Gunung Panderman dan Pendakian Pertama Van Der Man

Gunung Panderman dengan jajaran bukitnya berdiri kokoh bagaikan tembok yang tegap menyapa kota. Indah dipandang menghampar sejauh mata memandang. Gunung ini tidak untuk ditaklukkan, mengingat ketinggiannya hanya 1.705 meter dan dengan estimasi waktu perjalanan hanya 4 jam. Namun, dari dulu gunung ini telah menjadi langganan seorang Belanda yang bernama Van Der Man. Dia sering mendaki gunung ini, tanpa rasa bosan. Sehingga nama Van der Man dijadikan nama gunung ini dan Panderman adalah penyebutan yang pas di lidah masyarakat lokal. Puncak Basundara menunggu diujung pendakian yang melelahkan dengan sajian pemandangan yang memanjakan mata.

Advertisement

Gunung Panderman menjadi pilihan untuk pengalaman pertama kali saya mendaki. Gunung ini sangat cocok untuk pemula. Tapi entah kenapa dengan medan pendakian yang tergolong mudah, saya tetap lelah di saat pendaki lain biasa-biasa saja. Bersama teman saya sebanyak 5 orang, kami memulai perjalanan di malam hari. Waktu itu memang cuaca sedang tidak mendukung, kami memulai perjalanan memasuki hutan yang dibalut kabut. Di tambah dinginnya suhu malam hari di Batu membuat kami berpikir sejenak untuk melanjutkan perjalanan atau tidak. Melalui jalur Toyomerto dukuh Pesanggrahan kami memutuskan untuk tetap menjalankan rencana dan memberanikan diri untuk masuk kedalam hutan kabut yang gelap.

Selama perjalanan di malam hari itu, kami merasakan berbagai rasa kekhawatiran dan perasaan seperti diperhatikan banyak orang di dalam hutan itu. Di temani gerimis dan aroma hujan, kami tetap melanjutkan perjalanan dengan diselingi candaan juga obrolan untuk mencairkan suasana saat itu. Berbagai medan pendakian kami lalui dengan kerja sama dan kami saling bergantian dalam membawa tas carrier yang mengangkut persediaan perkemahan. Kami mengatur barisan sesuai pengalaman dan kesiapan peralatan kami. Untuk baris paling depan dipimpin oleh teman saya bernama Surya, kenapa dia yang paling depan? Karena dia berpengalaman mendaki gunung ini sebelumnya. Kemudian baris kedua adalah Ridho, disusul baris ketiga adalah Dwi,baris keempat adalah Rayhan, saya berada di baris kelima bersama teman saya yang juga berpengalaman dalam mendaki gunung, dia bernama Andika. Di antara kami hanya membawa 3 lampu kepala, sehingga kami memprioritaskan barisan depan dan 1 orang di belakang untuk menggunakan lampu kepala, dan pada bagian tengah membawa tas yang paling berat yang mengangkut semua peralatan perkemahan dan logistik makanan.

Mencekamnya suasana di malam itu, ditambah dinginnya udara berbarengan dengan gerimis rintik-rintik membuat kami berulang kali berhenti, pada satu momen karena kelelahan, pada momen lain untuk menyiapkan mental. Namun, pohon-pohon pinus yang tinggi dan tumbuh secara liar diantara kegelapan malam membuat kami sedikit merinding. Untuk mengendalikan suasana hati yang tidak karuan dan pikiran yang entah sebenarnya ingin pulang, kami memutar murottal Al-Quran sepanjang perjalanan. Untungnya dengan murottal yang memecah kesunyian di tengah hutan itu membuat suasana lebih hangat dan nyaman. Kami kemudian melanjutkan perjalanan dengan tenang.

Advertisement

Singkat cerita, pos demi pos telah kami lalui dan kami sekarang telah sampai pada pos 4. Di pos 4 kami menemui para pendaki lain yang telah mendirikan tenda. Perasaan kami lebih tenang karena suasana kembali hangat ditengah suhu udara Panderman yang dingin. Kami berisitirahat sejenak dan saling bertegur sapa dengan mereka. Sekitar 1 jam kami singgah, kemudian kami memutuskan untuk melanjutkan perjalanan. Entah kenapa, setelah pos 4 ini perjalanan terasa lebih lambat untuk mencapai puncak. Diantara kami sudah banyak yang kelelahan dan interval berhenti istirahat cukup sering. Pada suatu momen, kami semua kelelahan dan berhenti untuk mengambil nafas sejenak. Kami memutuskan untuk duduk dan sedikit heran mengapa tanda-tanda puncak Bansundara masih belum terlihat. Namun dugaan kami salah, pada perisitirahatan darurat terkahir itu ternyata puncak hanya berjarak sekitar 15 meter. Kami bergegas melanjutkan perjalanan dengan semangat dan merasa puas karena telah mencapai puncak. Sampai di puncak kami bergegas mencari tanah datar yang nyaman untuk didirikan tenda. Pemasangan tenda berjalan sekitar 1 setengah jam dan setelah tenda terpasang kami bergegas untuk menata barang-barang dan membuat beberapa makanan dan minuman hangat. Suasana saat itu sangatlah menyenangkan, bersama teman-teman di malam hari yang dingin kami membuat api unggun dan saling bercerita.

Tak terasa, jarum jam mengarah pada angka 1 malam. Kami bergegas tidur dengan harapan bisa bangun lebih pagi dan menikmati momen matahari terbit. Sebelum tidur, kami membersihkan segala peralatan memasak yang telah kami gunakan dan merapikannya di halaman tenda. Setelah semua barang telah diamankan, kami masuk ke sleeping bed kami masing-masing dan tidur dengan hangat ditengah-tengah puncak yang dingin.

Advertisement

Jam 5 pagi kami bangun, menyambut momen yang di tunggu-tunggu oleh kebanyakan pendaki, yaitu matahari terbit. Sebenarnya saya tidak berharap banyak pada matahari terbit kali ini, mengingat cuaca yang kurang bagus dan kabut yang tebal hadir bersama kami semalaman. Tapi harapan saya ditampar mentah-mentah dengan apa yang alam sajikan. Saya terkagum-kagum dan berulang kali memuji sang pencipta dunia. Betapa indah matahari terbit saat itu, seperti sinar-sinar yang memancar dari balik lautan awan yang menutupi dataran kaki gunung dan bergumpal-gumpal seperti lautan kapas. Ternyata, posisi kami di pagi hari itu berada di atas awan mendung yang sedang terbang rendah. Saya menghubungi ibu saya yang berada di rumah, beliau mengatakan bahwa di Kota Batu hujan sangat deras pagi itu, tapi apa yang kami lihat dari atas sini sangatlah indah, awan berada di bawah kami dan pemandangan langit dari puncak Basundara saat itu sangat bersih dan penuh dengan bintang. Nampak juga pada pagi hari itu, matahari yang mulai terbit dari balik lautan awan, puncak gunung Arjuna dan Semeru dengan kaki-kaki mereka yang tertutup awan. Kami sangat bersyukur karena sempat menikmati salah satu kebesaran Tuhan saat itu.

Kami mengambil banyak gambar dan seiring waktu berjalan, awan mulai naik dan puncak mulai tertutupi awan tebal. Suhu menjadi sangat dingin dan kami bergegas membereskan barang-barang kami untuk persiapan turun. Menurut saya, turung gunung tidak sesulit naik gunung. Kami turun dengan cepat untuk menghindari hujan deras yang biasanya terjadi di siang hari. Selama perjalanan turun, akhirnya kami bisa melihat apa saja yang kami lalui tadi malam. Pemandangan hutan yang asri dan indah, diramaikan suara-suara hewan dan serangga yang sahut menyahut. Kami turun dengan selamat sekitar jam 1 siang. Kemudian kami segera bergegas untuk mengembalikan peralatan dan pulang ke rumah dengan aman.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Editor

CLOSE