Kepada Diriku: Sabar Aja, Virus Ini Pasti Berlalu

Bersabarlah, semua ini pasti bisa dilalui

"Sabar ya," itulah frase yang sering aku ucapkan pada diriku sendiri belakangan ini. Kondisi yang tidak pernah diimpikan oleh semua orang terpaksa harus dialami. Virus yang tadinya hanya muncul di laman portal berita, ternyata kini mengancam negeri kita. Banyak orang mulai panik, rencana yang sudah disusun apik menjadi rusak berantakan, kantor-kantor yang harusnya beroperasional normal terpaksa harus mengeluarkan surat edaran tentang kondisi terkini. Termasuk jarak yang dulu bisa diselesaikan dengan transportasi udara, darat, dan laut pun kini tak bisa lagi jadi solusi.

Advertisement


“Jangan pulang kampung dulu, kasihan orang-orang di kampung halamanmu”


Menjadi anak rantau yang hidup di sepetak kamar kost berukuran 2.5m x 2.5m tanpa AC dan layanan wifi ternyata membuat kondisi ini menjadi semakin berat. Ketika himbauan bekerja dari rumah digalakan, maka tuntutan bekerja dari rumah juga menjadi permasalahan selanjutnya. Berkutat dengan kamar sempit, berteman dengan kipas angin di siang hari, serta sinyal telepon seluler yang tidak stabil adalah tantangan yang tak bisa dielakkan bagi kami kaum perantau kelas menengah ini.

 

Advertisement

Work From Home menjadi tidak semudah itu kawan, tapi aku pasti bisa bersabar dengan kondisi ini.

Himbauan untuk tetap #dirumahaja yang selalu muncul di lini masa media sosial pun coba aku terapkan, namun terkadang urusan perut membuat aku tetap harus berjalan keluar untuk mencari sebungkus nasi yang bisa dilahap. Tidak semua rumah kost menyediakan dapur, itu juga yang terjadi pada hunian kost tempatku tinggal. Berteman dengan warteg dan delivery service adalah teman kami sehari-hari untuk menjaga lambung agar tetap sehat, namun kondisi beberapa hari ini terjadi membuat aku cemas.

Advertisement

 


“Apakah makan yang aku makan cukup sehat untuk menyokong imun agar tetap kuat?”


Hidup seorang diri jauh dari sanak kerabat ternyata terasa semakin tidak mudah. Rasa aman dan nyaman yang biasanya dengan mudah didapatkan ketika sedang duduk bersandar di bahu kawan atau saling berpelukan untuk saling menguatkan, kini sedang tak bisa dilakukan. Himbauan tentang social distancing membuat kami harus saling menjaga jarak. Kita tak bisa saling jabat, walau kita saling bertemu.

 


“Aku kangen senderan di bahumu, kapan ya virus ini berakhir?” ujarku kepada seseorang yang menjadi salah satu penenangku melalui layanan video call.


Hari Jumat pekan ini adalah pertama kalinya dikeluarkan seruan untuk tidak menjalankan sholat Jumat. Sebagai seorang muslim, aku merasakan adanya goresan di hati ketika mendengarnya. Pun ketika diumumkan bahwa masa tanggap bencana virus ini diperpanjang sampai akhir Mei, siapa yang tidak sedih ketika bulan Ramadan akan menjadi terasa berbeda jika social distancing dan #dirumahaja masih menjadi himbauan. Apalagi kami, para kaum rantau yang biasanya akan menghabiskan waktu berbuka puasa dengan teman sejawat, akan merasakan hampa yang begitu nyata jika virus ini masih mengancam seperti sekarang.

 


Semoga semuanya segera berlalu, semoga ada segera kabar baik sebelum Ramadhan datang.


Mudik adalah rangkaian bulan Ramadhan yang tidak akan kita lewatkan. Berebut tiket kereta sejak 90 hari sebelum tanggal keberangkatan di bulan Mei nanti sudah dilakukan, demi merasakan suasana Ramadan dan Lebaran di kampung halaman. Namun beberapa hari yang lalu muncul seruan untuk jangan mudik dahulu tahun ini. Sebuah guncangan yang luar biasa bagi aku anak rantau yang jauh dari keluarga. Iya aku sadar, kita mungkin bisa membahayakan orang lain di kampung halaman, Namun aku tidak bisa membayangkan bagaimana rasanya harus merayakan 1 Syawal seorang diri di tanah rantau. Semoga kondisi ini segera membaik.

 

Sedih, bingung, takut. Kombinasi perasaan yang aku rasakan belakangan ini. Tidak pernah ada dalam novel-novel Metropop yang aku baca selama ini. Setting cerita kehidupan rantau di ibukota dan tiba-tiba munculah kejadian wabah mengerikan. Aku paham bahwa topik ini sering diangkat dalam film science fiction, tapi tidak pada deretan novel yang pernah aku baca.

 


“Yasudah sabar aja, mau gimana lagi kan?

Yang penting kita ikhtiar untuk menjaga diri semaksimal mungkin. Allah yang turunkan virus ini, maka Allah pula lah yang akan memberikan penawarnya. Jadi bersabarlah, semuanya pasti berlalu kok.”


Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

A digital and book lover

CLOSE