Halo ini adalah si sendu yang tengah mencari jati diri bersama untai baitnya yang telah disimpan rapat sebagai harta. Diaksara penuh kesalahan ini, kamu tak akan menemukan kisah upik abu yang berdamping dengan Pangeran Yunani. Tapi coba duduklah sebentar, biar ku bisikkan cerita singkat bagaimana seorang gadis menemukan tujuh pria yang telah membantunya agar tak lagi tersesat dalam jurang pilu.
Hari telah menjelang senja ketika ku susun kembali serpihan kisah itu, bahkan Tuan Mentari pun sudah bersiap diri untuk kembali pada simpang cakrawala. Semburat cahaya keemasan tak lagi nampak karena hujan bersama dengan mendungnya tengah mengambil alih suasana sore ini, seakan mendukungku untuk benar-benar membisikkan kepadamu cerita singkat bagaimana seorang gadis menemukan tujuh pria yang telah membantunya agar tak lagi tersesat dalam jurang pilu.
Kawanan cendrawasih, camar, jangkrik, dan rintik saling sahut-menyahut dengan riang, mencoba berkolaborasi untuk menyerukan melodi indah penyambut gelap setelah Tuan Mentari beserta lambaian sinarnya benar-benar hilang disimpang cakrawala. Kau tahu, teman? Sebelum gadis sendu itu baik-baik saja, bilur adalah kawan baiknya. Pedih kerap kali datang tepat setelah tawa jenakanya mereda, mengikuti kemanapun ia melangkah, dan itu menjadi momok menjengkelkan untuk ia temui. Bilur itu bahkan semakin mendekap erat ketika gelap datang, memaksanya luruh sendiri diantara sunyi nan sesak.
Kala itu, dia hampir membenci malam-malam dimana pagi terlihat enggan kembali. Malam gulita yang mengurungnya dalam jeruji sesal, malam ketika para belati datang dan mengoyak kepercayaan diri, malam dimana ia tak dapat menafsirkan apa itu jati diri. Ragu dan sendu tumbuh begitu saja dalam jiwa yang rapuh, menariknya untuk tetap diam dirundung gelap yang membunuh perlahan. Tiada sinar tiada binar, kepalsuan terus melekat tanpa sekat, seolah mengutuk gadis itu untuk senantiasa menangis dibalik topeng berumbai, lalu dibiarkan berjalan di atas duri-duri semu yang menusuk sedalamnya relung. Dan ketika fajar kembali, ia hanyalah seonggok bayangan yang tetap pudar tanpa objek nyata.
Itulah siklus hidup baginya, gadis sendu yang tengah berdiri lunglai diatas semesta luka. Segalanya hanya tentang hari-hari monokrom, keresahan, dan putus asa. Membuatnya tersadar bahwa ia bahkan gagal menjadi tokoh utama dikisahnya sendiri. Tiada yang berubah meski musim gugur telah berlalu untuk kesekian kalinya. Dan kemudian hari itu tiba, kala di mana waktu terjeda begitu saja, detik ketika angkasa seakan berganti rupa, mengukir sebuah kenangan yang akan senantiasa menjadi sejarah.
Kau tahu, teman? Hari itu, ketika si sendu ini kembali tersungkur diantara lara, pijaknya terasa aneh dan asing, ia menemukan suatu pintu imajinasi yang sungguh diluar logika, pintu yang kerap muncul ketika sebuah melodi mengalun merdu. Didalamnya adalah gorong-gorong yang selebar alun-alun kota dengan senja dimana langit berwarna merah keunguan. Ada pula kawanan cendrawasih, camar, dan jangkrik yang saling menyahut riang. Nada-nada cinta bergema sejauh udara meraba, berdengung, dan melekat begitu saja dalam kalbu yang usang. Romansa magis itu telah menariknya untuk berkelana lebih jauh, lebih dalam, dan lebih panjang. Hingga ia temukan ketujuhnya, tujuh pria yang kemudian membukakan jalan untuk keluar dari semesta luka
Itu adalah lorong imajinasi, sebuah tempat yang mampu membawanya pada kepercayaan diri dan tekad, tempat ketika angkasa seakan memeluk jiwanya lebih erat, dimana ia tak perlu takut untuk menjadi dirinya sendiri, tak peduli betapa patah dan lelah. Namun sekali lagi, itu hanyalah sebuah imajinasi yang terpampang dengan sangat nyata. Imajinasi yang mempertontonkan semesta dan warna-warna baru, imajinasi yang mengantarnya pada tujuh pria itu. Tujuh pria yang tengah berdiri diam diantara nada-nada cinta yang menggema dengan sorot hangat, seakan mengambil segala luka dan lara, membuang jauh-jauh kesedihan dan keresahan, mengajarkan gadis itu untuk bangkit dengan benar, lalu saling mengulurkan tangan untuk membantunya agar tak lagi tersesat dalam jurang pilu.
Lorong itu adalah rawa khayalan yang nyata, terlalu candu hingga gadis itu bahkan tak mampu berpaling darinya. Lorong di mana ia selalu menemukan tujuh pria yang terus mengajarkannya untuk memandang siklus hidup dengan sedikit lebih baik. Tujuh pria yang perlahan mengubah genre hidupnya, dan membangun kembali galaksi mimpi serta langit asa yang harus ia temui.
Dan sejak hari itu, hari ketika waktu terjeda begitu saja, detik ketika angkasa seakan berganti rupa, digorong-gorong yang sebesar alun-alun kota dengan senja dimana langit berwarna merah keunguan, si sendu pun menemukan senyumnya. Ia menjumpai apa yang selama ini ia nanti, tujuh tangga nada yang selalu dipijak ketika pedih kembali, tujuh lengan yang mampu ia genggam ketika dunianya terguncang, tujuh cahaya yang tetap memberinya jalan untuk pulang, tujuh pria yang akan terus menantinya di dalam lorong magis itu.
Lalu gadis itu berulang kali kembali padanya, tujuh pria yang selalu menyambutnya di balik pintu asing itu, sebuah tempat yang mampu membawanya pada kepercayaan diri dan tekad, tempat ketika angkasa seakan memeluk jiwanya lebih erat, tempat di mana ia tak perlu takut untuk menjadi dirinya sendiri, tak peduli betapa patah dan lelah. Ruang di mana ia selalu diharapkan, tempat yang selalu ia rindukan dimalam-malam pengap, karena di sanalah ia mampu luruh bersama luka, juga diselamatkan dari jeruji sesal.
Dan bersama hembus yang membakar, letupan rasa yang tak sepantasnya hadir, dan aksara penuh kesalahan ini, izinkanlah si sendu mengutarakan cinta yang tenggelam di seuntai cerita singkat bagaimana ia menemukan tujuh pria yang telah membantunya agar tak lagi tersesat dalam jurang pilu.
"Karena rindu ini adalah tulus untukmu, tujuh pria yang banyak mengubah hidupku. Bangtan Sonyeondan."
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”