Edith Piaf, Penyanyi Prancis yang Menggunakan Tragedi Hidupnya Sebagai Teknik dan Gaya Bermusik

kisah hidup dan gaya bermusik edith piaf

Edith Piaf, seorang penyanyi tenar di kancah internasional pada tahun 1930-an sebagai simbol gairah Prancis. Musik Edith sering kali dibuat berdasarkan pengalaman hidupmya terutama tentang cinta, kehilangan, dan kesedihan. Beberapa lagunya yang paling terkenal meliputi Non, je ne regrette rien (1960), Hymne a L'amour (1949), dan La Vien en rose (1946).

Edith lahir dengan nama Edith Giovanna Gassion di Belleville, Paris, pada malam musim dingin tanggal 19 Desember 1915. Ibunya melahirkan Edith dibantu oleh dua polisi terdekat di trotoar setelah gagal mencari taksi untuk pergi ke rumah sakit. Namanya berasal dari pahlawan perang Edith Cavell, seorang perawat inggris yang dieksekusi oleh tentara Jerman karena mengorganisasi rute pelarian tentara terluka ke Belgia. Ibunya, Annetta Giovanna Maillard adalah penyanyi dengan nama panggung Line Marsa. Anneta bernyanyi di kafe dan tempat lainnya sementara Edith dirawat oleh neneknya, Maroko Berber. Menurut Edith, ibunya tidak dapat mencapai impiannya sebagai penyanyi profesional seperti dirinya bukan disebabkan kurangnya bakat tetapi hanya karena keberuntungan tidak berada di pihak Annetta.

Annetta meninggalkan Edith untuk tinggal sendiri bersama Maroko neneknya. Pada tahun 1918 ayah Edith, Louis-Alphonse Gassion, seorang akbrobat jalanan yang baru saja pulang dari tugas wajib militer perang dunia pertama mendapati gadis kecilnya sakit-sakitan dan kurang gizi akibat sering ditinggal sendirian di rumah oleh Maroko neneknya. Edith kemudian dirawat oleh ibu Louis, Maman Tine yang dikenal sebagai pemilik rumah bordir. Terlalu sibuk mengurusi kliennya, Maman tidak memberikan kasih sayang dan perhatian yang cukup kepada Edith.

Pada usia 7 tahun, Edith bergabung dengan karavan sirkus ayahnya untuk berpartisipasi dalam pertunjukan jalanan di seluruh perancis. Edith kemudian berpisah dengan ayahnya dan memulai karir sendiri sebagai penyanyi jalanan di sekitar paris setelah tidak tahan sifat temperamentalnya. Edith jatuh cinta dengan seorang pemuda bernama Louis Dupont. Mereka bertemu di kafe dekat Romanville, pinggir timur laut Paris, dimana Edith tampil sebagai penyanyi. Edith dan Louis akhirnya memutuskan tinggal bersama di Hôtel de l’Avenir. Edith yang baru berusia enam belas tahun kala itu menyadari bahwa dia hamil di luar nikah. Dia melahirkan seorang gadis dan menamainya Marcelle pada 11 Februari 1933. Dua tahun kemudian Marcelle meninggal dunia karena meningitis. Momen ini adalah momen yang sangat kelam di hidup Edith, berkabung sendirian dengan rasa kehilangan dan kesedihan atas putrinya. Edith tidak pernah berhenti memikirkan Marcelle; di dekat akhir hidupnya, Edith membayangkan jika Marcelle masih hidup dia akan hidup bahagia dan memiliki anak.

Seluruh penderitaan yang dialami Edith semenjak kecil diungkapkan ke dalam nyanyiannya. Edith menggunakan teknik rubato untuk meningkatkan kualitas emosional lagu dipadukan dengan getaran suaranya yang kuat. Teknik rubato adalah percepatan atau perlambatan tempo bermusik tanpa mengikuti irama ketukan, melainkan secara bebas mengikuti emosi yang ingin ditampilkan. Kualitas suara inilah yang membawa Edith menuju langkah pertamanya sebagai penyanyi ketika bertemu Louis Leplée. Pada tahun 1935, Edith menyanyi di daerah dekat Arc de Triomphe, Troyon. Louis Leplée, seorang pemilik klub sukses Le Gerny dari Champs-Élysées menghampiri Edith dan mengatakan bahwa dia akan merusak suaranya apabila terus bernyanyi dengan menggunakan getaran suara setinggi itu. Leplée kemudian memberikan Edith nama panggung yang akan melekat bersamanya selama sisa hidupnya untuk tampil sebagai penyanyi reguler di klub Le Gerny, La Môme Piaf (The Little Sparrow). La Môme Piaf adalah bahasa slang Paris “burung pipit kecil” yang merujuk pada ukuran tubuh kecil Edith dengan suara yang mengeluarkan setiap tetes emosi hingga akhir.

Saat karir bernyanyi Edith sedang berada di puncaknya, Leplée ditemukan mati dengan luka tembak pada kepala di apartemennya. Kepolisian mulai mencurigai Edith sebagai tersangka dari kasus penempakan tersebut. Tekanan media dan ancaman karir membuat Edith mulai bekerja dengan tim baru dan seorang penulis serta komposer lagu bernama Raymond Asso yang juga menjadi kekasihnya. Lagu Edith yang biasanya tentang kesedihan mulai berfokus pada romantisasi hidupnya. Edith merasa bahwa Raymond mengajarinya menjadi manusia, kasih sayang yang Raymond berikan selama tiga tahun lamanya menyembuhkannya dari kehidupan berantakannya semenjak masa kecil. Hubungan mereka bertahan hingga tahun 1939, saat Raymond harus memenuhi panggilan wajib militer perang dunia II.

Selama perang dunia II, Edith adalah salah satu penyanyi paling populer di Prancis. Dia memulai debut teaternya dan dalam beberapa tahun kemudian tampil di acara-acara musik besar Paris. Meskipun awalnya hanya mendapat porsi sebagai penyanyi pendukung di acara besar, akhirnya Edith memiliki penulis lagu pribadi untuk menulis lagu khusus untuknya. Edith tidak lagi hanya menanyi dalam rangka bertahan hitup, tetapi juga menyempurnakan kemegahan suaranya. Kehalusan lirik lagu dan ditonjolkan dengan gerakan tangannya menukik anggun seperti getaran jiwa dari lubuh hati paling dalam.

Edith haus akan dicintai dan mencintai seseorang, dia menjalin begitu banyak hubungan dan mengakhirinya dalam waktu dalam singkat. Saat tampil di New York, Edith bertemu dengan Marcel Cerdan, seorang juara tinju kelas menengah dunia dengan julukan “Moroccan Bomber”. Meski sudah menikah dan memiliki tiga anak, Edith menjalin asmara bersama Marcel. Mereka sangat mencintai satu sama lain, Edith selalu menyanyikan La Vie en rose (hidup dalam warna-warna bahagia) kemanapun Marcel pergi. Tahun 1949, pesawat maskapai Air France menabrak pegunungan saat mencoba mendarat di Bandara Santa Maria, Azores, Portugis. Semua 48 orang di dalamnya tewas termasuk Marcel yang ingin menemui Edith di New York. Edith mulai berteriak dan menangis siang itu setelah mendengar berita tersebut. Malamnya, Edith tetap naik ke panggung dan pingsan dua kali di tengah membawakan lagu. Kesesedihan intens atas kematian Marcel menyebabkan Edith menderita nyeri artritis akut di persendiannya untuk seumur hidupnya.

Edith menghabiskan sisa hidupnya dengan alkohol dan obat penghilang rasa sakit untuk menopangnya terus tampil. Edith terkadang lupa lirik lagu dan pingsan menjelang akhir penampilannya yang pers sebut sebagai tur akhir hayatnya. Panggung adalah kehidupan bagi Edith. Dia sering dirawat di rumah sakit karena pendarahan lambung namun tetap berjuang melawan pudarnya ingatan maupun suara. Terlepas dari kondisi fisiknya yang semakin melemah, Edith tetap terus bernyanyi karena bagi dia hidup tidak lagi menarik tanpa mengeluarkan nada merdu di atas panggung. Seorang komposer bernama Charles Dumont memberikan Edith lagu Non, je ne regrette rien (tidak, aku tidak menyesali apapun). Non, je ne regrette rien menjadi lagu khas dan penggambaran filosofi hidup Edith untuk menolak kekalahan serta menghadapi kesulitan hidup secara penuh sampai dia meninggal dunia di usia 47 tahun disebabkan gagal hati.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Seorang penulis lepas yang menyukai literasi dan hal berbau klasik