Jangan Takut Jomlo, Cintailah Diri Sendiri Dulu

Kalau bukan kita yang mencintai diri sendiri, siapa lagi?

Di bulan yang disebut sebagai bulan kasih sayang ini, rasanya banyak sekali godaan dari pasangan-pasangan lain. Apalagi belakangan ini tak sedikit lamaran dan pernikahan berlangsung membuat kita membayangkan nasib diri sendiri yang masih belum memiliki pasangan. Setiap kali menyakikan ke-uwu-an orang-orang di sosial media, terutama drama-drama Korea, rasanya ingin cepat-cepat punya pasangan yang bisa menemani.

Advertisement

Kalau lagi kumpul keluarga, mulai dari bude, pakde, eyang, setiap melihat kita masih belum menggandeng pasangan pasti melontarkan kalimat:


Kapan menikah?

Kok umur segini masih sendiri aja? Cari pasangan dong!

Advertisement

Masa kamu kalah sama anaknya tetanggamu yang udah punya anak dua?

Memangnya kamu nggak ingin momoong bayi?


Advertisement

Dan kalimat-kalimat serupa lainnya. Jenuh nggak sih mendengarkan pertanyaan itu-itu saja seakan tidak ada dari kehidupan kita yang menarik selain pasangan?

Banyak dari kita yang akhirnya menjadi terlalu khawatir setelah mendengar pertanyaan bejibun dengan topik sama: pasangan. Beberapa yang sudah terlalu muak oleh desakan-desakan semacam itu akhirnya memilih segera mencari pasangan hanya untuk sekadar menemani ataupun menghindar dari desakan pertanyaan semacam itu.

Ya walaupun tidak semua yang mencari pasangan tujuannya hanya untuk itu.

Bukan hanya dari keluarga besar saja, sering kali faktor lingkungan sekeliling seperti pertemanan juga kerap mendorong seseorang untuk menginginkan pasangan. Alhasil tak jarang dari mereka yang pada akhirnya hanya asal mencari pasangan supaya tidak diejek oleh kawan sebaya atau keluarga besar.

Padahal, tahu nggak sih dampak kalau kita mencari pasangan 'ala kadarnya' alias tidak dinilai dulu tuh apa? Yap, bisa saja seseorang yang menjadi pasangan kita adalah tipikal ringan tangan alias senang melakukan tindakan kekerasan, gaslighting atau mudah menyalahkan balik, dan sifat-sifat toxic lainnya.

Ada banyak orang yang memilih asal menerima saja dan berujung bersama seseorang yang pada akhirnya malah memberikan racun untuk perasaan. Ketika seharusnya mencari pasangan itu adalah hal serius dan tidak boleh main-main, tak jarang sekarang orang mencari pasangan hanya karena paksaan desakan lingkungan pertemanan atau keluarga. Ada juga yang takut dihakimi kalau belum segera menikah dan berujung melangsungkan pernikahan di luar kesiapan mental ataupun finansial.

Tentu saja bukan perkara mudah untuk mencari pasangan yang bisa membuat hubungan menjadi seimbang—dalam kata lain, bukan hanya berat sebelah di mana satu pasangan malah menyakiti. Tentu saja pula tidak harus mencari pasangan yang 100 persen cocok sebab pada dasarnya tidak ada manusia yang benar-benar cocok. Meskipun begitu, tetap saja pasangan adalah seseorang yang akan menemani kita dan menjalin tali kasih sayang.

Kalau hubungan kita dengan pasangan hanya diisi dengan sifat-sifat kekerasan dan racun semacamnya, bagaimana bisa hubungan disebut hubungan yang sehat? Kalau saja bisa sedikit lebih bersabar, sebenarnya bukan masalah besar kok kalau kita memilih untuk sendiri dulu.

Terus bagaimana dengan perkataan orang lain?

Memang menyakitkan kadang kala kalau diejek tentang suatu hal yang belum kita miliki. Namun bukankah hidup itu yang menjalani adalah diri kita sendiri? Mereka mungkin bisa mengatakan hal yang jelek-jelek, tetapi kalau pada akhirnya hubunganmu yang sejak awal karena paksaan desakan dan berujung hubungan tidak sehat, apakah mereka akan membantumu melaluinya?

Apakah mereka akan bertanggung jawab karena hal itu disebabkan perkataan mereka?

Jawabannya adalah tidak.

Pada dasarnya manusia hidup memang membutuhkan orang lain, tetapi kita tentu saja tidak bisa selalu mengandalkan mereka. Manusia adalah bentuk dinamis di mana suatu waktu bisa saja berubah. Begitu pula dengan pasangan. Kalau kita mencari pasangan ketika kita di posisi tidak siap, terlebih sampai melangsungkan pernikahan, apakah itu tidak akan membuat dampak tidak baik nantinya?

Apalagi jika kita belum selesai dengan luka masa lalu, entah luka masa kecil, luka dengan pasangan yang sebelumnya, luka dengan keluarga yang tidak utuh, lalu perasaan luka itu membuat kita justru melampiaskan ke pasangan. Apakah itu tidak akan menyakiti pasangan kita nantinya?

Dalam proses menjalani kesendirian, kita tetap bisa menikmati hidup sekalipun mendengar ocehan orang lain. Bukan masalah besar memilih untuk sendiri dulu sementara waktu. Sembari mempersiapkan diri supaya tidak memelihara luka-luka masa lalu atau trauma yang kita simpan, kita bisa mencoba untuk belajar menerima dan mencintai diri sendiri.

Seseorang yang belum mencintai diri sendiri cenderung akan mudah merasa rendah. Bayangkan, ketika pasangan kita mau berkembang dan bergerak maju, tetapi kita belum mencintai diri sendiri. Banyak sekali kasus pasangan yang melarang pasangannya untuk berkembang dalam karir maupun pendidikan. Kalau tidak dituruti, berujung keposesifan dan rasa terancam karena pasangan lebih tinggi dibandingkan kita.  Padahal dua hal itu adalah hak masing-masing manusia.



Hal itu membuktikan secuil dampak kalau kita belum selesai dengan diri sendiri. Niat mencari pasangan untuk saling berbagi kasih sayang malah berubah menjadi saling menyakiti. Bukankah kita semua menginginkan hubungan yang damai? Walaupun tetap akan ada masalah, tetapi setidaknya kita tidak memberikan dampak luka diri sendiri ke pasangan kalau kita belum mencintai diri sendiri.

Dan, kalau kita belum mencintai diri sendiri lalu bergantung kepada pasangan, kita tidak akan menyadari nilai berharganya kita.

Jadi, jangan takut ya kalau ada yang berpikiran buruk soal kamu yang tidak punya pasangan. Cintailah dirimu dulu sebelum mencintai orang lain. Karena dengan begitu, kamu bisa menghargai dirimu sendiri dan tidak akan membiarkan dirimu diperlakukan seenaknya oleh pasangan. 

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

seorang perempuan. 19 tahun. menulis adalah menciptakan rumah untuk menjadi diri seutuhnya.

CLOSE