[CERPEN] Hari-Hari Manusia Ialah Ruang Tunggu

Menunggu memang menyebalkan dan menyedihkan, tetapi semesta punya caranya sendiri dan manusia adalah ruang tunggu dari apa yang sudah disiapkan oleh semesta.

Jadwal interview pukul 14.00 siang, merupakan hari kedua selepas kemarin di isi dengan tes tulis. Kali ini aku berada di sebuah kota besar, yang banyak menawarkan kejutan. Sudah lebih dari setahun  aku belum berhasil menemukan pekerjaan tetap, hari-hari aku isi dengan mencari lowongan pekerjaan dan bekerja lepas.

Advertisement

Kalau zaman sekarang sebut freelance. Dulu beberapa bulan selepas wisuda saat tak kunjung mendapat kerja, aku sempat  menutup diri dari lingkungan sekitar, ada rasa malu karena terlalu lama menganggur. Dari pada menambah jengkel kemudian menumbuhkan dosa lebih baik aku menjauh dari mereka.

Namun setiap hari adalah pelajaran, akhirnya aku berhasil menerima dengan dada lapang. Ternyata menganggur bukanlah kondisi buruk, yang harus di tutupi.  Fase ini cukup penting dalam perjalanan kehidupan. Memang pada awalnya penantian terasa sangat membosankan.

Semua kedukaan berkumpul bersama, bahkan semua topik pembicaraan mengarah tepat pada kita. Dari semua yang terjadi ada banyak hikmah di sini, aku berhasil dibentuk lebih kuat, aku di rakit lebih hebat dan aku siap untuk kejadian menakjubkan di masa mendatang.

Advertisement

***

Jam tanganku menunjukkan pukul satu lebih sekian, aku lekas bergegas bersiap dan berangkat menuju tempat interview. Tidak seberapa jauh kurang lebih 45 menit waktu tempuh bila lancar. Hanya saja aku selalu mengingat pesan ibu, untuk selalu membuat kesan baik di hari pertama contoh kecilnya, dengan datang tepat waktu.

Advertisement

“Jalan Tunjungan ?” tanyaku pada sopir angkot dan dengan cepat ia mengangguk. Sayangnya macetnya metropolitan kedua di Indonesia, membuat angkutan yang kutumpangi tak lekas bergerak cepat. Akhir pekan sepertinya membuat beberapa pekerja kantor pulang lebih awal. Pada bagian seperti ini ketakutanku hanya satu yakni terlambat datang.

 “Kuliah dik?” seorang ibu paruh baya memudarkan rasa cemasku.

“Em.. udah lulus bu.” Jawabku terbata-bata.

“Oalah sudah lulus, pulang kerja berarti?” tanyanya lebih bersemangat.

“Belum bu, masih mau interview.” Aku berusaha menjawab singkat, dan mulai mencari perhatian lain, entahlah rasanya selalu ada kecamuk ketika membahas hal sensetif seperti ini. Aku sudah sangat letih di hancurkan berkali-kali dan diberi harapan tanpa pasti.

“Nak, pesen ibu Cuma satu; anggap saja semua yang kamu lalui tadi atau kemarin adalah pemanasan untuk hari-hari mendatang yang jauh lebih kejam.” Ibu tersebut tersenyum sembari menepuk tanganku, sepertinya ia membaca jelas raut sedihku. Tidak lama kemudian ibu tersebut turun.

Kutatap nanar keluar jendela, rasanya keinginan menyerah terus-terusan membujuk tak henti-hentinya, tapi kaki selalu sigap untuk tetap berdiri. Entah apa yang menjadikanku kuat. Kehidupan semakin tidak tahu diri menempaku bertubi-tubi. Bahkan setiap hari selalu ada duri menghadang langkah ini. Seperti angkutan kota yang sedang kutumpangi sedari tadi, tak kunjung mempercepat lajunya.

Perjalanan telah berselang 20 menitan, perasaanku kian cemas karena takut tak sampai tepat waktu, dalam fikiranku hanya ada khayalan tentang kegagalan, saat interview telah usai aku baru datang ketika kantor telah tutup lalu bos keluar dengan raut wajah lelah menuju mobilnya. Kemudian aku hanya mampu memandangi tanpa berkata-kata, pupus sudah harapan kesekian kalinya.

“Astaga.. fikiranku kotor sekali.” Aku berhasil sadar ketika bunyi klakson saling bersautan silih berganti. Kurogoh uang di saku dan segera meminta pak sopir menunda laju.

“Aduh..” aku terhenyak menunda turun, melihat tali tasku di duduki penumpang di sampingku, keadaan angkutan memang begitu penuh bahkan ada beberapa yang memaksa tetap naik meskipun harus duduk di tengah-tengah pintu.

Akan tetapi, syukurlah cobaan kecil tersebut cepat selesai, kemudian secepat mungkin aku menuju trotoar. Menerabas kemacetan jalanan yang tak semudah kubayangkan, sedikitpun mereka enggan mengalah untuk sekedar memberi celah. Tidak kusangka jam sudah menunjukkan dua lewat lima belas menit, segera mungkin aku mencari pangkalan ojek. Namun itu tak sepenuhnya memberi jalan keluar.

Aku diminta kembali untuk menunggu, lebih dari dua puluh menit kuhabiskan untuk sekedar mencari pangkalan. Sebagian besar jalanan protokol macet total selain karena akhir pekan, juga karena imbas dari konvoi suporter Persebaya, yang timnya baru saja menjuarai liga Indonesia. Sebagai manusia kita tak akan pernah tahu rencana semesta. Jika memang diminta harus kalah kesekian kalinya, dengan terpaksa harus kita terima.

 “Pak, Tunjungan ya. Tapi sebelumnya maaf. Apa bapak bisa ngebut nanti? saya ada interview kerja pak.” Ujarku penuh harap.

“Ya kalau itu susah mbak lihat macetnya kayak gimana, tapi saya usahakan mencari lajur kosong dan cepat.” Jawab beliau cukup menenangkan.

Berulang kali, kami terhenti cukup lama sedangkan waktu kian cepat bertambah. Tukang ojek untuk kali sekian meminta maaf karena tak bisa mengabulkan keinginan penumpangnya. Air mataku hampir saja menetes, mataku kian berbinar. Aku fikir penantianku selama ini akan membuahkan hasil nyatanya masih belum berakhir.

Pukul empat kurang delapan belas menit. Gedung dan sekitar bangunan kantor sudah sangat lengang. Aku benar-benar tidak yakin akan masuk. Namun bapak ojek berusaha membujukku untuk tetap mencoba. Kepanikan semakin bertambah ketika aku mendapati dompetku lenyap. Mengingat kondisi resleting tas terbuka saat turun dari angkutan kota, membuatku semakin yakin bahwa seseorang telah mengambilnya.

Keinginan untuk menangis telah menggebu, bapak ojek hanya memandangiku penuh tanda tanya. Untunglah aku masih menyimpan beberapa lembar uang pecahan di saku celana, lalu segera membayarkannya. Detik jam berganti begitu cepat semua terasa hampa dan penuh duka. Aku benar-benar tidak sanggup lagi untuk melangkah ke dalam gedung, air mata mengalir deras.

“Ada yang bisa saya bantu?” Seorang OB berjalan menuju kearahku spontan aku menghapus air mata yang akan tumpah.

“Sa..sa..ya mau interview pak.” Ujarku tidak yakin.

“Oh mau interview, mari silakan ikut saya. Ibu sudah menunggu dari tadi.”

“Ha..menunggu?” aku benar-benar kaget mendengar ucapan itu. Bagaimana mungkin ada atasan yang mau melakukan interview apabila jam kantor telah usai.

“Silakan masuk. Beliau tadi bilang; jika ada pendaftar terakhir suruh langsung masuk. Monggo neng masuk langsung.” OB tersebut tersenyum ramah kemudian kembali mengerjakan tugasnya.

***

Titik Balik..

 “Jadi sebelum Ibu ada di posisi sekarang, dulu Ibu juga pernah mengalami posisi sepertimu bahkan lebih buruk sepertinya. Kamu masih fresh graduate kamu juga datang interview tidak begitu telat. Mengapa Ibu harus marah?” ucapnya santai sembari melihat-lihat berkas yang kusodorkan.

“Seorang pernah berkata; manusia bijak selalu memandang kesegala arah dan tidak menilai dari satu salah. Kurang lebih, dulu ibu tiga bulan tidak dihubungi pihak perusahaan, jelas saja Ibu akan berfikir di tolak. Bahkan semenjak Ibu datang terlambat fikiran untuk di terima sudah sangat mustahil. Namun, sore kala itu tak di nyana pihak perusahaan menghubungi Ibu, meminta Ibu untuk datang ke kantor lusa esok.”

Beliau berhenti sejenak dan aku semakin terbelalak mendengar ceritanya “Ibu benar-benar kaget saat diminta untuk mengisi bagian kosong dalam perusahan ini. Memang Ibu selalu percaya keajaiban tapi Ibu tidak pernah menyangka akan mendapat keajaiban luar biasa itu.

Pihak perusahaan menerima bukan tanpa alasan meski saat itu Ibu terlambat tapi ada banyak berkas yang bisa dijadikan pertimbangan.” Selalu dapat dipastikan setelah berbicara akan nampak senyum tersimpul pada bibir beliau.

“Saya beruntung bisa melakukan banyak perbincangan dengan Ibu, mungkin ini tujuan semesta membuat skenario untuk saya datang telat. Terima kasih bu untuk pelajaran hidupnya, saya merasa tersanjung berkesempatan mengenal Ibu.” Aku benar-benar tidak bisa menyembunyikan mata merahku karena begitu terharu bisa mengenal orang hebat seperti beliau.

“Sama-sama nak, semoga kamu tetap semangat untuk menunggu dan berusaha. Tapi Ibu tidak bisa berjanji menerima kamu ya, karena keputusan di ambil dari banyak pihak. Ibu yakin bila kamu tidak bekerja di perusahaan ini. Kamu akan mendapat pekerjaan yang lebih baik setelah dari sini. Pesan saya satu, jangan remehkan hal-hal kecil selama proses menunggumu.”

Beliau masih saja tersenyum ramah sepertinya beliau tidak akan pernah menunjukkan rasa lelah, padahal jam telah menunjukkan pukul lima lebih sekian, aku benar-benar salut padanya karena mau menghargai orang-orang sepertiku.

Selepas dari sana, ada banyak pelajaran hidup yang berhasil kuambil. Mulai dari cara beliau memberlakukan seseorang dengan sama, tanpa memandang derajat atau kasta. Dari beliau juga aku paham bahwa seorang yang hebat akan di bentuk berkali-kali dengan dijatuhkan atau dipatahkan.

Cara beliau menunggu kabar-kabar baik membuatku semakin berlapang untuk menjalani semuanya dengan tenang, bahwa memang hari-hari manusia adalah ruang tunggu atas segala harapan yang diinginkan.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Melakukan dengan Hati agar lebih hidup.

CLOSE