Dinamika Pengemis dan Dilema Pemberi

Kesenjangan Ekonomi di Indonesia yang tinggi, dan pembangunan yang masih terpusat di kota besar. Membuat masyarakat berlomba-lomba pergi ke kota (merantau) demi mencari nafkah, sebagai harapan untuk secercah kehidupan yang lebih baik.

Tetapi yang namanya merantau, perlu banyak hal yang harus dipersiapkan, khususnya dalam mencari pekerjaan. Selain mempersiapkan mental, diri juga harus dibekali dengan keterampilan, baik itu bersifat soft skill ataupun hard skill. Agar dapat bertahan dibalik kerasnya persaingan di kota.

Realitanya, banyak dari masyarakat belum membekali dirinya sebelum merantau, hanya dengan bermodalkan nekat. Menyebabkan mereka kalah saing dengan yang lebih punya keterampilan. Imbasnya mereka tidak punya pekerjaan. Namun, demi menjaga eksistensinya dan sudah kepalang basah merantau ke kota, ada dari mereka yang seakan mengambil jalan pintas dan terkesan instan, salah satunya dengan menjadi seorang pengemis.

Sedikit membahas tentang pengertian pengemis dan mengemis. Menurut Wikipedia, Mengemis adalah kegiatan yang dilakukan oleh seseorang yang membutuhkan uang, makanan, tempat tinggal atau hal lainnya dari orang yang mereka temui dengan meminta.

Sedangkan menurut KBBI, Pengemis adalah orang – orang yang mendapat penghasilan ditempat umum dengan berbagai cara dan alasan untuk mengharapkan belas kasihan orang lain.

Kegiatan mengemis ada kalanya dilakukan oleh orang yang sejatinya sangat membutuhkan bantuan. Seperti, mereka yang tertimpa musibah kebakaran, bencana alam dan lain sebagainya.

Namun, realitanya sekarang banyak dari mereka yang secara fisik sehat dan dalam kondisi yang baik. Justru lebih memilih menjadi seorang pengemis. Kembali seperti yang telah disebutkan diatas, karena faktor tidak adanya keterampilan dan faktor mentalitas yang ingin serba instan tadi. Sehingga menjadikan pengemis sebagai profesi mereka.

Menilik sedikit perihal dari profesi pengemis ini, di kota Bandung penghasilan mereka bisa mencapai 9 – 11 juta/bulan. Seperti yang dituturkan oleh Ade Junaedi, salah seorang petugas Dinas Sosial kota Bandung. "Penghasilan profesi Pengemis di jalan utama, seperti jalan pasleur, kota Bandung, bisa mencapai Rp 300 ribu sehari atau dalam sebulan sekitar Rp 9jt/bulan". Dikutip dari ( Jabar.tribunnews.com).

Lalu yang menjadi pertanyaan, bagaimana bisa mereka mendapatkan pundi – pundi Rupiah sebanyak itu dengan mudah dan cepat? pada praktiknya, mereka tampil dan mendandani dirinya dengan penampilan yang lusuh, mengenakan baju yang tidak layak pakai, bahkan pada case tertentu ada yang berpura – pura menjadi seorang tunanetra. Sehingga, memunculkan rasa kasihan atau iba dari orang – orang.

Menjadi sebuah dilema, karena bisa saja ada seseorang yang memang ingin berbuat baik kepada mereka (pengemis) yang dilihatnya membutuhkan. Sehingga tanpa pikir panjang meberikan sejumlah uang, alih-alih mencari tahu terlebih dulu. Dan inilah yang dijadikan sebagai dalih bagi mereka yang berprofesi pengemis.

Jika ditelaah dengan kacamata seorang pemberi tadi, toh tidak akan jadi masalah baginya memberikan uang, Karena niatnya yang ingin membantu. Namun yang harus ditekankan bahwa dari perspektif pengemisnya, apakah yang mereka lakukan itu etis menurut agama, sosial, maupun hukum yang berlaku?

Di dalam perspektif Agama Islam, perbuatan meminta–minta atau mengemis sangat tidak dibenarkan. Dalam Islam, bekerja adalah kewajiban bagi seorang Muslim, terutama laki–laki. Allah menegaskan perintah kerja dalam firmanya "Dan katakanlah : bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasulnya serta orang – orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan di kembalikan kepad ( Allah ) yang mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata lalu diberitakannya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan" ( Q.S At – taubah (9) ; 105 ). 

Juga Rasulullah SAW bersabda bahwa "Seorang peminta–minta kelak akan datang pada hari Kiamat tanpa membawa sekerat daging pun di Wajahnya", ( H.R Bukhari – Muslim ).

Dikaitkan dengan Sosial, perilaku mengemis ini dapat berdampak buruk. Karena akan membentuk mental masyarakat menjadi pemalas, dan mental ingin serba instan. Yang secara tidak langsung produktivitas masyarakat juga akan menurun.

Jika dilihat dari perspektif Hukum Indonesia. Perihal masalah tentang pengemis, diatur dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1980 tentang Penanggulangan Gelandang dan pengemis, menyatakan bahwa. "Pengemis tidak sesuai dengan norma kehidupan bangsa Indonesia yang berlandaskan Pancasila dan Undang–undang dasar 1945, karena itu perlu diadakan usaha – usaha penanggulangan".

Berdasarkan dari peraturan tersebut, pemerintah juga telah menetapkan beberapa usaha–usaha dalam menanggulangi masalah pengemis, seperti:

1.Usaha Preventif: Usaha secara terorganisir yang meliputi penyuluhan, bimbingan, latihan, pendidikan, bantuan dan pembinaan lanjut.

2. Usaha Represif: Usaha yang terorganisir baik melalui lembaga maupun bukan, dengan maksud menghilangkan penggelandangan dan pengemis.

3. Usaha Rehabilitasi: Usaha yang terorganisir meliputi usaha–usaha penyantunan, pemberian latihan dan pendidikan, pemulihan kemampuan dll.

Kembali tentang persoalan pengemis, mereka mengemis, pasti karena ada yang memberi. Siapa yang memberi? Yaitu orang–orang yang masih mempunyai rasa kepedulian. Dalam arti masih ada orang dermawan yang mau memberikan uangnya, kepada mereka yang berprofesi menjadi pengemis ini, karena atas dasar rasa iba. Dan ini yang menjadi sebuah dilema.

Untuk persoalan seperti itu, perlu dilakukan sosialisasi, bahwa bagi mereka yang ingin menyisihkan uangnya, alangkah baiknya menyalurkannya kepada tempat ataupun lembaga yang berwenang. Misalnya, seperti lembaga Bantuan Sosial, Rumah Zakat, dan tempat – tempat penggalangan dana. Yang mana punya kredibilitas dan bertanggung jawab penuh untuk menyalurkan bantuan tersebut kepada orang yang memang membutuhkan.

Sebagai penutup, memang terkadang secara naluri kemanusiaan, melihat ada orang yang bernampilan lusuh dan  wajah memelas, dan mengenakan pakaian tidak layak pakai dsb. Sedikit banyak akan muncul rasa iba di hati, dan itu sebenarnya baik. Untuk itu tinggal bagaimana kita bisa memilah mana yang benar–benar membutuhkannya atau tidak.

Dan solusi untuk mengatasi masalah profesi pengemis ini, perlu adanya sinergi antar beberapa pihak, seperti: masyarakat, pemerintah dan lembaga sosial. Mereka ini sepatutnya juga perlu mendapat perhatian. Bukan dalam bentuk uang, tetapi dalam bentuk pembekalan keterampilan untuk mereka. Seperti kata pepatah: Beri seseorang ikan, dan dia akan makan untuk sehari, ajari dia bagaimana memancing ikan dan dia akan makan selamanya.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini