Film Pendek Georgia : Relasi Kuasa dalam Penanganan Kasus Pelecehan Seksual

Desember ini bertubi-tubi kita mendengar kabar mengenai perempuan dan pelecehan. Mulai dari kasus pelecehan mantan Pastor, Pelecehan di perguruan tinggi, pencabulan yang dilakukan guru ngaji, kasus Novita Widyasari dan masih banyak lagi. Tentu belum usai ingatan kita tentang perempuan kuat, Novita Widyasari yang menjadi korban abussive relationship dan pelecehan lantas meninggal di pusara ayahnya. Beberapa hari lalu tepatnya pada tanggal 12–13 Desember sutradara film asal korea, Jayil Park mengizinkan penyangan khusus film pendek Gerogia sebagai tribute atas kasus Novita Widyasari dimana film pendek tersebut memiliki kesamaan dengan kasus yang terjadi pada perempuan asal Mojokerto tersebut.

Berdurasi 30 menit, Georgia terinspirasi dari kasus Miryang Rape yang terjadi 2004 silam di Korea. Lee Jina mengakhiri hidup setelah menjadi korban kekerasan seksual oleh 18 orang pelaku. Sepeninggal anak semata wayangnya, kedua orang tua Lee Jina tak tinggal diam. Mengelak segala keterbatasan, mereka menuntut dan lantang memperjuangkan keadilan atas anaknya. Hanya dua pelaku yang ditemukan, sisanya tak pernah terungkap. Tak ada saksi yang bicara, kepolisian memutuskan untuk menutup investigasi kasus.

Kepolisian memaksa orang tua Lee Jina untuk menghentikan aksi-aksi tuntutannya. Tentu, dibanding harus menuntut 18 pelaku dengan beragam latar belakang, bagi kepolisian lebih baik mengorbankan sepasang lansia yang hidup di ambang kemiskinan dan ketidaktahuan. Berhadapan dengan hukum adalah relasi yang bersifat hierarkis, status sosial, budaya, pendidikan serta ekonomi yang timpang tindih lantas berbuah pada hukum yang tak setara. Relasi kuasa dalam kasus kekerasan seksual seperti menerjemahkan penanganan kasus yang kelak berujung sia-sia. 

Digambarkan melalui insomnia kedua orang tua Lee Jina yang selalu terbayang kehadiran sang anak setiap malam, orang tua Lee Jina dituntut berdamai dengan guncangan trauma yang mereka alami. Relasi kuasa masih berlaku, bahkan untuk urusan kemanusiaan. keadilan kalah dengan mereka yang berstatus tinggi. Sanksi sosial tak berlaku seumur hidup, pelaku melanjutkan kehidupan mereka, sedang duka kehilangan tak akan pernah impas terbayar.

Film ini tak banyak melayangkan protes dalam dialog, namun membaca simbol dan suasana yang dibangun oleh sang sutradara (Jayil Park) dalam setiap scene cerita, rasanya tanpa basa-basi film ini mengetuk nurani kita untuk paham lebih jauh. Salah satu yang berhasil membuat saya cukup sesak dan membuncahkan emosi saya adalah ketika scene orang tua Jina yang memaksa pegawai percetakan untuk menuliskan dan mencetak banner tuntutan dengan menggunakan huruf Georgia. Sedangkan font Georgia sendiri tak berfungsi untuk huruf Hangeul (Alfabet yang digunakan untuk menulis bahasa Korea). 

Pengguna harus membayar lebih jika ingin mendapatkan font premium ini, yang tentu saja kedua orang tua Jina tak mampu membayarnya. Alhasil, tuntutan tersebut tercetak berupa deretan persegi yang kemudian di bentangkan dalam banner-banner di depan sekolah Lee Jina. Sedikit scene tersebut lantas membuat saya menyadari bahwa kasus yang nampak nyata dan sangat jelas terjadi ini, yang sebenarnya mudah dipahami siapapun yang mendengar akan sulit terbaca di negara tersebut jika korban atau penuntut tak punya cukup privillege. 

Seperti kebanyakan kasus kekerasan seksual yang tak pernah mendapat kejelasan hukum oleh negara lantas lambat laun sirna dari perbincangan. Lebih dari itu, kejadian traumatis yang dilayangkan dengan huruf Georgia juga merepresentasikan bahwa beberapa kepedihan yang terjadi terlalu menyedihkan hingga tak bisa diterjemahkan dengan kata-kata. 

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Perempuan dan sedang belajar menulis apa saja.

Editor