[CERPEN] Janji Selepas Senja

Kisah tentang Siti, gadis kampung yang setia menunggu kekasihnya kembali

“Mau tunggu dia sampai kapan? Ingat umurmu sekarang”

“Sudah bagus ada pria baik-baik yang masih mau datang melamarmu, eh, malah kau tolak. Sungguh tak habis pikir aku denganmu, ti”

“Kamu mau jadi perawan tua, iya?”

Advertisement

Celoteh, teguran dan sindiran sudah biasa di telan mentah-mentah oleh Siti. Pada usianya yang menjelang seperempat abad, ia makin menjadi bulan-bulanan oleh orang di sekitarnya soal kapan menikah. Maklum saja, standar usia menikah anak gadis di kampungnya adalah 17-18 tahun. Dengan standar demikian, usia Siti sudah dianggap memasuki kategori perawan tua. Tak hanya orang tuanya yang resah, satu kampung pun ikut gelisah memikirkan perihal masa depan Siti. 

Semua orang tahu, kurang apa lah si Siti ini. Soal tampang, Siti termasuk ke dalam deretan lima besar gadis paling manis di kampungnya. Gadis berkerudung dengan kulit kuning langsat, hidung mancung, mata sayu, bibir tipis merah delima, lengkap dengan sepasang lesung pipi yang menyembul setiap kali ia menyunggingkan seulas senyum. Dan anak baik-baik dari keluarga yang baik-baik pula. Siti juga seorang tamatan SMA–yang tergolong cukup tinggi untuk standar pendidikan perempuan dikampungnya. Selain itu, ia juga punya banyak keahlian lain, seperti menjahit, membuat kue, menyulam, mengajari anak-anak dan hal-hal lainnya yang mampu mengesankan calon ibu mertua.

Dengan pertimbangan ini semua, tentu mudah bagi Siti untuk menemukan pasangan yang layak. Dan tentu saja, bejibun laki-laki telah datang meminangnya. Semuanya bukan orang sembarangan, mulai dari yang bertampang, berharta, hingga berpangkat. Namun, semuanya ditolak oleh Siti. Alasannya? Siti sudah memiliki tambatan hatinya sendiri.

Advertisement

Supri namanya. Keduanya saling mengenal saat di bangku SMA. Supri adalah kakak kelas Siti, satu tingkat di atasnya. Entah bagaimana ceritanya, keduanya jatuh hati. Supri yang terlebih dulu lulus memutuskan untuk pergi merantau ke negeri seberang. Melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi demi mencari nasib yang lebih baik. 

Namun, sebelum mereka berpisah, dua sejoli ini tampaknya sudah mengikat janji. Janji bahwa Supri akan pergi menemukan nasib yang lebih baik di luar sana dan akan kembali pulang untuk menikahi Siti. Dan janji bahwa Siti akan setia menunggu Supri kembali. Siti pun menepatinya. Terus, terus dan terus menunggu hingga lima tahun berselang, tanpa ada kabar lewat secarik surat pun darinya.

Advertisement

Orang tuanya, keluarganya, sanak famili dan tetangga sudah mewanti-wanti Siti untuk melupakan Supri. “Kalau dia sayang sama kamu, sudah pasti dia akan memberimu kabar” atau “Ti, di dunia ini banyak lelaki yang suka mengobral janji manis, jangan biarkan dirimu diperdaya”. Namun, belum ada seorangpun yang berhasil mempengaruhi Siti. Gadis itu tetap pada pendiriannya.

Kesetiaan si Siti atau mungkin ke-keraskepalaan-nya makin lama makin terasa menjengkelkan bagi Bu Nur, ibunya Siti. Ibunya berniat untuk menjodohkan Siti, cepat atau lambat. Kedua adik perempuannya, Dara dan Zizah bahkan sudah menikah duluan, masa anak sulungnya terus dibiarkan men-jomblo?

Saat Bu Zubaidah, sahabatnya, mencoba menyinggung perihal perjodohan anak bungsunya, Yusuf, dengan si Siti, tentu saja Bu Nur menyambutnya dengan gegap gempita.

“Tapi kan, Siti sudah agak tua. Masih banyak anak gadis muda lainnya yang bisa disandingkan dengan Yusuf” ungkap Bu Nur dengan lagak merendah pada Bu Zubaidah, pada suatu sore di beranda rumahnya.

“Haah, tidak tua-tua amat lah, bu Nur. Masih cantik, kok. Si Yusuf juga tidak neko-neko orangnya. Yang penting baik dan soleha. Itu yang penting. Kalau bicara soal usia, masih lebih tua Yusuf saya” kilah bu Zubaidah.

“Iyaa, tapi anak laki-laki kan beda, banyak yang harus dipikirkannya dulu. Beda sama anak perempuan”

Dari balik dinding kamarnya yang terbuat dari kayu, Siti samar-samar bisa mendengar percakapan mereka. Jelas sekali niat Bu Zubaidah untuk menjodohkan dirinya dengan Yusuf, anaknya yang berprofesi sebagai guru SMP di kampung sebelah. Bu Zubaidah kerap mengajak berbincangnya saat bertemu di pasar, sambil sesekali menyinggung soal kapan Siti mau menikah. Bu Zubaidah bahkan kerap membayarkan belanjaannya.



“Ti, kau harus terima lamaran si Yusuf”, kata ibunya sepulang Bu Zubaidah.

Siti yang sedang duduk di ranjang hanya menatap ibunya. Ekspresinya menyiratkan jawaban yang masih sama. Tidak.

“Ti, tunggu apalagi? Tunggu jadi nenek-nenek?” Bu Nur geram dengan respon Siti yang tetap sama. “Apa kurang si Yusuf ini. 

Anaknya baik, sopan, mapan juga”

“Siti tidak suka dengan Yusuf”

“Jadi kamu sukanya siapa? Si hantu biru itu?” Sebutan “si hantu biru” jelas merujuk pada Supri.

Siti diam.

“Mengapa pula kau harus setia pada lelaki yang bukan suamimu?”

Siti menunduk.

“Siti oh Sitiku”, Bu Nur mendekati anak gadis sulungnya, mengelus rambut panjangnya. “Ibu tidak pernah mau memaksamu. Ibu cuma ingin kamu bahagia, itu saja”

“Tapi kalau Siti tidak bahagia dengan Yusuf, mau bagaimana?

“Lalu, kalau si Suprimu tidak kembali– barangkali dia sudah menikah dengan gadis lain di sana–sedangkan kamu terus menunggu harapan kosong, kamu mau bagaimana? 

Siti membuang muka.

“Untuk sementara, Siti cuma masih mau menunggu” ucapnya pelan.

Ibunya menghela napas berat.

“Ibu dan ayah jangan pusingkan Siti. Kalau cuma ingin melihat Siti bahagia, Siti pun sekarang bahagia tinggal di sini bersama kalian”

Sang ibu tertawa sedih mendengar jawaban anaknya. “Kamu ini anak yang paling tua, tapi kok kekanak-kanakan sekali. Bisa-bisa si Anna akan menyalipmu lagi”

Siti hanya tersenyum.

“Ya sudahlah, ti. Capek ibu bicara sama kamu juga”, ucap ibunya menyerah. Namun sebelum keluar, ketika hendak menutup pintu kamarnya, ibunya mengingatkan, “Pikirkanlah soal ini, Ti. Pikirkan secara dewasa dan realistis”

Siti cuma mengangguk.

***

Malam itu, Siti tak bisa tidur meski sudah larut. Ia hanya mencermati langit-langit kamarnya dalam sinar lampu yang remang-remang.

Kenangan itu kembali hadir di benaknya.

“Ti, aku akan pergi kuliah ke luar, cari kerja di sana. Entah sampai berapa lama, aku tidak tahu. Kamu baik-baik di sini ya. Nikahnya tunggu tamat SMA, jangan kecepatan. Carinya yang agak perlente sedikit, ya” canda Supri pada suatu sore, selepas mereka mengikuti pengajian di surau.

Gadis itu tak tertawa. Ia tidak bisa menyembuyikan kesedihannya. “Kira-kira berapa lama di sana?”

“Tidak tahu, ti. Perjuangan hidup di kota itu berat. Lima tahun mungkin, atau lebih”

“Tapi, kalau sudah sukes, segera pulang kan?

“Pasti, nanti kubawa oleh-oleh dari kota untukmu. Yang banyak. Tapi kalau aku masih ingat denganmu, ya” Supri lantas tertawa meledeknya.

Siti membisu dan hanya menunduk ketika mendengarnya. Hatinya melongos menerima kenyataan bahwa lelaki yang begitu diidam-idamkannya harus pergi jauh. Meninggalkan dirinya begitu saja. 

Melihat Siti yang tak merespon gurauanya. Supri lantas berkata, “Ti,” Nada suara dan ekspresi Supri serius kali ini. “ aku tak bisa menjanjikanmu apa-apa. Aku mau. Tapi aku takut mengecewakanmu kelak. Aku tidak ingin kau menunggu begitu lama untukku”

“Apa abang akan melupakanku, nanti?”

Ia tertawa kecil, “Tidak, ti. Tidak”

“Tapi kita akan berpisah, kan?

Supri diam sejenak, berpikir. 

“Ti, dengar. Aku harus belajar dan bekerja untuk beberapa waktu di sana. Aku harus menjadi orang yang sukses. Jika aku telah berhasil dan mapan, aku akan kembali ke sini, menyenangkan orang tuaku. Juga melamarmu. Itu rencanaku”, ucapnya serius. “Namun, aku tak akan menyuruhmu menantiku. Tunggulah semampumu jika kamu mau. Tapi, jika ada yang lebih baik datang melamarmu,..”

“Aku akan menunggu” sahut Siti cepat.

Supri kembali tertawa melihat respon Siti yang tampak lugu baginya.

“Aku janji akan menunggu, asalkan Bang Supri juga janji padaku akan kembali”.

“Baiklah”, jawabnya masih sambil tertawa.

Berlatarkan langit yang mulai mengeluarkan semburat senja di belakangnya, Siti masih ingat betapa Supri tampak begitu tampan baginya. Lelaki dengan wajah agak kecina-cinaan. Raut wajahnya selalu ramah dan menyenangkan.

Kenangan itu masih begitu segar seperti baru saja terjadi kemarin. Waktu benar-benat berjalan begitu cepat. Siti kini gelisah dalam ranjangnya. Membenamkan wajahnya kebantal sambil meremas-remas bantal gulingnya. Lalu, gadis itu tiba-tiba merasakan kemarahannya membuncah. Bukan pada Supri, melainkan pada dirinya sendiri. 

Mungkin aku bodoh selama ini, mungkin aku telah membuang waktuku sia-sia, mengapa pula aku berharap yang bukan-bukan, oh tuhan. Mungkin benar yang ibu bilang, aku sungguh kekanak-kanakan dan tidak realistis sama sekali. Begitu batinnya. 

Lantas Siti menangis terisak-isak hingga tibanya pagi. 

***

Sore itu–empat bulan sejak pembicaraan Siti dan ibunya tentang Yusuf– rumah Bu Nur dan Pak Zulkarnain ramai didatangi orang sekampung. Suasana begitu riuh oleh gelak tawa dan perbincangan hangat. Mereka sibuk mempersiapkan hari istimewa bagi sang anak pemilik rumah. Di salah satu kamar, anak kecil, para gadis dan ibu-ibu saling berebut tempat untuk mengintip sang calon pengantin yang sedang diinai kedua tangannya.

Siti tersenyum, berusaha tersenyum sebenarnya, pada tamu-tamu yang penuh sumringah yang bergantian masuk ke dalam kamar. Kemudian ia kembali menekuri pola-pola indah yang sedang digambar dengan telaten oleh si penginai.

Dari balik jendela kamar yang terbuka, tampak semburat senja telah terlukis di ufuk langit. Siti mendekatkan dirinya ke jendela, menikmati suasana sore.

Matahari sebentar lagi akan menyusup perlahan ke barat. Dari kejauhan, burung-burung bergegas terbang kembali ke sarangnya. Aroma gulai tercium lezat. Bapak-bapak bergurau di luar sambil menikmati kopi. 

Tenda di halaman kini sudah siap. Kursi-kursi plastik tersusun ke atas, siap di atur besok pagi. Dan, pelaminan itu, yang dipasang di depan rumahnya, kini berdiri dengan indahnya.

Tiba-tiba, tanpa sengaja, tanpa diharapkannya, mata Siti tertuju pada sosok asing di perkarangan rumahnya. Lelaki itu berdiri di sana, di depan pintu pagar, mengamati pelaminan dan keramaian orang-orang di pekarangan rumahnya. Lelaki itu tampak berbeda dari bayangannya terakhir kali, namun wajah yang agak kecina-cinaan itu sulit untuk tidak dikenali.

Siti tak berkedip menatapnya, sampai akhirnya mata itu tertuju balik padanya. Si lelaki tampak terkejut, agak sedikit ragu-ragu untuk memberi reaksi. Seolah mendapat sinyal bahwa dia lah orangnya, Siti pun bergegas keluar secepat kilat.

“Kak Siti"

Siti tak lagi mendengar seruan Anna yang memanggilnya. Dengan sekejap ia melewati para ibu-ibu yang sedang sibuk mempersiapkan makanan untuk acara besok pagi. Langkahnya baru terhenti saat tiba di pintu depan. Ia baru menyadari tangannnya begitu gemetar. Jantungnya berdebar-debar tak karuan.

Siti kini melangkah keluar. Lelaki itu masih di sana, di depannya di balik pintu pagar. 

“Siti..” 

“Bang Supri” 

Keduanya kini berhadapan, hanya terpisahkan oleh pagar bambu.

Supri tampak kikuk, barangkali sama gugupnya dengan Siti. 

“Siapa yang menikah?” Supri akhirnya bertanya. Terdengar sedikit gelisah

“Adikku, Anna. Dia menikah dengan Bang Yusuf”

“Siti sudah menikah?” 



Gadis itu menelan ludah. Makin berdegup jantungnya begitu mendengarnya. “ Belum”

Supri tampak menghela napas. Lega barangkali.

“Mengapa lama sekali?” Pertanyaan itu serta merta tersembur dari mulut Siti.

Supri terkejut mendengarnya, lantas tertawa gugup, “ Terlalu panjang ceritanya, ti. Aku…”

“Siapa tu, kak Siti?”, seru Anna dari balik jendela kamar. Tangannya menggantung ke atas, masih dengan inainya yang belum kering.

“Aaa, anuu…” Siti kikuk menjawabnya.

***

Senja kali itu terasa begitu damai. Bapak-bapak dengan kopinya. Ibu-ibu yang bercengkarama di dapur. Pengantin yang berbahagia. Dan sepasang muda-mudi yang tampak kikuk dan malu-malu di pekarangan.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Donut❤

CLOSE