihat asing di mata Sakti. Dalam benaknya, ia bahkan merasa geli melihat semua itu. Namun tak dapat ia pungkiri juga bahwa ia juga memperhatikan orang-orang itu. Ditengah lamunannya ia melihat bahwa setelah orang-orang itu selesai melakukan gerakan-gerakan tadi, wajah mereka terlihat bahagia. Penasaran akan hal itu, Sakti akhirnya memutuskan untuk melakukan hal yang sama dan ditempat yang sama pula. Namun setelah melakukan yang sama persis dengan yang dilakukan oleh orang-orang itu, namun tak juga ia dapatkan kebahagiaan yang orang-orang dapatkan. Muak dengan semua itu, Sakti pergi, entah kemana lagi ia akan pergi.
Semakin lama ia berkendara, semakin tak sadar pula dirinya sekarang berada. Sembari mengendarai sepeda motornya, Sakti kembali memikirkan bagaimana hidupnya yang dulu terasa sempurna bisa langsung berubah 180 derajat. Anak yang dulunya dikenal sebagai anak yang ceria, sekarang berubah menjadi orang yang mudah tersulut emosinya. Menurutnya sesuatu dalam dirinya hilang seperti abu yang tertiup angin. Sejauh dia berusaha memikirkan kembali kejadian yang merusak hidupnya, Sakti merasakan sesak yang luar biasa di dalam dadanya hingga tak sadar cahaya terang tepat berada di depan matanya. Saking dalamnya ia berpikir dan merenung, Sakti telah mengendarai motornya ke dalam sebuah terowongan gelap, dan cahaya yang berada di depan matanya ini adalah jalan keluarnya.
Setelah menembus terangnya cahaya kala itu, Sakti menghentikan dirinya di sebuah taman yang sudah tidak ramai dikunjungi, ia meletakkan tubuhnya di atas sebuah kursi taman yang sudah tua namun masih sangat kokoh. Dihisapnya sebatang demi sebatang rokok yang ia bawa hingga tak terasa sekotak rokok ia habiskan saat itu juga. Sakti semakin kacau, ia tak tahu harus bagaimana lagi dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan yang muncul di pikirannya. Hingga dilihatnya dua ekor anjing, satu anjing sedang menjilati anjing satunya yang sepertinya tinggal menunggu ajalnya. Jika dilihat dari luka-lukanya, sepertinya anjing itu menjadi korban amukan massa yang entah apa penyebabnya. Sakti melihat dengan cermat bagaimana kedua anjing itu bercengkerama, semakin dia rasakan hingga tanpa sadar air matanya menetes membasahi pipinya. Gejolak di dalam hatinya muncul kembali, dia merindukan orang-orang yang menyayanginya, orang-orang yang dulu melindunginya, orang-orang yang selalu ada untuknya, yakni orang tua Sakti sendiri. Semakin bergejolak pula dirinya setelah dari jauh dia melihat kerumunan orang yang sepertinya mengelilingi sesuatu. Ketika Sakti mendekati kerumunan tersebut, dilihatlah dirinya yang tergeletak bersimbah darah. Sakti tersontak kaget tak percaya dengan apa yang dilihatnya, seketika beribu-ribu penyesalan datang pada dirinya. Betapa banyak waktu yang ia habiskan hanya untuk lari, hingga pada akhirnya waktunya telah tiba untuk pergi, selamanya.
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”