Kenali Hustle Culture—Krisis Eksistensial bagi Generasi Muda

Sedang ramai saat ini sebuah tren di TikTok di mana seorang corporate millenial membuat sebuah video berisi tentang aktivitas sehari-hari (a day in my life) sebagai seorang pekerja kantoran. Aktivitas itu meliputi mulai dari bangun tidur, sarapan, berangkat kerja, hingga sampai di kantor. Cuplikan video itu memperlihatkan kehidupan pekerja kantoran yang produktif dan sukses karena tak jarang dari mereka juga mempertontonkan gedung-gedung kantor mereka yang bagus. Banyak penonton yang termotivasi untuk bekerja di sana. Tren itu yang kemudian dapat dikatakan menciptakan semangat untuk ber-hustle.

Semua orang rata-rata mengagumi hustle. Dalam beberapa kasus, memiliki hustle culture adalah hal yang wajar, di lingkungan kerja misalnya. Di tengah gaya hidup yang serba cepat dan kompetitif ini, budaya hustle culture menjadi norma bagi semakin banyak orang di dunia kerja.

Apa itu sebenarnya hustle culture?

Hustle culture (budaya hiruk pikuk), dapat dipahami sebagai keadaan bekerja terlalu keras hingga menjadi sebuah gaya hidup. Dapat dikatakan tidak ada satu hari pun dalam hidup Anda ketika Anda tidak memaksakan diri untuk bekerja. ecara sederhana—Anda benar-benar benci istirahat.

Hustle culture terlihat jelas khususnya di kalangan millenials. Semuanya tentang seberapa harus sibuk mereka, seberapa banyak hal yang harus mereka kerjakan pada saat yang bersamaan. Tak jarang jika melihat para millenials yang berhasil membangun lebih dari 100 cabang bisnisnya, membuat sebuah inovasi aplikasi yang memudahkan hidup masyarakat, atau berhasil berada di top management di usia 25 tahun. Millenials merasa dirinya harus bekerja keras selagi masih muda dan punya banyak kesempatan.

Darimana fenomena ini berasal?

Apa yang menjadi pendorong fenomena hustle culture ini adalah sebetulnya kombinasi dari banyak hal, yang semuanya terjadi pada saat bersamaan. Pandemi Covid-19 mengajarkan jutaan orang bahwa mereka masih tetap bisa produktif—meski bekerja dari rumah. Lalu ada juga perkembangan teknologi modern, yang membuka segala macam peluang, mulai dari berjualan di e-commerce, hingga pekerjaan content creator di media sosial yang muncul akibat perkembangan teknologi. Semua ini adalah faktor terciptanya hustle culture, yang menempatkan dedikasi untuk bekerja di atas segalanya.

Hustle culture juga telah menjadi mindset dan filosofi bagi individual atau banyak perusahaan. Semakin Anda bekerja, semakin dihargai Anda. Dalam budaya ini, istirahat hanya untuk orang yang lemah. Anda selalu dipaksa untuk aktif dan mengeluarkan ide demi ide untuk keperluan perusahaan Anda.

Bahkan, orang-orang populer dan sukses pun turut mendorong budaya hustle. CEO Tesla dan SpaceX, Elon Musk, dalam artikel Business Insider mengatakan bahwa There are way easier places to work, but nobody ever changed the world on 40 hours a week. Ia mengibaratkan bahwa jika Anda ingin mengubah dunia, maka Anda harus bekerja lebih lama. Elon Musk, terlepas dari kesuksesannya, masih terkenal sebagai pecandu kerja yang tidak sehat.

Hustle Culture itu berbahaya

Hustle culture tidak sebaik yang terlihat dari luar. Memang, hustle culture membuat Anda terlihat produktif. Namun, di balik keproduktifannya itu, terdapat hari di mana Anda bekerja tanpa henti dari pagi hingga larut malam. Menurut survey yang dilakukan Manpower Group, ditemukan bahwa 73% millennials bekerja lebih dari 50 jam perminggu. Mindset Anda mengatakan bahwa istirahat bukanlah prioritas utama. Padahal, waktu tidur yang baik adalah minimal 8 jam per hari. Kurang dari itu pastinya akan datang penyakit seperti pusing kepala, anemia, dan sakit badan.

Anda juga akan dihantui perasaan bersalah jika dalam satu hari Anda tidak melakukan apa-apa. Budaya hustle menciptakan tekanan psikologis pada diri Anda, membawa perasaan bersalah, mengasihani diri sendiri, menimbulkan amarah, kebencian, dan emosi negatif. Seringkali Anda juga membenci diri sendiri karena mempunyai harapan yang tidak realistis dan membanding-bandingkan dengan orang lain.

Sudahkah Anda sadar akan bahaya hustle culture? Sekarang, inilah yang harus Anda lakukan: Berhenti mengglorifikasi hustle culture. Mulailah dengan meredefinisi arti sukses dengan berpikiran bahwa sukses dapat berarti apa saja dan tidak semata-mata dilihat dari pencapaian dan keproduktivitasan. Berhenti mengejar gengsi, apalagi gengsi yang bisa diukur dari segi finansial. Jangan sampai memperbudak diri sendiri. 

Pada akhirnya, mungkin terdengar cliché, solusi yang bisa digunakan adalah cobalah untuk bekerja secara pintar, bukan secara keras. Jika Anda bekerja secara pintar, Anda akan mempertimbangkan aspek mental dan fisik Anda dan mampu membatasi diri dari pekerjaan-pekerjaan yang berat. 

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

A student from Universitas Padjadjaran who likes to read and to write.