Ekspektasi Terlalu Tinggi Bisa Hancurkan Kebahagiaanmu. Atur Takarannya, Biar Nggak Kecewa

ekspektasi hancurkan kebahagiaan


Apa itu kebahagiaan?


Advertisement

Kebahagiaan menurut saya ialah suatu bentuk perasaan atau ekspresi natural insan manusia saat kita dapat merasakan kehidupan yang tentram, aman, nyaman, dan segala bentuk ekspresi perasaan yang bersifat positif. Lalu, ekspektasi merupakan ekspresi naluriah dalam bentuk sebuah harapan terhadap sesuatu hal yang kenyataannya bisa saja tidak sesuai dengan harapan yang kita inginkan. Korelasi kedua kata ini sangat menarik. Kita tahu bahwa kebahagiaan dapat kita peroleh dalam bentuk apapun.


Secara fisik, materi, perasaan, dan lain sebagainya. Kebahagiaan memberikan berbagai dampak positif dalam segala aspek kehidupan dan akan mengarahkan pada hidup yang lebih baik, misalnya memberikan kita kesempatan untuk menciptakan hubungan yang lebih baik, menunjukkan produktivitas yang lebih besar, memiliki umur yang lebih panjang, kesehatan yang lebih baik, kreativitas yang lebih tinggi, dan kemampuan pemecahan masalah dan membuat keputusan mengenai rencana hidup dengan lebih baik (Carr dalam Mardliyah, 2010)


Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa hakikatnya manusia seringkali berekspektasi terlalu tinggi terhadap suatu hal. Bahkan berekspektasi dan menaruh harapan terhadap sesama manusia. Manusia sibuk mencari berbagai macam bentuk kebahagiaan. Hingga lupa bahwa terkadang kebahagiaan tidak bersifat permanen melainkan dalam kehidupan bermanusia kita juga pasti mengalami bentuk energi negatif seperti sedih, kecewa, marah, jengkel, dan lain sebagainya.

Advertisement


Apa yang membuat perasaan atau emosi negatif itu muncul?


Dengan berekspektasi terlalu tinggi, kita secara tidak sadar menaruh harapan yang kita pikir akan sesuai dengan apa yang kita ingin tuju. Namun, hakikat berkehidupan ialah kita harus melalui berbagai macam proses kehidupan. Jika ekspektasi tidak sesuai dengan harapan kita, maka dari situ lah emosi negatif sepeti marah, sedih, kecewa akan muncul. Saya tidak menyebutkan bahwa sebagai manusia kita dilarang berekspektasi. Melainkan, kita sebagai individu memiliki kendali terhadap apa yang ingin kita harapkan terlalu jauh atau tidak. Kita selalu dapat mengontrol perasaan itu. Kita memiliki kendali penuh atas apa yang kita ingin rasakan. Namun, semua kembali lagi kepada pemikiran masing-masing indvidu.

Advertisement


Bagaimana kita dapat mengendalikan “ekspektasi” tersebut?


Menurut saya, guna tidak merusak harapan akan “sesuatu” itu sendiri ialah dengan berharap secukupnya, berusaha dan berdoa dengan kemampuan yang kita miliki, dan kita memiliki kepercayaan guna meyakini bahwa suatu peristiwa terjadi atas kuasa Tuhan dan semesta alam. Tidak memaksakan apa yang sekiranya terlalu jauh untuk digapai karena sadar atas kapasitas diri sendiri. Atau dengan kata lain, kita boleh berekspektasi terhadap sesuatu hal tapi hendaklah mengetahui bahwa sesuatu tersebut masih dalam batas kemampuan kita.

Terkadang, secara sadar atau tidak sadar ekspektasi ini muncul kepada sesama manusia. Manusia menaruh harapan dengan manusia lainnya. Karena kita tahu manusia adalah makhluk sosial yang dalam aspek kehidupannya pasti membutuhkan manusia lain untuk memenuhi kebutuhanya. Ekspektasi paling menyakitkan menurut saya saat kita sudah menaruh ekspektasi terhadap manusia lain. Mengapa saya katakana demikian? Karena kita semua manusia yang sama-sama mencari bentuk kebahagiaan dalam hidup. Namun, kita lupa dengan fakta bahwa sesama manusia terkadang secara sadar atau tidak sadar kita juga menyakiti satu sama lain.

Idealnya bagi saya, individu seharusnya mencari kebahagiaan untuk dirinya sendiri dan tidak untuk orang lain. Yang saya maksud bukan lah kita yang tidak diperkenankan untuk membahagiakan orang lain. Namun, hendaknya kita butuh memahami diri sendiri tentang kebahagiaan apa yang kita cari. Kebahagiaan dalam bentuk apa yang dapat membuat kita merasa memiliki berbagai emosi atau perasaan positif yang dapat disebut atau dikatakan sebagai bentuk ‘kebahagiaan’. Dengan seperti ini, disaat kita memahami apa yang membuat diri sendiri merasa bahagia, maka aura yang terpancar kepada orang lain juga menjadi positif. Sehingga secara tidak sadar saat kita sudah merasa bahagia atas diri kita sendiri, kebahagiaan itu juga akan menular kepada orang disekeliling kita.

Menurut pengalaman pribadi saya, sebagai contoh apa yang membuat saya begitu merasa ‘terbunuh’ oleh ekspektasi saat saya merasa bahwa kekasih saya dapat selalu memenuhi hal apa saja yang saya inginkan. Namun, saya lupa dengan kenyataan bahwa manusia hanyalah manusia yang juga memiliki kekurangan dan tidak lepas dari kesalahan. Seiring dengan berjalannya waktu dan bertambahnya umur, saya banyak belajar dengan merefleksikan diri sendiri bahwa kebahagiaan sejatinya diciptakan dan diperoleh dari diri sendiri. Tentang bagaimana kita memandang sesuatu hal tersebut dalam konteks baik atau buruk atau positif atau negatif.

Kita tidak dapat menaruh banyak harap terhadap sesuatu hal apapun itu terlebih sesama insan manusia. Karena pada akhirnya, yang kita punya adalah diri sendiri. Segala bentuk emosi dan perasaan baik atau buruk atau positif atau negatif hanya dapat kita kendalikan atas diri kita sendiri. Sekuat apapun pengaruh sesuatu hal atau orang lain bagi diri kita, ini tidak akan dapat mempersuasi apa yang kita harapkan dan kita pikirkan. Maka saya dapat katakana bahwa hendaknya manusia mengutamakan kebahagiaan dirinya sendiri terlebih dahulu sehingga perasaan tersebut dapat terpancar dari aura yang disebarkan kepada orang lain sehingga tanpa sadar dengan aura tersebut kita dapat membuat dan membagikan ‘kebahagiaan’ tersebut kepada orang lain.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Editor

Not that millennial in digital era.

CLOSE