Ingatkah kalian kapan terakhir kali tertawa riang tanpa beban? Kapan terakhir kali pundak terasa ringan tanpa tanggung jawab yang memberatkan? Kapan terakhir kali tidur sebelum jam sepuluh malam? Dan kapan terakhir kali bangun tidur dengan senyuman mengembang karena sejuta rencana liburan? Untuk orang-orang yang masih mampu menjawab pertanyaan tersebut, bersyukurlah. Karena kalian ada diantara orang-orang yang beruntung karena masih memiliki waktu untuk bersenang-senang dan memanjakan diri.
Dunia semakin mengerikan ketika kita beranjak dewasa, semua orang sibuk dengan laptop masing-masing. Mereka hanya peduli pada setumpuk pekerjaan yang ada disamping meja. Buku catatan selalu dipenuhi dengan agenda-agenda rapat yang tak ada habisnya. Semua orang berlomba-lomba mendapat kesuksesan sedini mungkin. Merintis bisnis, membangun sebuah start up, serta berusaha mencapai jabatan setinggi-tingginya di usia yang terbilang muda.
Tagline Menjadi Milyader di Usia 20 tahun bertebaran di mana-mana. Motivator ulung menggunakan tagline tersebut untuk menjual bisnisnya, sedangkan masyarakat menelan mentah-mentah tagline tersebut seakan menjadi milyader dan sukses diumur 20 tahun adalah suatu keharusan. Tanpa pernah berfikir bahwa rata-rata anak Sekolah Menangah Atas (SMA) di Indonesia lulus di usia 17 hingga 18 tahun. Lalu apa yang mereka harapkan dalam waktu dua sampai tiga tahun tersebut? Menjadi milyader? Merintis bisnis hingga akhirnya sukses? Atau bekerja di perusahaan dan mendapat gaji tinggi? Bukankah hal itu terlalu muluk-muluk?
Hal ini yang membuat anak muda rela membuang waktu bermain mereka, waktu meikmati masa muda dengan teman dan sejuta rencana liburan, serta waktu untuk berbagi momen yang akan menjadi kenangan di masa tua nanti. Demi mendapat label sukses di usia dini mereka sampai harus mengikuti berbagai kegiatan yang seharusnya belum mereka lakukan di usia sekolah. Mengikuti berbagai kegiatan volunteer dengan embel-embel setifikat, ikut berbagai kursus di media online yang entah untuk apa nantinya, mengikuti terlalu banyak organisasi dengan dalih mencari relasi, ikut magang di suatu perusahaan demi memperbaiki CV, dan berbagai hal lain yang bisa mereka lakukan demi menyandang gelar sukses di usia muda.
Mirisnya di media sosial seperti instagram misalnya, bertebaran tawaran magang yang tidak menentukan batas usia, entah apakah itu memang kegiatan magang atau hanya ajang mencari untung. Mungkin hal ini wajar apabila dilakukan oleh anak SMA atau seorang mahasiswa. Kenyataannya, di luar sana banyak anak-anak Sekolah Menengah Pertama (SMP) yang juga ikut melakukan hal-hal tersebut. Mereka melakukannya bukan semata-mata karena mereka tahu apa tujuan mereka kedepan. Namun, mereka melakukannya hanya karena takut tertinggal dari yang lain. Tak jarang pula mereka melakukannya hanya ikut-ikut teman.
Come on, anak-anak SMP seharusnya masih bermain, berusaha mencari jati diri, dan menikmati masa-masa remajanya. Bukan malah dibebani dengan pikiran-pikiran yang membuat mereka stress dan tertekan. Memiliki mind set sukses memang hal yang patut dibanggakan. Namun apabila dengan mind set ini membuat anak-anak dibawah umur tertekan secara fisik, emosi, dan psikis hal itu tidak lagi menjadi sesuatu yang patut dibanggakan. Malah seharusnya menjadi hal yang paturu dikhawatirkan dan diberi perhatian lebih.
Beberapa kali saya mendengar tentang keluhan seorang anak SMP yang merasa gagal karena ia tidak diterima di sebuah kegiatan volunteer, organisasi , atau kegiatan magang di suatu tempat. Ia merasa telah tertinggal dan gagal. Sebagai gantinya ia memutuskan untuk menjadi gila belajar. Sekolah dari pagi sampai sore, ditambah dengan berbagai les yang ia ikuti, dan masih belajar hinggan jam 12 malam, lalu bangun jam 4 pagi untuk bejar lagi. Belajar memang suatu keharusan, tapi belajar berjam-jam tanpa memperhatikan kesehatan fisik dan mental seperti ini lah yang salah. Belajar tidak lagi menjadi sebuah kebutuhan. Namun belajar seakan-akan menjadi ajang untuk berlomba-lomba mencaapai kesuksesan lebih awal. Padahal belajar dalam keadaan fisik dan mental yang lelah tidak akan menghasilkan output apapun.
Toxic productivity atau produktif yang tidak sehat yang dapat menggambarkan keadaan ini. Di mana setiap orang mulai dari anak-anak hingga orang dewasa berlomba-lomba mencapai kesuksesan sesuai standar kesuksesan orang lain yaitu dengan merintis bisnis, membangun sebuah start up, serta berusaha mencapai jabatan setinggi-tingginya di usia yang terbilang muda. Mereka melakukan segala cara untuk mendapat label sukses tanpa memperhatikan kesehatan fisik dan kesehatan mentalnya.
Sebenarnya pemikiran-pemikiran untuk menjadi sukses di usia muda bukanlaah sesuatu yang salah apabila diimbangi dengan memperhatikan kesehatan fisik dan kesehatan mental diri sendiri. Namun apabila tidak diimbangi dengan memperhatikan hal tersebut maka akan berdampak buruk bagi dirinya sendiri.
Toxic productivity membuat kita berpikir bahwa setiap manusia harus mencapai kesuksesan secepatnya tanpa pernah memberi kesempatan untuk gagal dan belajar dari kesalahan. Padahal kita semua tau bahwa setiap orang memiliki timing yang berbeda, ada yang di usia 20 tahun baru menemukan minat dan bakatnya, ada yang di usia 20 tahun sudah mulai merintis karir, dan masih banyak lagi.
Daripada berlomba-lomba untuk mencapai kesuksesan di usia muda hingga mengorbankan masa bermain dan menikmati masa muda, bukankah akan jauh lebih baik apabila kita menikmati setiap proses yang ada? dengan begitu kita akan belajar banyak hal melalui pengalaman dan kegagalan yang terjadi. Dengan hal itu, kita akan sadar bahwa manusia hidup untuk menjadi nyata, bukan sempurna.
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”