Hai Kamu, yang Pernah Semenit Mewarnai Hari Kelamku!

Semoga Senyumanmu Terus Terkembang Menginfeksi Siapapun!

Mengingat tugas yang tiada henti menendang bertubi-tubi, liburan menjadi hal yang mewah. Waktu itu mahal. Sedikit kupaksa, aku jejalkan saja rutinitas di belakangku. Sambang pantai seharian melihat yang biru-biru sambil mengingat masa lalu.

Advertisement

Benar saja, seiring terpapar hawa pantai dan aroma laut, teriknya matahari dan hangatnya pasir tepi pantai membuat pikiran ini melayang-layang. Otak ini tidak bisa diam. Tapi … hei, bukankah reaksi kimia dipercepat oleh suhu yang meningkat?

Folder di otakku ini seperti diobrak-abrik hingga file-nya berceceran. Ingatan-ingatan lucu mulai berloncatan, mulai dari adegan berantem khas anak SD dengan adik-adikku saat tinggi kami belum lebih dari 150 cm, makanan terunik yang pernah aku telan bulat-bulat, hingga senyuman dahsyatmu. Semua itu tereka ulang.

***

Advertisement

Halo pemuda asing yang pernah tiga detik membuatku lupa caranya bernapas! Aku masih ingat celana khaki yang kamu kenakan dan gaya kerenmu ketika bersandar di krat bir loh! Semoga kamu bahagia selalu dan mendapat kebaikan karena keramahanmu ya!

Sudah hampir lima tahun yang lalu tapi memori yang ada di otakku ini seperti batik mahal yang makin dicuci makin lekat detilnya. Terutama ketika aku mencoba mereka ulang senyumanmu itu, seakan otakku ini mendramatisirnya, menjadikan senyuman versi reka ulangmu makin lebar dan makin memukau. Mungkin karena kesan yang kamu tampilkan waktu itu memang meneriakkan kebaikan dan keramahan yang prevalensinya seperti orang yang berhasil menemukan jarum di tumpukkan jerami pada saat itu—dekat dengan kenihilan.

Advertisement

Belum genap 17 tahun waktu aku berpapasan denganmu, sikapku tidak sedewasa ini, pikiranku tidak seterbuka ini. Kenaifan di otakku kadarnya mungkin sudah tahap toksik kala itu. Waktu itu dunia seperti berbentuk persegi yang isinya hanya aku dan masalahku yang menghimpitku dari tiga sudut—hanya menyisakan satu sudut untuk kesedihanku.

Muda-mudi seumuranku tidak memperdulikanku dan orang-orang yang lebih tua dari aku tidak pernah mengerti apa mauku. Apalagi anak-anak kecil berambut warna-warni yang berisik di taman depan—mereka hanya tukang bikin kacau. Sempat frustasi kala itu aku teriak—dalam hati sih. Mencak-mencak sendiri dalam kelabilan pikiran.

"Ini kota macam apa sih. Katanya summer kok suhunya menggigit sampai ke tulang. Kapan sih aku pulang? Kapan aku makan nasi sungguhan? Aku capek jalan kaki. Pandanganku jereng setiap kali naik bis yang lajunya di jalur kanan. Aku pengen motoran di jalur kiri! Aku pengen curhat semua masalahku, tetapi dalam bahasa Jawa!"

Kalau lima tahun yang lalu kata lebay sudah dipopulerkan, mungkin itulah yang bisa menggambarkan pikiranku dalam satu kata. Tekanan karena berada setengah globe jauhnya dari orangtua benar-benar membuat status mentalku menjadi modus senggol bacok. Ternyata negeri orang yang diagung-agungkan tidak bisa membuatku nyaman.

Di tengah kegalauan darah muda kala itu, tanah sepertinya jadi panorama utama setiap aku jalan. Energi terkuras habis, bahkan hanya untuk mendongakkan kepala saja sudah enggan. Raut muka orang-orang adalah hal yang aku hindari dari pandangan—sebagai benteng agar tidak dongkol melihat orang-orang berbahagia sedangkan aku tidak.

***

Aku tidak ingat apa pastinya yang membuat langkah kaki ini mantap menuju taman itu, aku benar-benar lupa, yang kuingat lekat adalah kamu bersandar dengan rupawannya, satu tangan menggenggam botol soda wasser dan menyapaku. Kamu menyapaku dengan berucap selamat pagi dalam bahasamu.

Ada kharisma di suara itu. Seketika ada loncatan daya di otakku ini—memerintahkan kepala lesu ini untuk mendongak. Lalu senyummu itu terkembang, lebar hingga membuat kedua sisi matamu tertarik. Tulus sekali.

Sedetik. Dua detik. Tiga detik. Hening. Lalu yang keluar dari mulutku hanyalah hembusan napas yang tertahan sedikit sengal. Merasa bodoh, cepat-cepat ku balas sapaanmu. Andai kamu tahu, senyummu itu menginfeksi seperti virus, menular lewat cahaya—membuatku ikut senyum dengan lebarnya. Kalau ada cermin, aku yakin mataku ini tinggal segaris saking dahsyatnya senyumanmu itu.

Aku habiskan sisa kekikukan kala itu untuk menganalisis dengan penuh aura positif. Ternyata kita tidak bisa menggeneralisasi manusia, ya. Makhluk yang kompleks dan penuh kejutan. Kultur dan budaya memang bagian dari pembawaan, tetapi senyuman manis itu kadang tidak punya faktor risiko, dan aku juga tidak berniat mencari tahu penyebabnya.

***

Ada sedikit rasa sesal yang timbul setiap kali aku memutar senyumannya. Kalau saja saat itu aku membingkai diriku dengan sedikit keberanian, aku bisa tahu namanya. Mungkin juga menjalin persahabatan dengannya. Aku tidak habis pikir, kemana hilangnya kenaifanku ya. Begitu tiba-tiba perginya.

Kalau saja aku sedikit ada nyali, mungkin sekarang dia dan teman-temannya bisa berkerumun di dekatku, beralaskan pasir putih melihat kencangnya arus angin Samudera Hindia di depan mata dan merasakan deburan hangat ombak khas pantai selatan Jawa yang tidak akan mereka temukan di negaranya. Bersua dengan keramahan yang nyata dan menyaksikan matahari terbenam di jam yang masuk akal, tidak seperti di belahan bumi lain sana …

Manusia tidak akan pernah tahu sulur takdir akan berhenti sampai mana, bertaut hingga kapan, dan akan bercabang menjadi berapa bagian. Selagi ada pertemuan, sebisa mungkin aku habis-habiskan dalam totalitas hingga kata sesal terguncang pergi dari kamus hari itu.

Kamu yang entah sekarang ada di mana, semoga kamu terus menularkan kebahagian, ya 🙂 Jangan pernah berhenti tersenyum karena kamu tidak akan pernah tahu sebesar apa efek senyumanmu itu.

Jika kamu ditakdirkan mengunjungi pantai ini, kuharap kamu tahu, pernah ada jejak kaki dari seseorang yang terinspirasi oleh senyumanmu.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Sering terbahak di terlaluindah.wordpress.com

CLOSE