[Cerpen] Pesan Terakhir Buat Ayah

Cerita pendek

"Mau kau apakan buku itu?”

Advertisement

Aku menengadah dan melihat Ana di depanku. Tampak jelas amarah dalam guratan wajahnya. Seolah seseorang siap untuk diterkamnya. Telah hilang kesabaran dari jiwanya. Matanya sembab. Masih dapat kulihat jalur tetesan air mata pada pipinya.

“Dia memberikan ini kepadaku,” kataku.

“Kenapa tidak dibuang saja?”

Advertisement

Aku bingung untuk sejenak.

Ia tiba-tiba mencampakkan buku itu ke tanah, menginjak-injaknya lantas serpihan-serpihan kertasnya berhamburan di mana-mana. Ana kemudian tersujud di tanah. Tangisnya kembali pecah. Aku tak tahu apa yang harus dilakukan terlebih saat dirinya mengantuk-antukkan kepalanya pada buku itu.

Advertisement

“Kenapa tidak aku saja?” ucapnya.

Ia seketika mendongak dan melihat ke arahku. “Kenapa tidak kau saja?!” lanjutnya seraya ia layangkan sepatunya ke wajahku.

Suasana yang awalnya duka sempat berubah kacau. Aku tak mengindahkan apa yang Ana telah lakukan padaku. Seorang wanita tua lalu mengangkatnya dan membawanya pergi. Ana masih menggila. Aku lalu mengambil bagian yang masih tersisa dari buku itu.

“Teruntuk dia yang selalu mengasihiku, Ayahku…”

***

Pematangsiantar, 1 November 1989. Kata Ibu, hari itu adalah hari pertama aku melihat dunia. Dunia fana yang begitu luas dengan dipenuhi orang-orang jahat. Itu definisi dunia menurut Ayah. Gadis ini tentu tak siap menghadapi kotornya dunia. Terutama lagi, dia yang baru lahir layaknya orang bodoh yang masih terlalu lemah. Tapi, beruntung diriku karena dipertemukan dengan wanita dan pria yang kuat dan begitu baik mengurusiku.

Aku memandangi wanita yang penuh rona kecantikan itu. Begitu lihainya ia memasak. Tahu betul makanan yang aku suka. Indah nian geraian rambut panjang dan lengkung senyumnya. Jarang marah juga. Dialah ibuku.

Tiba-tiba, gadis kecil ini digendong oleh seorang pria. Pria tampan nan gagah itu sungguhlah perkasa. Tak pernah kutemui orang sehebat dia di dunia. Rela selalu berpeluh dan mempertaruhkan nyawa demi keluarga dan terlebih malaikat kecilnya. Superhero-ku adalah pria terkeren sejagat raya. Dan dialah ayahku.

Sang Waktu pun mengiringi kisah gadis cilik ini. Tak terasa, gadis itu juga sudah tidak kecil lagi. Dia sudah beranjak besar dan sudah sekolah sekarang. Ayah dan Ibu waktu itu sedang menjemputku. Timik-timik gadis ini melangkahkan kakinya menuju kedua orang tuanya. Ibu tergelak melihat tingkah imut gadisnya yang sudah memakai rok merah. Ayah, dengan begitu stylish-nya, mengendarai vespa dan membawa kami mengitari kota untuk sejenak sebelum ke rumah.

Keindahan dan kenikmatan ini semua kupikir adalah sebuah keabadian. Yang kelak bakal menemaniku hingga di kemudian. Namun nyatanya, tidak sedemikian. Entah mengapa, aku merasa kalau Ayah semakin lama semakin menarik kasih sayangnya. Sedikit keras dengan gadis semata wayangnya. Semakin lama semakin meninggi nada bicaranya. Dan juga mulai melarang-larang gadisnya.

“Aku bisa jaga diri, kok,” kataku.

Ingatkah Ayah tentang lawatan ke tempat itu? Ingin aku pergi ke sana. Karena bisa pergi bareng teman-teman dan momen seperti itu bakal jarang sekali aku jumpai. Sayangnya, bukan izin yang didapatkan, melainkan kemarahan yang aku terima.

 “Memangnya, apa manfaat pergi ke sana?” kau menyulut rokokmu. “Kalau gak ada, tak perlu ikut.”

“Yang pastinya dapat ilmulah, Yah,” jawabku.

Ayah diam sejenak, mengisap rokok lagi, lalu menghembuskan asapnya. “Kau gak usah pergi. Kalau kau mau, nanti Ayah yang bawa ke sana.”

“Yah Ayah… Tapi, aku maunya pergi sama kawan-kawan. Soalnya …”

“Kalau Ayah bilang tidak, ya tidak! Kau jangan susah dibilangin!”

Aku seketika terdiam. Ayah lalu menutup wajahnya dengan koran. Aku tak mau melawan. Aku tak mau seperti Malin Kundang. Aku kemudian ke kamar sambil mencoba untuk menenangkan diri.

Kalau Ayah tanya anakmu ini, jujur, sifatmu agak berlebihan. Ayah seperti menginginkan anaknya hidup dalam kerangkeng. Jauh dari bahaya, katamu.

Belum lagi membahas soal keinginanku. Apa Ayah tahu? Aku itu tertarik sekali dengan piano. Rasanya, bermain piano itu adalah passion-ku terlebih sesaat setelah mendengarkan alunan nada dari Eine Kleine Nacht-Musik dan Symphony no. 40 dari Mozart. Ingin sekali sepuluh jari ini menekan tuts putih dan hitam sebuah piano dan mempersembahkan melodi indah kepada kalian berdua. Namun, Ayah malah bilang…

“Kau pikir segampang itu membiayaimu bermain piano?!”

Dengan tajam, Ayah mengatakan hal itu. Ayah lalu mencampakkan batang rokok yang baru saja dihisap tepat ke arah tubuhku. Ayah ambil jaket, pergi keluar meninggalkanku terpaku sendirian, dan membanting pintu dengan sekeras-kerasnya. Ibu kemudian datang dan memelukku. Aku juga kasihan kepadanya. Ibu tak pernah berani menyela kalau Ayah sedang meletup-letup amarahnya. Dengan segala kelembutannya, Ibu lalu mengantarku tidur.

Sehabis kejadian itu, aku sama sekali tak bisa memejamkan mataku. Pikiranku masih terngiang-ngiang oleh bentakanmu tadi. Aku juga mencoba untuk introspeksi diri. Mungkin, aku meminta hal yang tidak tepat. Atau, bisa jadi piano bukanlah jalanku dan Ayah punya ide lain yang lebih bagus.

Malam semakin larut, namun pikiranku masih carut-marut. Aku yang masih terjaga mendengar pintu depan terbuka. Sedikit takut dimarahi lagi sebenarnya. Tapi anehnya, aku putuskan untuk keluar kamar. Ayah tengah duduk di sofa dengan sebatang rokok yang menyala di tangan.

“Ayah …” ucapku perlahan.

Ia menoleh. Ayah lalu menyuruhku untuk menghampirimu. Pelan-pelan aku melangkah. Tiba-tiba saja ia memelukku, mengusap-usap kepalaku, dan mencium keningku. Bau alkohol menyeruak dari sekujur tubuhnya. Kemudian, Ayah berdiri dan menggendong diriku yang sudah SMP ke kamar. Kukira, Ayah akan keluar setelah menyelimutiku. Rupaya, ia naik ke ranjang sambil meninabobokan diriku.

Aku menangkap kelakuanmu sebagai sebuah keambiguan. Terkadang Ayah begitu baik dan terkadang malah sebaliknya. Tapi, sisi jahat-mu lebih mendominasi akhir-akhir ini. Kalau aku belom memberi perumpamaan, Ayah seolah telah memotong sayap kebebasanku. Selanjutnya, memasangkan rantai di leherku dan hendak menjadikan diriku sebagai ‘anjing’ yang selalu patuh kepadamu.

1 November 2006. Teman-temanku mengajakku merayakan Sweet Seventeen-ku di rumah Arka. Aku hanya memberitahu soal ini kepada Ibu. Ibu bilang kalau aku pasti akan dimarahi karena tak mengabarimu.

“Aku sudah biasa dimarahi Ayah kok. Ibu tenang aja. Oke?”

Rencana awalnya sih memang bakal pulang sore, namun aku malah balik ke rumah sekitar jam 10 malam. Dari kejauhan, sudah tampak jelas tubuhmu. Dengan jaket lengkap, Ayah langsung menyambutku di dekat pagar sambil mengisap batang rokok yang mungkin sudah entah keberapa.

“Aduh, Ka! Gimana, nih? Ayahku udah di depan rumah!” kataku, tetap ketakutan meski sudah tahu akhir ceritanya.

“Ehm … Gak papa. Nanti biar aku aja yang jelasin sama ayah kamu. Aku yakin, kamu pasti gak bakal dimarahi,” kata Arka, mencoba untuk menenangkan.

“Bukan aku yang dimarahi. Aku malah takut malah kamu yang dimarahi sama Ayah.”

Tahukah, Ayah? Kau sukses membuat jantungku copot dari tempatnya. Ibarat berjumpa dengan ajal diriku waktu itu. Dan sesaat motor Arka berhenti, aku benar-benar gemetar.

“Sudah puas senang-senangnya?” tanyamu, kau lagi-lagi melempar batang rokok ke arahku.

Kau lalu menarik rambutku dan mendorongku ke rumah. Aku langsung melihat ke luar jendela. Syukurlah kau tak melakukan apa-apa kepada Arka. Arka hanya menunduk dan lantas pergi setelah pamit dengan Ayah.

“Lain kali, kamu jangan nakal lagi, ya?” kata Ibu, dari arah dapur.

Adegan barusan tadi, sudah seperti angin lalu saja bagiku. Namun, sewaktu aku ingin menghampiri Ibu, kedua cuping telinganya berdarah. Kerabu yang ada di telinganya telah kau tarik dengan paksa. Aku melihat Ibu menangis sambil membilas piring-piring. Aku kemudian berlari mengejar sambil memanggil-manggil dirimu. Kau sempat berbalik, namun tak kau indahkan sahutanku. Lantas diri ini menarik paksa tanganmu.

“Kau apakan Ibu?!” teriakku seraya air mata terus membanjiri wajah.

“Kau boleh marah-marah setelah ini. Aku mau pergi,” jawabmu singkat.

“Kau mungkin boleh melakukan semaumu padaku. Tapi… Jangan pernah sekali-kali kau apa-apakan Ibu!”

Lagi-lagi, kau tarik rambutku hingga ke rumah. Menendang pintu dan mencampakkanku.

“Sudah berapa kali kukatakan? Anak gadis tak boleh pulang malam! Kau senang dipanggil Jalang sama orang? Menyusahkan saja taunya! Apa susahnya mendengarkan cakap orang tuamu, hah?”

“Buat apa aku mendengarkan ayah durjana sepertimu?”

Sungguh, ucapanku saat itu benar-benar di luar kesadaranku. Akhirnya, tamparan pun mendarat di pipiku.

Kau berkata, “Apa aku tak mengajarimu sopan santun? Lebih baik, kau mati saja.”

Kau kemudian keluar dan membanting pintu. Ibu langsung mendekap diriku sambil terus berlinang air matanya. Benar-benar kuingat kalimat terakhirmu itu. Terngiang-ngiang terus setiap hari dan setiap saat. Aku bahkan merasa, kehadiranku ini sungguhlah tak diinginkan. Atau, apakah kelahiranku sebuah kesalahan? Mungkin, seharusnya aku memang harus tak ada. Dan sudah waktunya untuk berhenti menulis cerita hidupku dan menutup buku kehidupanku.

Ah … Kenapa Ayah juga harus seperti itu, sih? Aku rindu Ayah yang dulu. Aku rindu saat kita jalan-jalan berdua di atas vespamu. Aku rindu pada Ayah yang selalu tertawa bersamaku.

Tapi percayalah, Ayah. Atas semua yang Ayah lakukan padaku, aku tak marah. Tak dendam sedikitpun. Aku yakin, yang Ayah lakukan itu adalah untuk kebaikanku. Jagalah Ibu untukku. Aku sayang padamu.

***

Kututup buku itu dengan perasaan yang kelam. Sedikit gemetar di sekujur badan. Ana sudah menghentikan kegundaannya meski masih belum menerima kepergian buah hatinya. Dia terduduk dengan tatapan penuh kekosongan. Hujan rintik-rintik. Dan aku menangis di antara tangisan hujan.

Aku membatin, “Tuhan… Tolong beritahu bahwa aku juga sayang padanya.”

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Maju tak gentar

CLOSE