#DiIndonesiaAja-Pura Lingsar Simbol Toleransi Beragama

Toleransi Beragama Di Pulau Lombok

Berbicara mengenai Pulau Lombok yang terlintas didalam pikiran seorang wisatawan adalah keindahan wisata alamnya. Berbagai jenis objek wisata siap memanjakan wisatawan yang datang ke Pulau Lombok. Tentu sudah tidak diragukan lagi bagaimana keindahan pantai dan gunung rinjaninya dimata para wisatawan. Selain keindahan yang disajikan dalam wisata alamnya, banyak sisi lain Pulau Lombok yang jarang diketahui oleh wisatawan. Pulau Lombok yang diwarisi peninggalan budaya menjadi sisi lain pariwisata yang bisa dinikmati wisatawan di Pulau Lombok.

Advertisement

Terkenal dengan julukan Pulau Seribu Masjid, dengan sebagian besar penduduknya beragama islam dan sisanya beragama hindu, kristen, katolik, budha, dan konghucu. Meskipun mayoritas penduduknya beragama islam, namun keberagaman di Pulau Lombok merupakan hal yang menarik untuk dibicarakan. Selain banyaknya masjid, di Pulau Lombok banyak juga dibangun tempat beribadah umat agama lain, dengan demikian masyarakat Pulau Lombok hidup dalam nuansa toleransi yang dibalut dengan kebudayaan suku sasak.

Salah satu destinasi wisata budaya yang mencerminkan toleransi beragama di Pulau Lombok yaitu Pura Lingsar. Pura Lingsar yang terletak di Desa Lingsar Kabupaten Lombok Barat. Pura Lingsar menjadi simbol kerukunan dan keharmonisan umat beragama khusunya agama islam dan hindu. Memang sulit untuk dipercaya merukunkan dua keyakinan agama berbeda hidup berdampingan dan menjalankan ajaran kepercayaan mereka masing-masing dengan balutan budaya suku sasak.

Pura lingsar merupakan pura terbesar yang ada di Pulau Lombok dengan luas kurang lebih 25 hektar. Pertama kali dibangun pada tahun 1971 oleh Raja Anak Agung Ngurah yang berasal dari etnis bali dan sasak lombok. Berbeda dengan pura lainnya yang hanya digunakan untuk beribadah umat hindu, di Pura Lingsar ini juga digunakan umat islam wetu telu untuk berdo’a dan melaksanakan upacara adat, sehingga Pura Lingsar mengandung gabungan antara umat agama hindu dan islam wetu telu di Pulau Lombok. Pura Lingsar ini terdiri dari tiga bagian yang disakralkan yaitu Pura Gaduh, Kemaliq, dan Pesireman.

Advertisement

Kompleks pura gaduh ini digunakan umat agama hindu untuk sembahyang sehari-hari ataupun saat perayaan hari-hari besar seperti kuningan dan galungan. Kompleks kemaliq digunakan untuk masyarakat suku sasak untuk berdo’a dan melaksanakan upacara adat seperti perkawinan dan khitanan. Selain itu didalam Kemaliq terdapat sebuah kolam yang diberi nama “telaga ageng” yang dibangun sebagai simbol penghormatan kepada dewa Whisnu.

Di dalam kolam telaga ageng ini terdapat ikan yang diyakini telah berusia ratusan tahun. Untuk memanggil ikan ini agar muncul kepermukaan tergolong unik, yaitu dengan cara melemparkan telur ayam rebus kedalam kolam. Didalam kolam ini juga terdapat banyak koin berasal dari para wisatawan, kepercayaan masyarakat suku sasak dengan melempar koin kedalam kolam ini akan dimudahkan rezkinya oleh tuhan. Kompleks pesireman yang digunakam sebagai lokasi pemandian terdiri dari dua bagian pesireman untuk laki-laki dan pesireman untuk perempuan.

Advertisement

Salah satu hal yang menarik dari Pura Lingsar ini adalah diadakannya ritual “perang topat” atau dalam bahasa indonesia “perang ketupat”. Tradisi “perang topat” ini merupakan ritual tahunan yang diadakan antara setelah musim panen padi dan sebelum memasuki masa menanam baru. Sebelum tradisi “perang topat” ini dilakukan biasanya tokoh masyarakat akan naik terlebih dahulu ke gunung rinjani dengan membawa beberapa benda untuk dilayarkan di danau segara anak.  

Tradisi “perang topat” ini bertujuan sebagai ungkapan rasa syukur kepada sang pencipta dengan cara mengembalikan hasil tanah berupa “topat” untuk dikembalikan ketanah. Tradisi “perang topat” ini dilakukan setelah dilakukan upacara rarak kembang waru untuk umat islam dan umat hindu menyelenggarakan odalan atau perayaan hari jadi pura yang dilaksanakan di pura gaduh dan kemaliq.

Peserta perang topat ini ini tidak hanya berasal dari warga yang beragama islam ataupun hindu saja, tetapi boleh diikuti oleh semua warga dari agama apapun. Topat yang telah disediakan kemudian dibagikan kepada masyarakat untuk selanjutnya dilemparakan kepada masing-masing lawannya. Aksi saling lempar topat ini membawa perasaan sukacita pada pesertanya yang berasal dari agama yang berbeda. Pada tradisi ini wisatawan dapat melihat simbol toleransi dimana peci dan udeng bersatu dalam “perang topat”. Setelah acara topat ini berakhir, selanjutnya masyarakat akan mengumpulkan kembali topat-topat tersebut untuk di bawa ke sawah-sawah milik masyarakat dengan harapan memohon kesuburan dan hasil panen yang melimpah.

Pura Lingsar diharapkan sebagai pengingat manusia untuk bertoleransi dalam sebuah perbedaan dalam beragama. Tidak ada perbedaan bagi umat baik islam, hindu atau agama lainnya untuk menggunakan pura ini, pura ini terbuka untuk umum sebagai daerah wisata yang bisa dinikmati nilai sejarahnya. Hal demikian itu bertujuan untuk menghargai dan menghormati nilai-nilai kemanusiaan dalam berkehidupan.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

CLOSE