Rasanya Ditinggal Bapak dan Pacar dalam Waktu Bersamaan. Sungguh Duka Mendalam

Ditinggal bapak dan pacar

Awal tahun 2018 merupakan saat yang tepat untuk menggambarkan bagaimana saya berkelana untuk berdamai dengan perpisahan. Perpisahan bisa terjadi kapan saja dan dengan siapa saja. Bisa dengan keluarga, kekasih, teman, atau orang yang baru kita kenal sekalipun. Perpisahan merupakan hal pedih yang pasti dirasakan tiap orang, tetapi apabila kita dapat berdamai dengan perpisahan, maka hidup kita akan lebih dewasa dan lebih nyaman.

Advertisement

Banyak perpisahan yang terjadi dalam hidup saya, tetapi mengapa saya lebih memilih menceritakan kejadian awal 2018? Karena di situlah saya betul-betul diuji oleh Tuhan. Di sisi yang sama, ujian tersebut lah yang akhirnya lebih mendewasakan saya untuk berdamai dengan diri sendiri, menyikapi dengan lebih dewasa akan sebuah perpisahan.

Akhir tahun 2017

Hubungan asmara dengan mantan saya yang baru berumur dua kali padi panen terpaksa kandas. Tuhan menguji kami pada saat itu, saya harus bertemu dengan perpisahan. Sewajarnya, saya harus marah karena alasan putus cinta yang tidak jelas. Namun sebelum marah, saya kembali bertanya kepada diri saya, apakah perpisahan ini justru akan membawa keadaan menjadi lebih baik?

Advertisement

Saya baru sadar, ada satu dua hal yang harus saya maklumi dari perpisahan hubungan kami. Perpisahan kami bukan karena bertengkar hebat, semua terjadi begitu saja. Ternyata ada perasaan terpendam yang saya lupa menanyakan saat kami masih bersama. Tuhan memberikan jalan dan pemikiran, agar kali ini saya berdamai dengan perpisahan.

Cinta selalu berakhir dengan perpisahan. Entah itu perpisahan dalam bentuk raga maupun jiwa. Setiap diri manusia selalu punya ekspektasi, ekspektasi tersebut lah yang akhirnya membuat kita sebagai manusia akan merasakan kecewa. Kecewa bukan selamanya hal buruk. Kecewa adalah bentuk respon dari diri kita atas ketidaksesuaian kenyataan dan impian. Pilihan merespon kekecewaan tersebut lah yang membuat diri kita dewasa atau tidak.

Advertisement

Sampai sekarang, saya sudah berdamai dengan perpisahan hari itu. Kami berteman baik dan tidak saling mencaci. Kami sadar apa yang baik dan buruk. Menyadari tentang tidak sejalannya kehidupan bersama karena memang tidak setujuan adalah hal bijak yang harus kami ambil. Menyesal atau tidak dengan keputusan tersebut sampai saat ini dan sampai kapan pun akan sulit terjawab, karena hati manusia yang tidak pernah karuan.

Setelah sukses berdamai dengan perpisahan, nampaknya Tuhan makin menguji saya agar bisa lebih berdamai dengan perpisahan. Pada rabu 7 Februari 2018 saya mendapatkan panggilan dari ibu saya, mengabarkan bahwa ayah saya masuk Intensive Care Unit (ICU). Saya tidak terlalu khawatir karena memang ayah saya sering sekali masuk ICU, entah masalah kecapean atau masalah lainnya.

Malam harinya, ibu saya kembali menghubungi kembali, menangis, meminta saya pulang. Saat itu juga saya membeli tiket pulang karena saya menganggap saat ini lebih serius. Kamis, 8 Februari 2018 saya sampai di rumah sakit. Siangnya, saya masuk ruangan ICU untuk menjenguk ayah saya. Betapa hancur hati ini, biasanya melihat ayah yang selalu bercanda sambil menonton televisi, sekarang terbaring tak sadarkan diri.


Saya menangis waktu itu, seorang yang saya kagumi tertidur lemas tak sadarkan diri di kasur ICU. Saya bertanya-tanya di dalam hati, “kemana ketawa ayah selama ini?” sambil memegang tangan ayah saya.


Keadaan beliau kian hari kian memburuk, saya sudah diingatkan berulang kali untuk siap menerima apapun yang terjadi, karena dokter pun berkata bahwa apabila ayah saya sadar, maka beliau akan lumpuh sebagian. Saya sebagai orang yang selalu meyakini bahwa ayah saya adalah orang yang hebat selalu berprasangka baik. Mana mungkin ayah meninggalkan kami tanpa pesan?

Minggu, 11 Februari 2018

Dokter yang menangani ayah saya mengajak untuk ke dalam ruang ICU untuk membaca hasil scan otak ayah saya. Terlihat di layar bahwa otak sebelah kanan ayah saya telah halus, menandakan bahwa syaraf-syaraf pada otak tersebut telah mati. Dokter tersebut pun berkata bahwa apabila bagian otak yang mati merembet sampai bagian belakang, maka nafas ayah saya akan terhenti, tentu kalian tahu apa maksudnya.

Di sini lah kedewasaan saya dalam menghadapi perpisahan diuji sekali lagi. Dalam memecahkan dan bijaksana dalam sebuah masalah, tentu kita tidak boleh egois. Cara untuk tidak egois adalah menjabarkan semua kejadian dan memahami sebab akibatnya. Setelah memahami sebab akibatnya, kemudian kita kombinasikan dengan garis waktu masa lalu dan masa depan, baru setelah itu kita mengambil kesimpulan.

Ayah saya telah masuk rumah sakit dan menjalani pengobatan sejak 2005. Tiga belas tahun harus merasakan sakit yang setiap tahunnya terasa lebih sakit. Dalam sakitnya, ia tetap harus menjadi kepala keluarga dan guru yang punya beban besar untuk ditanggung. Di usianya yang renta, ia masih harus bergerak kesana kemari untuk mengurus berbagai permasalahan. Seakan tidak menikmati hari tua, ia sebenarnya kelelahan.

Tidak semua orang beruntung, bisa memiliki hari tua yang santai, uang banyak, dan tidak ada banyak permasalahan dalam hidupnya. Saya mulai menyadari, mungkin berpulang adalah cara Tuhan untuk mengistirahatkan puluhan tahun pengabdiannya di dunia. Ia telah cukup memberi, ia telah cukup bekerja, lalu sekarang saatnya pulang.

Memaksakan keegoisan saya untuk tetap menginginkan ia hidup ternyata bukan pilihan yang baik. Tuhan sedang menguji hati saya untuk bisa ikhlas, untuk bisa berdamai dengan perpisahan, setara mengingatkan bahwa semua yang di dunia ini hanya titipan. Untuk pertama kalinya dalam hidup saya, saya mengikhlaskan sesuatu hal yang sangat besar. Saya damaikan diri saya dengan mengucap dalam hati, “Aku ikhlas ayah pulang”.

Senin, 12 Februari, pukul 12.00

Saya sudah berada di kamar ICU, mendampingi ayah saya yang masih saja terdiam. Di balik diamnya, ia menangis, terlihat dari air mata yang keluar dari matanya. Tuhan telah mengirimkan malaikatNya untuk memberikan ketenangan kepada ayah saya. Ayah saya pun telah dipanggil pulang. Seraya mencium keningnya, air mata ini jatuh kembali saat saya membisikkan “Terima kasih ayah, saya sudah berdamai dengan perpisahan”.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Editor

Not that millennial in digital era.

CLOSE