Belajar Tentang Kehidupan dari Ungkapan Kacang Lupa Kulitnya. Ternyata Dalam Maknanya!

Kacang lupa kulitnya

Banyak yang sukanya berkomentar jika ada seseorang yang sukses, lantaran berpindah dari suatu grup, tempat kerja, café nongkrong ke tempat lainnya. Seringkali, mereka langsung di-judge dengan dalih kacang lupa sama kulitnya. Yaiyalahh, kalau kacang nggak lupa sama kulitnya mana bisa dimakan. 

Advertisement

Siang itu, saya diberi kacang oleh tetangga. Akan tetapi, kacang tersebut masih terbungkus kulitnya yang keras itu lho. Bahkan lengkap dengan lendutnya yang agak bau-bau injakan kaki.

Saya memandangi saja kacang-kacang ini, sembari bergumam “kacang kenapa kau sangat bau? Aaihh kacang aku bingung mau aku apakan kau?” tak lama kemudian, ibu saya langsung mengambil kacang-kacang yang ada ditimba tadi, dan di grojok dengan air kran yang sangat keras.

Saya sangat spontan bertanya “lho kacange kate diapakne?” terdengar jawaban yang agak kesel karena saya dari tadi hanya diam, “Ya dibersihkan to, terus dimasak ben iso digawe rujak, sambel pecel, digoreng tok yo enak.”

Advertisement

Dari kejadian siang itu saya teringat suatu kisah beberapa orang yang dibuli karena dia lebih sukses ketika meninggalkan tempat lamanya. Karena merasa bahwa orang yang meninggalkan tempat semulanya itu, dinilai sombong banget. Udah nggak mau kumpul dengan grup yang dulu. 

Sehingga, langsung di-judge dengan kacang lupa sama kulitnya. Padahal kalau kacang nggak lupa sama kulitnya mana bisa dimakan. Padahal, stigma pemikiran seperti itu, adalah omongan-omongan orang yang iri. Kacang itu, sebenarnya memiliki filosofi yang sangat indah, apalagi bisa diterapkan pada kehidupan.

Advertisement

Coba bayangkan saja, ketika kacang masih menetap dan tidak bisa mengelupas dari kulitnya. Apa yang akan terjadi? Yaps, kacang akan membusuk dan tidak ada artinya sama sekali. 

Sekarang, kita selaraskan saja kacang dengan kehidupan manusia. Perjalanan hidup manusia dari ketika lahir sampai dia tumbuh dewasa, akan mengalami perpindahan tempat, mungkin juga silih bergantinya pertemanan juga.

Semisal saja begini, seorang anak yang sudah menempuh pendidikan Sekolah Dasar selama 6 tahun dan dirasa sudah memenuhi kriteria penilaian kelulusan, pastinya dia akan berpindah dari SD ke SMP.

Namun, bukannya dia lupa akan sekolahnya, akan tetapi itu untuk kebaikannya pribadi dan pastinya sekolah itu dong. Bayangkan saja, jika seorang anak tadi tidak diberi kesempatan meneruskan ke SMP dan harus menetap di SD. Pastinya, nasib anak tadi akan seperti kacang yang tidak keluar dari kulitnya. Ngeri banget!

Hal yang menarik dari manusia sebenarnya, ya dari analogi kacang tersebut. Ketika seseorang berpindah sekolah, seolah-olah itu hal yang sudah seharusnya dijalaninya. Akan tetapi, ketika seseorang sudah bergabung di dalam relasi grup pertemanan, mungkin. Ketika dia ingin menjajaki petualangan hidup yang baru, seringkali akan dicap sebagai orang yang tidak tahu diri.

Padahal sudah jelas dan memahami, kalau di dalam kehidupan itu, tidak ada yang pernah abadi di dunia. Kok masih saja ya, suka banget nyinyirin orang. Apa nggak sayang waktunya?

Mungkin, perihal kacang dan menempuh pendidikan itu bisa lagi kita analogikan dengan air. Seumpama saja, kita mencoba mengamati dua air, yang satu kita tuangkan ke dalam ember dan dibiarkan saja beberapa minggu.

Sedangkan, air yang satunya lagi berasal dari air kran yang sering kita gunakan, dan air itu setiap harinya terus mengalir dan bisa dimanfaatkan sebagai sumber kehidupan manusia. Pastinya, dia akan selalu jernih, karena tidak menggenang.

Bayangkan, bayangkan! Ketika semua air didiamkan saja di tempat sejenis ember tadi. Apa yang akan tejadi? Jelas kan, lambat laun air yang di ember tadi akan menjadi tempat berkembang biak jentik-jentik.  Rugi kan? Dari kedua air itu, kita bisa megambil kesimpulan. Bahwasanya, air yang lebih memiliki manfaat banyak adalah air yang terus mengalir.

Hal ini sama dengan kacang, anak SD, dan air yang mengalir tadi. Ketika, seseorang tidak berpindah atau tidak bisa move on dari tempat terdahulunya, maka yang terjadi adalah stagnansi kehidupan.

Maka dari itu, jangan suka menyalahkan seseorang yang mencoba keluar dari suatu perkumpulan, yang mungkin sudah membawannya terkenal. Bisa saja kan, dia memang lebih pantas untuk pindah dari suatu grup tersebut. Saat ini nggak usah takut lagi untuk kembali berproses sesuai dengan keinginan diri sendiri. 

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

CLOSE