Dekat Tidak Juga, Tapi Kehilangan Sosoknya Sakit Juga Rasanya

Hari Minggu setelah ishoma, saya ingat betul kejadiannya. Hari baik yang menjelma menjadi hari duka untuk keluarga saya. Hari di mana saya merasa seperti sedang bermimpi buruk untuk selamanya.

Advertisement

Pagi itu, sebelum saya berangkat untuk PKKMB di salah satu universitas negeri terbaik di daerah Surakarta, saya menyempatkan diri memberi ucapan selamat ulang tahun kepada rekan saya yang berada di daerah Jember. Salah satu teman terbaik saya semasa putih abu-abu, yang untungnya sampai sekarang masih menjalin hubungan baik. 

Semua berjalan sesuai rencana, tidak ada masalah ataupun kendala saat kegiatan berlangsung. Hari itu, saya tidak merasa firasat apa-apa. Entah karena Sang Pencipta salah mengartikan doa saya atau saya yang kurang spesifik dalam meminta bantuan-Nya. Saat itu, saya hanya ingin ayah saya tidak lagi merasakan sakit. Namun, siapa sangka kehendak-Nya menentukan akhir yang cukup memberi kesan pada saya. 

***

Advertisement

Setelah ishoma, saya berbincang dengan teman saya. Tidak banyak yang saya bicarakan, hanya perihal tugas universitas dan beberapa tugas fakultas. Handphone di genggaman saya bergetar, sengaja saya mode getar agar tidak terlalu mengusik kegiatan yang sedang diselenggarakan. 

Nama ibu tertera di layar. Awalnya saya enggan untuk menggangkat, akan tetapi ibu saya bukan tipe orang yang menelpon hanya karena bertanya kabar ataupun mengingatkan makan. Akhirnya, saya geser tombol hijau ke atas dan segera menempelkannya pada telinga sebelah kanan. Benar dugaan saya, saya disapa dengan salam yang terdengar bergetar disebrang sana. Firasat buruk saya membuncah. Pertanyaan kekhawatiran terlontar di bibir saya. 

Advertisement

Bapakmu gak enek. Tiga kata yang tanpa sadar mebuat mata saya memburam. Saya tidak langssung menjawab. Saya mencubit paha saya untuk meyakinkan bahwa ini nyata. Ibu menyuruh saya pulang. Saya bingung, bagaimana? Bagaimana saya bisa pulang? Sedangkan jarak kami bukan hanya antar kampung melainkan antar provinsi. Saya hanyalah si bungsu yang tak pernah bepergian dan malah mendapat tempat menempuh pendidikan sejauh tempat yang tak terbayangkan. 

Saya berlari ke salah satu panitia. Dengan pikiran melayang, suara terbata, dan puluhan air mata, saya mengutarakan saya ingin pulang. Saya ingin kembali ke kampung saya. Saya ingin memastikan kebenarannya. Apakah ini hanya delusi atau sebuah fakta yang masih tidak dapat saya terima.

***

Bersyukur kakak ketiga saya memiliki teman di kota Solo Raya, dengan bantuannya saya diarahkan naik bus Sumber Rahayu dan turun di Brakan daerah Papar. Sepanjang perjalanan saya terus tersedu. Saya hanya berhenti ketika saya hampir kehilangan napas. Apabila biasanya saya bisa meredakan emosi yang tidak stabil hanya dengan lantunan istigfar. Kali ini, mungkin lantunan istigfar bagai penenang yang tak bisa lagi saya andalkan. Entah karena sakitnya sudah menjalar sampai ke akar atau memang batin saya yang sedang tidak mau dengar.

Sepanjang perjalanan pulang, banyak yang menatap saya. Ada yang menatap dengan tatapan kasihan, heran, dan sebagainya. Saya tidak peduli, saya merayakan sakit hati ini sendirian. Tanpa teman, kerabat, ataupun keluarga. Saya menangisinya sendirian, di tengah hiruk-pikuknya manusia dengan kesibukan. Saya menangisinya sendirian, menangisi lelaki yang tak lagi dapat mewejangi saya akan masa depan. Menangisi lelaki yang tak lagi bisa menyambut tawa saya dengan lelucon versi lamanya. Menangisi lelaki yang tak dapat lagi menjabat tangan saya hanya untuk membacakan doa fitrah setiap tahunnya. 

Hal yang paling disayangkan adalah beliau dimakamkan terlebih dahulu sebelum saya sampai di sana. Katanya cuaca di sana buruk, kasihan bila tidak disegerakan. Tangisan saya menjadi-jadi ketika melihat proses tersebut dilayar handphone genggam warna hitam itu. Ternyata, banyak orang yang merasa kehilangan akan sosoknya. Tidak hanya saya dan keluarga semata. 

***

Sesampainya di Brakan, saya sudah di tunggu paman. Perjalanan ini menghabisan waktu setengah jam. Sesampainya di sana, saat memasuki rumah itu, saya tak menangis sama sekali. Entah apa yang membuat air mata saya berhenti. Mungkin sudah lelah, kering, atau hanya mencoba tegar di depan anggota keluarga yang lain. Namun, nyatanya itu tidak bertahan lama.

Selayaknya menjadi putri bungsu yang tak pernah berhenti mengadu, hanya dengan melihat kakak pertama saya, saya kembali dibanjiri air mata. Nyatanya kesedihan di hati saya belum mereda juga. Selama hampir enam jam lebih menangis dalam perjalanan, rasa sakitnya masih tersisa.

***

Bila dikatakan dekat, tidak juga. Karena semasa muda, beliau sibuk berkelana mencari biaya. Saya jadi ingat keluh kesah yang saya sesalkan setelah menjadi dewasa. Dulu banyak sekali kejadian masa kecil yang ingin saya ukir namun tidak bisa, maka dari itu setiap saya bercerita tentang beliau saya selalu merasa masa kecil saya kurang kasih sayang dari beliau. Namun, bila ditanya sekarang, saya menyesal pernah menyesalkan hal tersebut. Karena dibanding masa lalu yang memang tidak bisa di ulang, saya sekarang lebih menyayangkan masa depan. Dimana saya tidak dapat melakukan hal-hal indah dimasa mendatang dengan beliau. Seperti kehadirannya di acara wisuda saya kelak? Tanda tangan berkas-berkas pendidikan saya? Menjadi wali nikah saya? Dan hal-hal kecil lainya.

Untuk yang masih diberi waktu mengukir kisah. Untuk kalian yang masih diberi waktu memperbanyak kenangan indah. Saya harap kalian dapat mengukir tanpa penyesalan. Saya harap kalian dapat memanfaatkan waktu sebaik mungkin sesuai keinginan. Karena bila boleh jujur banyak sekali penyesalan yang saya rasakan.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini