Kamu Virtual, Tapi Tidak Dengan Perasaanku

Di zaman yang serba online ini, siapa sih yang nggak tau apa itu sosial media. Berbagai platform sosial media sudah diluncurkan dan dengan begitu mudahnya kita mengaksesnya. Bahkan ada sebuah perkataan di kalangan anak muda, Nggak main sosmed, kamu nggak gaul

Advertisement

Jujur saja, saya menganggap medsos sebagai safe zone saya. Tempat di mana saya bisa bebas berekspresi dan mengikuti hal-hal yang saya sukai tanpa peduli omongan orang di kehidupan nyata saya. Apakah kamu juga seperti itu?

Saya juga yakin kamu memiliki setidaknya satu orang teman yang ditemui melalui medsos.  Teman yang bahkan kita tidak tahu bagaimana rupa, suara, dan asalnya. Satu hal yang terasa yaitu perasaan nyaman bercerita dengannya. Seolah-olah dia lah yang paling mengerti kamu lebih dari siapa pun yang kamu temui di kehidupan nyatamu.

Bercerita dengannya yang virtual terdengar lebih mengasyikkan dibanding menghabiskan waktu bersama teman dikehidupan nyatamu. Banyak bahan pembicaraan yang bisa kamu lakukan tidak seperti dikehidupan nyatamu. Satu hal terpenting, kamu tidak harus menutupi apapun karena kamu merasa aman untuk menceritakan segala keluh kesahmu.

Advertisement

Tapi pernah gak sih kalian cerita ke teman tentang seseorang yang kalian temui di dunia maya? Apa jawaban yang kalian dapatkan? Menurut pengalaman saya sih,

Virtual doang, jangan baper.

Advertisement

Kesal? Tentu saja. Ingin sekali saya menjawab kalimat itu dengan  sebuah tarikan dibibir tipisnya agar tidak seenaknya berkomentar. Namun, yang bisa saya lakukan hanya menyetujui kalimat itu sebagai tameng agar tidak diejek. Pada kenyataannya,

Aku sudah jatuh terlalu jatuh padanya yang virtual

Yap! Benar! Saya jatuh cinta pada seorang yang belum pernah dan mungkin tidak akan pernah saya temui secara langsung. Ironis bukan?

Sayangnya, saya sama sekali tidak menganggap itu ironis yang patut dikasihani. Saya menganggap, perasaan saya padanya itu valid. Meskipun begitu, saya tak pernah mengatakan kalimat sakral itu padanya. Bagi saya menghabiskan waktu berchat ria dengannya pada waktu sebelum lelap, itu sudah cukup.

Tak perlu suara manis yang berkata, Selamat malam, besok kita bertemu. Namun hanya kata-kata lewat pesan, Sudah malam, kita lanjut besok lagi chat-nya. Sudah lebih dari cukup untuk membuat hari esok menjadi lebih berseri.

Notifikasi ponsel yang berdering darinya terdengar seperti jam pulang sekolah yang bisa membuat diri ini terlonjak bahagia. Kebahagian saya yang sangat sederhana. Dia yang virtual sanggup membuat saya merasakan apa itu perasaan mencintai seseorang seperti teman-teman sebaya meskipun saya tak bisa berharap lebih padanya.

Dia pernah berkata, Doain aku ya.

Seumur hidup saya, saya tak pernah menyebutkan nama orang selain keluarga saya dalam doa setelah ibadah saya. Namun untuk dirinya, saya menyebutkan nama virtualnya untuk pertama kali. Berharap dirinya bisa menghadapi segala cobaan hidupnya.

Ada sebuah waktu di mana saya merenungkan mengapa dia dan saya hanya bisa bertemu lewat virtual. Alangkah bagusnya jika dia nyata berada di depan saya. Alangkah bagusnya saya dapat mendengarnya bercerita tentang hari-harinya secara langsung, bukan lewat ketikan pesan.

Lagi-lagi sebuah pemikiran datang yang membuat hancurnya bayangan indah itu.

Apakah jika aku dan dia bertemu langsung, kita akan tetap sama?

Tanpa saya sadari, saya terlalu banyak berekspetasi tentangnya dan tentang diri saya sendiri. Saya yang tak tau bagaimana rupa, suara, dan asalnya begitu pula dengan dirinya. Dia tidak tahu seperti apa saya yang nyata.

Bisa saja saya tidak se-cakep yang dia bayangkan, lalu dia memutuskan untuk menjauhi saya. Pada bagian ini saya hanya bisa tertawa miris. Mengapa pula sebuah harapan menyakitkan mulai timbul yang pada akhirnya tidak akan pernah terjadi.

Waktu demi waktu saya menghabiskan bersamanya seolah berjuang bersama agar tetap waras. Hingga pada akhirnya, sebuah cerita penutup yang sudah pasti terjadi datang kepada saya. Dia pergi, tak pernah terlihat kembali lagi. Dia merasa sudah bukan waktunya lagi untuk berada di dunia virtual.

Terima kasih untukmu, cinta virtual saya yang bagaikan pelangi setelah bumi menumpahkan kesedihannya. Jika Tuhan mengijinkan kita mungkin bertemu, meskipun tanpa kita sadari.

Untuk kamu yang sedang membaca, bagaimana kisahmu dengan dirinya yang virtual? Apakah berjalan lebih baik daripada kisah saya?

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

CLOSE