Feminisme Modern: Promosi Sosial Media dan Efektivitasnya

Feminisme bertajuk online dengan beberapa kendala media sosial yang ikut membebani

Gerakan feminisme mulai gencar dibersamai sejak akhir abad ke-18 dan mulai mengakar dalam masyarakat hingga abad ke-20. Berbagai macam protes dan kampanye untuk membangun anggapan bahwa antara pria dan wanita memilki hak-hak yang sama di tengah masyarakat, baik hak berpolitik, karir, pendidikan, hingga bertingkah laku. Dalam proses pelaksanaannya, feminisme memiliki banyak tokoh berpengaruh yang menjadikan wanita-wanita dapat dipandang ‘mampu’ untuk bersaing di posisi yang sama dengan pria. Pada proses pelaksanaannya, feminisme di era milenial kerap kali menggunakan platform-platform media online untuk mempromosikan nilai positif dari feminisme itu sendiri. Salah satu gerakan feminisme yang berbasis media online Instagram @indonesiafeminis telah mendapat perhatian lebih dari 115 ribu orang. Beredar luasnya informasi feminisme serta banyaknya pihak yang bersedia menjadi ruang aman bagi wanita diluar sana menjadikan feminisme topik hangat dari waktu ke waktu. Dapat dilihat banyak tokoh berpengaruh turut serta meramaikan gerakan feminisme, seperti artis papan atas Emma Watson. Dalam beberapa kesempatan berbicara sebagai perwakilan United Nations, Emma terlihat beberapa kali menyerukan dukungannya terhadap gerakan feminisme, yang pada akhirnya menangkap banyak perhatian dari media-media internasional. 

Advertisement


Perempuan itu memilih, bukan mengidentifikasikan dirinya saat mengaku sebagai feminis, seru Emma Watson.


Informasi yang disebarkan belum tentu diterima semua pihak

Terhitung sejak Januari 2022, Instagram telah menaungi sekitar 191,4 juta pengguna. Dari banyaknya pengguna dari salah satu media online ini, tak jarang dari pengguna mendaftarkan akunnya sebagai basis untuk menyerukan suara mereka, seperti feminisme. Terhitung terdapat puluhan, ribuan, bahkan ratusan ribu akun yang secara berkala memperbarui timeline mereka dengan informasi-informasi edukasi mengenai isu feminisme di Indonesia. Dengan banyaknya perbaruan dan pembagian informasi yang dijalankan setiap harinya, tidak jarang beberapa informasi yang bermaksud mengambil hati publik malah disalahartikan oleh beberapa pihak. Salah satu penyalahartian yang paling fatal untuk gerakan feminisme adalah ketika feminisme berada pada titik dimana ada anggapan bahwa feminisme diperjuangkan untuk membuat pemahaman bahwa sebenarnya wanita mempunyai posisi yang lebih baik daripada pria, sehingga mengundang penolakan yang luar biasa dari publik. Pada bulan Maret 2019, sebuah akun Instagram dengan nama pengguna @indonesiatanpafeminis kedapatan memviralkan sebuah hashtag yang diduga membasiskan tanggapan oposisi terhadap gerakan feminisme. Dengan hashtag #uninstalfeminism, akun ini telah mendapat pengikut sebanyak 4000 orang sejak dibuat. 

Hanya dianggap sebagai salah satu pengisi waktu luang

Pada platform media online, salah satu hiburan bagi penggunanya dapat dinikmati lewat timeline yang sering kali menyajikan konten-konten yang sesuai dengan minat pengguna. Pengguna dapat menikmati berbagai postingan yang disajikan menggunakan sistem analitik khusus yang dibuat untuk memastikan konten tersebut memang dirasa cocok untuk dinikmati. Dikarenakan banyaknya pihak yang melabeli media sosial sebagai hiburann semata, seringkali informasi edukasi seperti penyebaran awareness mengenai feminisme dianggap sebagai hiburan juga. Dengan kurangnya keseriusan dalam penanggapan kampanye feminisme secara online, kendala yang dihadapi adalah mungkin saja informasi yang disebarkan hanya akan dianggap sebagai salah satu artikel yang lewat pada masing-masing timeline pengguna media sosial. Hal ini kerap kali terjadi dengan hasil informasi yang telah dibuat sedemikian rupa hanya akan ditanggapi secara teoritik ketimbang dipraktikkan langsung di dunia nyata. Sebagai dampak tidak langsungnya, beberapa upaya nyata feminisme seringkali diabaikan dikarenakan ‘bosannya’ publik melihat dan membaca informasi yang beredaran di media online.

Advertisement

Berita yang mungkin saja dirubah kebenarannya

Dalam platform media online, postingan yang telah disebarkan lewat akun masing-masing dapat dengan mudah disebarluaskan hanya dengan satu ketukan pada layar gadget. Esensi dari berita yang telah disebarkan berkali-kali dari ketikan ke ketikan mungkin saja dapat berubah. Dengan berubahnya berita ini, seringkali orang-orang akan salah paham dengan apa yang ingin disampaikan oleh penulis. Tentu saja hal ini dapat berdampak negatif apabila dijelaskan dengan bahasa yang berbeda, dimana pembaca mungkin saja menyalah artikan tujuan dari gerakan feminisme itu sendiri. Sebagai contoh, banyak mitos yang beredar bahwa sebenarnya gerakan feminisme dan childfree berada di naungan yang sama dengan keuntungan terselubung bagi wanita yang tidak ingin dibebankan dengan kewajiban untuk mengasuh anak. Ada juga rumor lain yang beredar bahwa feminisme hanya dipromosikan untuk mengangkat derajat wanita sehingga lebih tinggi dari pria, padahal faktanya wanita hanya ingin diberikan kesempatan dan kesetaraan yang sama dengan pria. Beredarnya informasi seperti ini menjadi saksi nyata bahwa selain memberikan reaksi positif, penggunaan platform media online untuk menyuarakan feminisme sebenarnya juga banyak memberikan efek negatif jika tidak ditimbang-timbang secara bijak. Selain memberi solusi, media-media berbasis online ini juga sering memberikan masalah baru bagi penegakkan feminisme. Tersebarnya informasi yang diubah seakan menjadi kampanye baru yang menyuarakan tim oposisi dari feminisme di kehidupan nyata, sehingga seringkali aksi feminisme yang digelar dalam bentuk aksi protes akan memperoleh respon negatif alih-alih mendapat dukungan.

Fitur Platform Online yang Dirasa Kurang Cocok dengan Keadaan dan Budaya Orang Indonesia

Bahkan dengan keuntungan dapat tersebar lebih luas, informasi kampanye belum tentu dapat mencapai semua pihak, terlebih lagi mereka yang masih terkendala dalam menggunakan jaringan internet. Jika dibandingkan dengan kampanye secara langsung, yang biasanya mendapat perhatian publik dan media lokal, stasiun pemberitaan televisi sudah pasti akan meliput fenomena ini. Angka perbandingan pengguna intenet dan penonton televisi sudah dipastikan akan berkali-kali lipat jauhnya, apalagi jika dilihat dari generasi yang masih buta akan teknologi. Terlebih lagi jika dilihat dari budaya orang Indonesia, yang terbiasa dengan prinsip kampanye silaturahmi, penyebaran awareness menggunakan media online tidak akan dianggap serius. Sebagian orang menganggap bahwa hal ini memang wajar terjadi dikarenakan saat ini Indonesia sedang berada pada pergantian generasi ke generasi milenial, namun dengan adanya kultur dan tradisi yang turun menurun, kampanye feminisme menggunakan media online mungkin masih menjadi hambatan jika ingin dilaksanakan di Indonesia.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

CLOSE