Jangan Hidup untuk Memenuhi Ekspektasi Orang Lain, Sangat Melelahkan Bukan?

Jangan sibuk memikirkan mereka hingga kau lupa kepada AKU

Hasrat untuk di akui seiring berkembangnya peradaban membuat kita menjadi semakin keras terhadap diri kita sendiri. Bukan tanpa sebab, tapi karena kita melekatkan ekspetasi orang lain kepada diri kita. Dengan beranggapan bahwa kepuasan baru bisa mempunyai value ketika kita di akui dan mendapatkan pengakuan dari orang lain atas prestasi dan harapan yang justru memberatkan kita guna mendapatkan ekspetasi yang di letakan orang lain kepada kita.


Pujian dan pengakuan adalah kebiasaan yang sudah mengakar sedari kita kecil


Sedari kecil mungkin kita terbiasa dengan pujian, pengakuan dari orang lain, sehingga membuat kepribadian kita terbentuk haus akan pengakuan dan pujian dari orang lain. Contoh sederhana nya jika di masa kecil kita dulu, ketika mendapatkan nilai bagus atau peringkat di sekolah, maka semua pujian dan pengakuan silih berganti merasuki pikiran dan perasaan kita, dan membuat kita semakin merasa menjadi superior.

Timbul satu prespektif baru, maka jika kita ingin mendapatkan pujian dan pengakuan maka kita harus berjuang mati-matian demi keinginan kita tetap menjadi superior seperti masa kita kecil dulu ketika mendapatkan ranking 5 besar atau mendapatkan nilai 100 di semua mata pelajaran.


Apakah kita butuh apresiasi yang luar biasa ketika memungut sampah yang berserakan di tempat umum ?


Kita ambil contoh, mungkin kita beranggapan bahwa memungut sampah di tempat umum itu tidak terlalu akan di perhatikan orang banyak dan mendapatkan pujian yang tinggi dari orang lain, kecuali jika kita menguploadnya di media sosial kita, guna mendapatkan like, dan comment yang banyak. padahal Itu bagian dari alogaritma artificial yang membuat kita menjadi semakin cepat puas dan makin haus akan pengakuan dan pujian.

Kita anggap ketika kita memungut sampah pada saat itu bukan hal yang besar dan mendapatkan pujian, tentu kita akan acuh untuk sekedar meletakkan sampah di tong sampah  yang tercecer di tempat umum itu. Buat apa aku melakukan hal yang tidak mendapatkan pujian dan pengakuan dari orang lain. Padahal terlepas dari dapat pengakuan atau pujian, memungut sampah yang tercecer dan memasukan nya ke tong sampah adalah wajib, sebagai masyarakat dan individu, dan juga beban moral kita sebagai mahluk dengan akal pikiran yang sehat.


Reward and punishment


Kembali ke soal sampah tadi, ini bukan hal yang sesederhana itu, kita tentu telah di bentuk sedari kita kecil dari lingkungan dan pendidikan dengan yang di sebut Reward and Punishment. Simple nya jika kita melakukan hal yang tepat kita akan mendapatkan pujian, jika kita melakukan hal yang tidak tepat kita akan mendapatkan hukuman.

Dan kembali lagi, ini mengarah pada gaya hidup dan prespektif yang keliru, ketika kita berfikir kalau tidak ada yang memujiku aku tidak akan melalukan tindakan yang tepat pun sebaliknya.

Sudah tertanam di diri kita jika kita ingin di puji ketika memunguti sampah itu, dan jika tidak ada pujian dari orang lain kita akan merasa gusar, geram, resah dan akhirnya kita tidak akan melakukan itu.


Hiduplah untuk dirimu sendiri, dan apa yang kita yakini


Perkembangan teknologi dan media sosial menetapkan standar yang bermacam-macam. Tentu saja semakin sering kita bermain media sosial tanpa filter yang logis kita semakin menetapkan standar orang lain itu kepada diri kita sendiri. Memang media sosial mempunya dampak positif nya juga, secara ekonomi dan sosial. Tapi media sosial lebih sering menampilkan perbandingan – perbandingan yang justru membuat kita semakin gusar untuk memenuhi ekspektasi di media sosial untuk tetap setara dalam konteks yang terlalu berani dan terkadang semu.

Kalau kita tidak menjalani hidup kita untuk diri kita sendiri, lalu siapa yang akan menjalani nya demi kita ? Kita hanya bisa menjalani hidup kita sendiri.


Sudahkah kita memikirkan aku sebelum memikirkan mereka ?


Ketika kita terkurung dalam ekspetasi orang lain, sadar atau tidak, justru itu membuat kita melakukan setiap gerak kita pada keinginan atau harapan dari orang lain kepada kita. Tidak masalah jika kita memang mampu mengikuti ekspetasi orang lain kepada kita, toh itu mungkin membuat kita termotivasi, tapi bagaimana jika kita tidak mampu memenuhi ekspektasi yang orang lain rekatkan kepada diri kita ?

Saat seseorang mencari pengakuan dari orang lain, dan memandang dari pengakuan orang lain, pada akhirnya bukankah sama saja kita sedang menjalani kehidupan orang lain ?

Kita berharap kuat untuk mengikuti ekspetasi orang lain pada hidup yang kita jalani, kita harus menjadi orang seperti ini harus begini dan sebagainya. Maka dengan demikian kita telah membuang diri kita yang sejati demi menjalani kehidupan untuk orang lain.


Seseorang harus  mendapatkan pengakuan dari orang lain atau dia akan menderita


Jika kita mendapatkan pengakuan dari orang lain dan orang terdekat kita, tentu kita tidak memiliki keyakinan kepada diri kita sendiri, apakah itu hidup yang sehat ?

Apakah jika kita mendapatkan pengakuan dari orang lain, bisa di jamin kita akan mendapatkan kebahagiaan setelah nya ? Apakah orang yang memantapkan status sosial mereka, sungguh-sungguh merasa bahagia ?

Karena kita terlalu cemas akan penilaian orang lain, bagaimana mereka melihatmu, dan takut akan penilaian mereka dan mengekang diri kita sendiri yang di sebut AKU. Apakah kita harus mengikut ekspetasi orang lain terhadap diri kita, hingga kita lupa mementingkan diri kita sendiri Atau kita sebut saja AKU?

Setiap pertanyaan tentu mempunyai jawaban yang berbeda-beda, tergantung sudut pandang kita melihat hal ini, tapi menjadi AKU lebih membuat kita merasa hidup sebagai manusia seutuhnya, bukan sebagai benda atau boneka yang sesuka hati orang lain gerakan sesuai keinginan dan ekspetasi  mereka terhadap kita.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Cuma ingin menulis, semoga bermanfaat dan terhibur.