Jika Jarak Bukan Penghalang, Lantas Mengapa Perjumpaan Tak Juga Datang?

Jauh di mata, getir di hati

Kamu apa kabar? Kuharap kamu selalu baik di sana. Sudah lama tidak mendengar suaramu, sudah lama pula merindu. Kita sekarang hanya terbatas pada ponsel yang terasa tak nyata.

Advertisement

Tidak terasa pula kilometer sudah membentang begitu lama di antara kita. Hanya melalui layar kita dapat bertegur sapa. Bertukar cerita tak lagi seceria biasanya. Rasanya tak lagi sama. Kemajuan pesat dalam teknologi komunikasi tak sedikit pun mampu menggantikan komunikasi langsung, bertatap muka. Kini sekadar menyentuh rambutmu yang lembut, mana bisa? Aku merindukanmu, berharap kamu pun juga.

Jutaan detik sudah terlewat. Jutaan kali pula namamu terus teringat. Jumpa virtual … lagi dan lagi dan lagi. Setidaknya kita masih berjumpa. Sekalipun itu tak mampu membayar bengkaknya tagihan rindu yang telah lama direstrukturasi.

Tahukah kamu bahwa aku selalu berusaha tegar menjalani hari, sekalipun isi hati ambyar bercecer tak mampu bersemi? Tak apa, kamu tak perlu tahu sedikit pun tentang itu. Biarlah menjadi rahasia dan ku simpan sendiri. Yang jelas, aku hanya ingin berbincang denganmu dan bertanya, 'Kapan ketemu?'. Lucu, ada dorongan begitu kuat di dalam diri. Bahkan terlalu kuat, dan tak jarang terasa menyakitkan.

Advertisement

Aku merindukanmu, kamu berkata kamu pun mengetahuinya. Tapi apa kamu memahami seberapa dalam yang kurasakan? Kalau kamu tak tahu, mari sini, biar aku gambarkan seperti apa. Ini adalah tentang perasaan yang terus tumbuh dalam ruang sempit, terus tumbuh dan menghimpit dalam ruang terbatas. Juga seperti bernapas dalam ruang kedap udara. Pada awalnya kamu merasa baik-baik saja, perlahan mulai terasa gerah, kamu tak menyadari bahwa napasmu semakin cepat dan pendek. Iya, itulah sesak.

Di suatu malam aku menerima kabar kepergianmu. Kita berpisah secara tiba-tiba karena sebuah alasan yang bahkan kamu sendiri tidak pernah menduga. Kala itu ku tahu, bahwa kita akan berpisah dalam waktu yang tak singkat, entah sampai kapan.

Advertisement

Kembali teringat pada kencan pertama. Kita begitu canggung, namun juga begitu hangat. Aku nyaman duduk di sampingmu malam itu. Kita sempat saling diam, sama-sama berusaha mencari topik obrolan. Aku menyukai suasana canggung itu. Tidak dapat terulang, namun membekas dengan jelas di dalam ingatan. Ah, kenapa malam itu berlalu begitu cepat?

Berulang kali pula aku memutar kembali memori di dalam kelapa. Melihat kembali masa yang indah saat masih bersama. Eh tunggu, sekarang pun kita masih bersama, kan? Kita hanya sedang terpisahkan jarak. Lucu, begitu mudahnya memunculkanmu di dalam pikiran, semudah menyapukan pandangan pada buku yang tersusun rapi di atas rak perpustakaan.

Ku tahu kita saling merindu. Bagaimana tidak? Dua individu yang seharusnya terhubung, malah dipisahkan oleh ruang dan keadaan. Terlalu lama tak bertemu, kuharap kita tidak lalu jadi dingin dan membeku.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Seorang mahasiswa tingkat akhir yang lagi skripsian. Suka berbagi informasi seputar kesehatan mental dan komunikasi interpersonal, serta hal-hal lain yang masih relevan. Lebih suka menuangkan isi kepala ke dalam tulisan karena lebih enak aja gitu.

CLOSE