Jakarta dan Covid-19, Kota yang Tak Pernah Mati Meski di Tengah Prahara

COVID-19 semakin berkembang tak terkecuali di ibukota Indonesia, Jakarta

Corona Viruses Disease atau yang biasa kita baca maupun kita sebut sebagai COVID-19 semakin mengembang-biakkan dirinya di tengah-tengah manusia, tak terkecuali bagi populasi yang ada di ibukota Indonesia, Jakarta. Seakan tak puas untuk terus mencari Inang-nya, virus tersebut belum gentar berhenti menyerang tubuh-tubuh si penderita, juga gencar membayangi dan menakut-nakuti manusia lain yang kini sedang harap-harap cemas akan kondisi kesehatannya dan lingkungannya. Tak tanggung-tanggung, virus ini bisa mencapai angka 2.000 lebih untuk perhitungan yang positif terjangkit (data terbaru per tanggal 4 April 2020), itupun belum termasuk perhitungan bagi mereka yang belum sempat terdeteksi. Dengan jumlah kurang lebih 150 kasus meninggal dikarenakan virus tersebut, Covid-19 sudah cukup menjadi momok yang menakutkan bagi para warga Jakarta, sekaligus mimpi buruk bagi seluruh warga Indonesia terutama para aparat pemerintah yang kini tengah dilanda sakit kepala karena bersikeras memikirkan bagaimana jalan keluarnya.

Advertisement


Apa yang menyebabkan ironis dan menakutkan dari Covid-19 adalah 1 hal; belum ditemukannya obat penangkal bagi virus ini.


Meskipun terdapat beberapa sumber yang menyebutkan bahwa negara-negara adidaya di luar sana sudah menemukan vaksin maupun penangkal-penangkalnya, tetap saja vaksin maupun penangkal tersebut pasti harus melewati tahap uji coba yang juga pastinya memakan waktu yang tidak sedikit, walhasil setiap orang belum bisa merasakan aman sepenuhnya.

Terlebih warga Jakarta, kota yang digadang-gadang sebagai kota yang tak pernah mati ini, Covid-19 bagaikan tentara pembunuh bayaran, atau mungkin penembak misterius, yang keberadaannya beserta seluruh sinyal-sinyal kedatangannya tidak bisa kita pastikan dengan benar-benar pasti. Bagaimana tidak, hampir seluruh masyarakat Jakarta menggantungkan kehidupan mereka di pekerjaan mereka sehari-hari, yang mana mengharuskan tubuh dan jiwa mereka keluar rumah menghadapi alam semesta. Saat mereka diharuskan untuk keluar rumah, saat itu pula Covid-19 telah siap dan “duduk manis” menunggu kedatangan kita, para “calon-calon” Inang-nya.

Advertisement


Bagaikan simalakama,

tidak keluar rumah = sulit mendapatkan nafkah,

keluar rumah = mempertaruhkan nyawa.


Tentunya Pemerintah Indonesia sudah bersikeras untuk mencari jalan keluar yang terbaik bagi situasi dan kondisi Indonesia pada saat ini, khususnya bagi penduduk DKI Jakarta. Berbagai usaha digaungkan, mulai dari penyematan Tagar #DiRumahAja , sosialisasi habis-habisan mengenai Social Distancing yang kini terdapat pergeseran makna menjadi Physical Distancing , hingga video-video, pamflet, spanduk, dan Infografis yang berisikan himbauan untuk menjaga jarak antar sesama serta cuci tangan sebersih-bersihnya.

Advertisement

Ketika semua itu mulai diaplikasikan di Ibukota, hasil yang ditemukan ternyata berbeda dari ekspektasi yang sudah terbentuk dengan nyaris sempurna. Program Work From Home yang tak sedikit berujung kepada pemutusan hubungan kerja secara sepihak dikarenakan kondisi perusahaan yang terombang-ambing; bahkan hampir tenggelam. Panic Buying yang sempat merajalela sehingga mengakibatkan melambungnya harga keperluan rumah tangga di pasaran. Bisnis yang bergantung pada sistem Daring terseok-seok akibat tidak adanya customer yang muncul, sampai pada ketakutan-ketakutan mental berlebihan lainnya yang mengakibatkan apa yang seharusnya tidak dilakukan malah dilakukan beramai-ramai dan berdampak buruk kepada orang membutuhkannya, contoh: kurangnya stok APD untuk para tenaga medis. Meski begitu, ditengah situasi chaos seperti ini, ada hal yang menarik dari kota Jakarta; ia tidak mati, tetap ramai seperti biasanya, seperti khas-nya Ibukota sebuah negara. Manusianya yang kurang peduli, atau mau-tak-mau, mana yang lebih cocok disematkan?

Kesibukan Jakarta sebagai ibukota negara Republik Indonesia sudah menjadi makanan sehari-hari bagi warganya. Kemacetannya, hiruk-pikuk nya dari permulaan hari Senin hingga ke ujung hari kerja yaitu Jumat, laju cepat bisnis-bisnisnya, seakan sudah menjadi sebuah Icon bagi DKI Jakarta. Sementara, ditengah pandemi seperti ini, khas-nya yang Iconic tersebut hanya sedikit saja berubah. Sebagian warganya betul berdiam diri dirumah, sebagian yang lain lagi asyik menawar harga produk di pasar. Sebagian warganya melakukan karantina mandiri, sebagian lagi terlihat masih duduk santai di pinggir warung kedai. Di sini, kita dapat menyaksikan secara jelas dan menganga lebar, tentang bagaimana insting manusia yang sedang bertarung melawan antara egosentris yang telah lama terbentuk serta naluriah kemanusiaan yang sudah ada secara alami.

 

Jakarta, bulan April tahun 2020 ini, masih dirundung sembilu tentang tetap bergerak untuk bertahan, atau diam di tempat menunggu keajaiban, yang sayangnya sama-sama memiliki tingkat resiko yang sejajar tanpa celah.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Suka Nafas. Suka Nulis. Suka Minum Kopi (Hitam). Suka Gitaran (yang kordnya sukasukahati) Suka Nongkrong.

CLOSE