Kertas Anyaman

Aku tahu mereka tidak sempurna, tidak akan

Banyak orang yang bilang, bahwa bagi anak pertama, orang tua akan bertumbuh bersamanya. Pengalaman pertama, kesalahan yang belum pernah mereka bayangkan, serta perasaan menyenangkan ketika anaknya melangkahkan langkah pertamanya, merupakan hal baru. Banyak hal yang masih perlu diperbaiki dan dipelajari. Sedangkan, untuk anak terakhir, mereka sudah terbentuk menjadi orang tua. Sosok orang tua yang sudah melalui proses-proses belajar dengan anak pertama mereka. Dan, sebagai anak pertama, kalimat itu nyata adanya.

Advertisement

Saat aku lahir, ekonomi orang tuaku belumlah stabil. Ayahku baru saja diterima di sebuah perusahaan swasta, sementara ibuku adalah seorang dokter umum di RSUD kotaku. Kami berkecukupan, sangat cukup, sampai orang tuaku mengambil keputusan, bahwa ibuku akan melanjutkan PPDS, atau Program Pendidikan Dokter Spesialis. Beliau mengambil program Spesialis Anak. Semuanya dimulai dari aku duduk di kelas 1 SD, dan berakhir saat aku kelas 6 SD. 

Masa kecilku saat SD, bisa kubilang hampir tanpa dampingan ibuku. Satu hal yang masih teringat jelas adalah ketika pertama kali aku menggunakan seragam merah-putih, masuk ke gedung sekolahku, tak ada orang tuaku yang mengantar. Sebenarnya pun tak apa, karena sewaktu itu aku menggunakan mobil jemputan sekolah. Namun, melihat ibu dari teman-temanku pun ikut mengantar, ikut masuk ke mobil jemputan sekolah, menunggui hingga waktu pulang tiba, aku tidak bisa bohong kalau aku pun iri. Sampai sekarang pun, aku selalu menangis jika mengingat momen tersebut. Akan tetapi, aku umur 6 tahun saat itu, tidak menangis. Entah kekuatan dari mana. 

Kemudian, ada satu waktu, saat aku kelas 2 SD, dimana aku harus mengumpulkan PR anyaman kertas. Sorenya, aku ditemani ayahku mencari kertas-kertas untuk bahan tugas tersebut. Namun, yang bisa kami temukan hanyalah kertas dengan kotak-kotak kecil yang seharusnya diperuntukkan untuk kelas 5-6 SD. Aku pun tidak tahu kenapa, tapi aku umur 7 tahun saat itu, memutuskan untuk menggunakan kertas tersebut. Aku yang tetap meyakinkan ayahku bahwa tidak apa-apa aku memakainya, meskipun dalam hati ada ketakutan dengan respon Ibu Guru di sekolah karena kertasnya tidak sesuai. Aku melakukannya karena aku tahu, ayahku masih punya banyak pekerjaan yang harus diselesaikan dibanding menemaniku mencari bahan prakarya. 

Advertisement

Sampai rumah, barulah aku menyesal. Aku sama sekali tidak tahu bagaimana cara kertas-kertas kecil ini bekerja. Aku berkali-kali memutar dan membolak-balikkan kertas. Hingga, aku menemukan satu lembar kertas buram di set kertas menganyam tersebut. Disitu ada gambar, berisi contoh karya jika set kertas anyaman tersebut sudah dibuat. Rumit. Sangat rumit. Apalagi dengan kertas buram hasil fotokopi yang tidak jelas mana hitam mana putihnya. Akan tetapi, aku berhasil.

Semalaman penuh aku berkutat dengan kertas anyaman itu, mencermati detail satu kotak demi satu kotak di kertas buram. Kalau dilihat dari dekat, benar-benar tidak rapi. Akan tetapi, saat itu aku sudah sangat puas. Aku yang biasanya hanya bisa menganyam masuk-keluar naik-turun, sekarang sudah bisa membuat pola cantik. Aku yang sekarang pun sangat bangga dengan aku kelas 2 SD, terima kasih sudah begitu hebat memegang peran sebagai anak pertama. 

Advertisement

Semua berjalan dengan baik, sampai aku mengumpulkan prakarya tersebut. Teman-temanku tidak percaya. Aku sudah menduga bahwa mereka tidak akan percaya, aku pun sekarang–kalau melihat kertas tersebut dan ada yang mengatakan bahwa itu hasil karya anak umur 7 tahun–tidak percaya. Awalnya, teman-teman memujiku, mengatakan bahwa kertas itu sangat keren. Hingga, ada satu anak yang tidak terima bahwa kertas prakaryanya bukanlah yang terbaik. Dia menghasut teman-teman sekelas dan Ibu Guru, mengatakan kertas itu bukan hasil tanganku sendiri. Saat itu, aku hanya tersenyum–bukan senyum hangat, tapi senyum sedih–dan tetap bersikeras bahwa itu hasil karyaku. 

Sampai rumah, ibuku mendatangiku di kamar. Beliau memelukku erat, dan terus berbisik maaf. Maaf belum bisa mendampingiku secara penuh, maaf tidak bisa membelaku saat orang-orang mengatakan hal yang jahat padaku, dan maaf bahwa aku melewati semuanya sendiri. Ibuku berkali-kali mengatakan kalimat, Sekalipun orang-orang tidak ada yang percaya denganmu, ada Ibu disini. Ibu akan terus percaya denganmu, Nak. Mendukungmu secara penuh.

Usiaku memang baru 7 tahun. Akan tetapi, sampai sekarang pun aku masih mengingatnya dengan jelas. Di tengah kesibukan ibuku menjalani pendidikan spesialis, aku selalu merasa bahwa kasih sayang beliau tidak nyata. Setelah momen tersebut, pelukan dan bisikan hangat itu membuatku tersadar. Kasih sayang itu ada. Akan tetap sama. 

Ketika aku lahir, saat itulah orang tuaku menjadi orang tua. Tidak ada magang ataupun sekolah pengalaman untuk menjadi orang tua. Aku tahu mereka tidak sempurna, tidak akan. Akan tetapi, yang aku tahu bahwa mereka selalu mengusahakan yang terbaik untuk anak-anaknya. Tidak pernah tidak, dan aku sangat berterima kasih untuk hal itu.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini