Dari Pecundang yang Terlampau Keras Berjuang


Mendengar kata ‘berjuang’ yang terlintas dalam benakmu adalah tentang merubah keadaan yang ada saat ini kedalam keadaan yang lebih baik. Senada dengan yang terjadi di zaman Belanda, cinta juga hal yang harus diperjuangkan adanya.


Aku adalah seorang tuna asmara, yang mengidap status ini terlampau lama. Ya, sudah setahun semenjak aku berganti status dari siswa menjadi mahasiswa. Di lingkungan baruku banyak sudah perubahan yang dibawa waktu. Sampai akhirnya aku mengenalmu. Sebab kehadiran temanku usaha mengenalmu lebih mudah kulakukan. Berkat perantaranya, aku bisa mengenalmu via suara dan sosial media.

Semenjak hari pertama kita berkirim pesan aku sudah merasa kau abaikan. Ya, pribadi cuekmu adalah alasan. Kau tak pernah memebalas lebih panjang dari apa yang aku tanyakan. Bahkan lebih sering aku yang selalu menggadai harga diri, hanya untuk percakapan ini tak pernah diakhiri. Aku lah juga yang selalu memulai dengan berkirim pesan di pagi. Bahkan hingga malam datang dan dilalui.

Berbulan-bulan sudah coba mengakrabkan diri dengan karakter cuekmu yang susah kufahami. Namun entah mengapa dalam dasar hati kurasa kau pantas untuk diperjuangkan. Karena yang bisa membukatikan itu benar hanyalah waktu. Ketika coba aku menyusun kriteria aku tahu kau pasti melewatinya. Pertama, ketika aku menilaimu dari segi agama. Aku tau kau selalu rutin mengaji setiap petang hari.

Ketika aku menilaimu dari segi keturunan, aku juga tau ayahmu adalah pengajar yang yang cukup terkenal. Ibumu tak jauh beda, beliau adalah ibu rumah tangga yang mengajarkamu dasar agama. Ketika dari segi harta aku menilai keluargamu memiliki lebih dari cukup biaya untuk kuliahmu hingga S2. Dan ketika aku menilai dari rupa, seluruh mantanmu yang ingin memilikimu kembali sudah menjadi jawaban pasti.

Kau lebih dari yang aku sadari. Karena yang aku ketahui, berbagai pertimbangnan itu didasarkan pada agama yang aku pelajari. Itu juga yang mungkin membuatku bertahan hingga berbulan-bulan. Walau setiap kali lebih banyak kau abaikan.

Akhirnya aku mulai berekspektasi memiliki komitmen bersamamu nanti. Aku semakin intens untuk mengabari, bercerita bahkan berbicara walaupun via sosial media. Bulan demi bulan sudah kulalui, aku sadar hadirku kini sudah kau akui. Kau mulai tak secuek yang kukenal pertama. Lebih perduli padaku walau sesekali. Bahkan pernah menyapaku lebih dulu. Hal yang sangat tak kurasakan, semenjak awal kita berkenalan.

Harapan untuk menjalin komitmen denganmu semakin besar adanya Aku rela begadang, demi menemanimu mengerjakan laporan. Hal yang tak kusukai sebenarnya. Aku juga rela selalu menyapa pagimu, di setiap update mu. Selalu jadi tempatmu berkeluh kesah, mulai dari bicara mata kuliah hingga berbagi semua masalah. Saat mood mu sedang tak lebih baik, aku selalu hadir untuk memperdulikan.

Mungkin dengan cara itu aku bisa sedekat mungkin dengamu. Walaupun tak selalu memperbaiki keadaan dan tak jarang aku malah yang kau jadikan perlampiasan. Kadang saat aku tak hadir ketika kau butuhkan, ketika itu juga aku lah yang jadi sasaran kemarahanmu di lain waktu. Entah mengapa dan diluar logika. Aku menggap semua ini adalah bagian dari perjuangan yang harus kuusahakan. Bahkan tak pernah terlintas untukku memperjuangkan selainmu.

Hingga kau berani menceritakan masalah kelurgamu, masa lalumu dan orang-orang terdekatmu padaku. Aku semakin berprasangka hadirku kini lebih penting dari sebelum-sebelumya. Terlampau berharap memang. Dan seharusnya aku sadar akan resikonya. Namun kuabaikan semua itu, hingga akhirnya waktu yang memberi tahu.

Hari selepas valentine tahun itu. Setelah tujuh bulan hanya berbincang tanpa saling pandang. Allhamdulillah Tuhan mengagendakan kita bertemu. Benar saja, kau lebih dari yang kuduga. Anggun, cantik dan terlihat dewasa. Yang membuatku terkejut, kau lebih cerewet dari yang kukira. Bahkan 180 derajat berbeda dari yang kukenal sebelumnya. Rasa syukurku pun bertambah, seiring dengan harpanku menjalin hubungan denganmu.

Singkat cerita, mungkin aku terburu-buru mengungkapkan rasa. Hingga akhirnya, semua yang kuusahakan berakhir dengan penolakan. Kau menggap kuliah adalah prioritas, dan menjawab semua harapku dengan tegas. Seketika itu aku berfikir sepanjang yang aku bisa. Menoleh jauh kebelakang melihat semua rekam jejak perjuangan. Dari yang secuek pertama, hingga kau bercerita semua.

Apakah itu bukan hasil dari perjuangan? Apakah sedari awal kau hanya menganggap semua ini ‘guyonan'? Entahlah, yang jelas perjuanganku tak pernah sebercanda itu. Namun sejenakn aku sadar, mungkin ini semua salahku yang terlampau berharap. Salahku juga yang terlalu mengusahakan. Dan salahku juga, yang terlalu serius memperjuangkan.

Mungkin akulah yang selama ini berlebihan menganggap semua respon yang kau berikan, cerita yang kau sampaikan hingga keluh kesah yang kau jabarkan. Akhirnya, aku putuskan untuk memantaskan diri. Menjauh darimu walau itu sulit. Tak menghubungimu walaupun itu terasa mustahil.

Hari berlalu, akupun mencoba menerapkan sistem perpondokan dalam perasaan. Terpaksa, dipaksa, bisa, terbiasa hingga luar biasa. Aku memaksakan diriku melupakanmu, juga dipaksakan waktu untuk mengubur kenangan tentangmu. Aku pun bisa seiring waktu yang kian menuju akhrinya. Ah, dua bulan yang kulalui akhirnya aku terbiasa. Tanpamu setiap hariku. Walaupun terasa lebih sulit dari yang kubayangkan namun aku tetap berusaha meyakinkan. Aku berusaha menjauhkan semua tentangmu. Menjauhkan dari menghubungimu, hingga sejauh mungkin stalking akun sosial mediamu. Walaupun kuakui mencari pengganti untuk kuperjuangkan tak semudah membalik telapak tangan.

Terakhir kudengar kabarmu, kau dekat dengan pria berseragam abdi negara. Tak bisa kupungkiri, sakit memang mendengar kabar itu. Kenapa kau tak bilang sejak dulu? Bahwa kau memprioritaskan mereka yang berkedudukan. Kenapa juga kau pernah berujar ingin fokus pendidikan? Kalau sebenarnya yang kau lakukan hanya menunggu yang seperti itu. Apalah dayaku yang sudah termakan waktu. Yah, aku disini hanya bisa berdoa, semoga yang kau dekati adalah yang terbaik dan tak menyakiti. Aamiin

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

"Kau hanyalah serpihan peradaban, ketika tak pernah mengusahakan perubahan"