Untukmu yang Terlalu Sering Mengumbar Janji, Mau Sampai Kapan Hati Ini Kamu Sakiti?

Hati ini bukan tirani

Kau nyaman dengan sesuatu yang tak pasti, sementara aku tidak. Kau hanya menjalani hari ini, tak memikirkan masa depan. Yang kau butuhkan hanya kenyamanan sesaat. Sementara aku mati-matian memikirkan perkara yang sama sampai ke akar-akarnya. Aku melihat risiko dengan pilihan yang sudah kupilih, atau mungkin yang akan kuputuskan kelak. 

Advertisement

Aku memikirkan banyak perasaan, termasuk perasaan mereka yang tidak kukenal. Sementara kau hanya memikirkan perasaanmu saja. Bahkan peka sedikit terhadapku saja tidak. Jika jenuh, kau melampiaskannya dengan segala kesenanganmu. Sementara aku di sini, berjuang dengan kemarutan isi kepalaku. Tanpa ada sesuatu atau seseorang yang bisa menghiburku. 

Kau bertemu banyak orang tanpa memikirkan perkataan mereka dan kau menganggap seolah ini baik-baik saja. Sementara aku dihujani dengan segala pertimbangan dan kabar menyakitkan saat bertegur sapa ataupun berbagi kisah dengan orang lain. Diriku kembali lesu bak tanaman yang tak terhidrasi. 

Lantas, kau berjanji. Berjanji. Berjanji lagi. Berjanji lagi. Dan lagi. Sampai-sampai kupingku gerah dan gatal. Ingin rasanya kuanggap sebagai angin lalu. Tapi sayang, aku wanita. Yang terlalu lemah dengan sebuah janji. Terlena. Lupa diri. Menyesal. Dan terus seperti itu. 

Advertisement

Memang benar adanya Bumi berputar sesuai porosnya, silih berganti dari siang ke malam, malam ke siang, dan seterusnya. Dan itu juga berlaku seperti janjimu. Jika kau tak sanggup, katakan padaku. Aku tak mungkin marah, tapi aku akan mengalah. Karena memang aku sudah lelah dengan semua ini. Lord, back to me a simple life. 

Diamku adalah keengganan yang nyata. Bisuku adalah kelunakan dari keegoisanku. Namun bukan berarti hatiku tak memekik meminta ampun pada kehidupan. Ku sering bertanya kepada Tuhan, mengapa harus aku? Mengapa harus kebodohanku yang masih kupertahankan?

Advertisement

Mengapa ku tak menyerah saja pada kehidupan. Bukan, bukan menyerah seperti itu. Pasrah menerima semuanya dan kembali menganggap bahwa semuanya baik-baik saja. Tapi menyerah pada hubungan kita, memutus tali getas ini, dan mencari jalan kita masing-masing.

Biar kujemput seseorang yang mampu menerimaku, mengerti hatiku yang pernah diterjang ribuan bualan, memakhlumi diriku yang pernah diperas habis-habisan oleh ketidakadilan kehidupan, merangkul keringkihanku, dan selalu memberiku senyum tulus setiap kali ku menatapnya.

Lagi pula, bukankah selama ini kau muak denganku? Muak dengan segala kecengenganku dan sikapku yang tak memiliki pendirian. Tapi setidaknya Tuhan itu adil bukan? Karena sikapku itu aku dituntun untuk terus bersamamu. Mungkin jika aku manusia egois, sudah dari dulu kau kutinggalkan.

Jujur saja, selama ini aku tak pernah menjadi bagian dari kehidupanmu, kan? Kau sembunyikan banyak hal dariku. Bahkan kau tega membohongiku. Mungkinkah kau pikir aku cukup bodoh untuk dibohongi. Ku harap kau tak seculas itu. Semua ini bukan saja tentangmu, bukan saja selalu di pihakmu. Ada hati yang menunggu untuk kau perhatikan. Jangan biarkan semua ini menjadi bom waktu.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Killing my time with arts, literature, phraseology, visualization, and manipulate. https://ameliasolekha.blogspot.com/

Editor

Not that millennial in digital era.

CLOSE