Kami Sebagai Anak Mulai Menyadari, Bahwa Apa yang Ibu Rasakan Saat Ini, Mungkin Kelak Akan Kami Rasakan Pula,

Inspirasi Kehidupan

Waktu telah menunjukkan pukul 12.13 Wita, aku segera mematikan laptop-ku, sudah saatnya aku beristirahat untuk sholat dan makan siang. Namun sebelumnya, kusempatkan untuk memeriksa notifikasi di handphone-ku, karena biasanya ibuku selalu menelponku setiap hari. Sebenarnya sudah berulang kali kusampaikan agar beliau tak menelponku saat jam kerja, karena hal itu akan mengganggu konsentrasiku terhadap pekerjaan.

Advertisement

Tapi Ibu seperti tak peduli atas permintaanku, beliau hanya merespon, "masa' sih nelpon bentar aja gak boleh". Maka sebagai jalan keluar dari masalah tersebut, kuputuskan khusus di jam kerja nada dering handphone selalu kusenyapkan, agar aku bisa bekerja dengan tenang dan hanya sesekali saja kuperiksa notifikasi yang masuk, menjaga-jaga jika ada pesan atau berita yang sangat urgent.

Benar saja, ada delapan  "Panggilan suara tak terjawab" dari nomor handphone ibuku, sejak pagi hingga menjelang siang hari. Jantungku mulai berdebar kencang, “ya Rabbi… apalagi yang ingin Ibu sampaikan kepadaku, apakah Ibu sakit, atau adakah masalah yang sangat serius, hingga beliau menelponku berulang kali seperti ini”, aku terus menduga-duga dalam hatiku. Aku memang jarang bertemu Ibu, karena aku bekerja dan tinggal di kota yang berlainan dengan beliau. Tapi setelah kupikir-pikir, lebih baik akan kuhubungi nanti saja setelah aku tiba di rumah, karena hari ini masih banyak pekerjaan yang harus segera kutuntaskan, dan itu memerlukan konsentrasi penuh.

Dan saat sore hari, akupun menelepon ibuku. Seperti biasa aku langsung menanyakan kabarnya, dan seperti biasa pula Ibu menjawab kalau dirinya kurang sehatlah, anak lelakinya tak perhatianlah, dan bla bla bla. “Alhamdulillah ya Allah, ternyata tidak ada sesuatu yang mengkhawatirkan”, aku berucap syukur dalam hatiku.

Advertisement

Agar tak berlanjut keluhannya yang selalu membuatku migrain, aku mencoba mengalihkan pembicaraan dengan menanyakan kabar cucu-cucunya. Biasanya kalau sudah menyangkut cucu, Ibu akan sangat antusias bercerita, walaupun cerita tersebut sudah berulang kali beliau sampaikan. Seperti itulah kebiasaan dan "trik" ibuku untuk mendapatkan perhatian dari kami anak-anaknya, namun kami tetap berusaha menyabarkan diri menghadapinya, karena kami teramat takut kualat terhadap orang tua kami.

Terkadang dalam sehari Ibu menelpon dari satu anak ke anak yang lainnya, hanya untuk menceritakan apa yang ditonton dan didengarnya dari televisi, dari soal ceramah agama, teori kesehatan, pengobatan alternatif, hingga urusan politik dan berita aktual dalam dan luar negeri. Dan kebiasaan kami anak-anaknya, hanya diam mendengarkan dan menyimak sampai beliau merasa bosan sendiri dan mengakhiri percakapan tersebut.

Advertisement

Pernah satu waktu Ibu menelponku sambil terisak, beliau menyampaikan sedang sakit berat dan meminta untuk dirawat inap di rumah sakit. Aku sangat kaget dan khawatir, namun kusempatkan bertanya, apakah kakakku yang tinggal tidak jauh dari rumahnya sudah mengetahui kalau beliau sakit, Ibu menjawab belum.

Akupun terheran-heran, kenapa orang pertama yang Ibu hubungi aku yang tinggal jauh di luar kota, sementara saudaraku yang tinggal dekat  dengannya belum diberitahu. Bergegas aku menelpon  kakakku untuk menyampaikan bahwa Ibu sedang sakit dan meminta kepadanya untuk segera mengecek kondisi Ibu di rumahnya, karena adik lelaki yang tinggal serumah dengan Ibu sedang sulit kuhubungi.

Terburu-buru kakakku meninggalkan tokonya untuk memastikan kondisi Ibu di rumahnya. Setibanya di sana, kakakku hanya mampu terdiam kelu menyaksikan Ibu yang sedang duduk selonjor di sofa sambil tertawa asyik menonton acara komedi di televisi. Betapa kesalnya kakakku saat itu, karena sempat sport jantung  mendengar kabar Ibu jatuh sakit, hingga tergesa-gesa meninggalkan toko yang saat itu sedang ramai pelanggannya.

Beberapa kali "trik" tersebut dipakai ibuku untuk mendapatkan perhatian dari kami anak-anaknya, dan pada akhirnya kami sudah sangat terbiasa dan mahfum dengan "sandiwara" yang beliau mainkan, sehingga kami tak terlalu cemas dan panik lagi seperti sebelumnya.

Sejak saat itu, jika kami mendapat kabar yang mengkhawatirkan dari beliau, walau jantung masih tetap berdebar, tetapi kami berusaha merespon dengan hati yang di tenang-tenangkan, kami akan segera mengonfirmasi keadaan beliau melalui adik lelakiku yang masih tinggal se rumah dengannya.

Walau Ibu sering membuat kami khawatir, namun ada juga hal lain yang sering membuat kami anak-anaknya tertawa, yaitu kebiasaan Ibu mengirimkan makanan untuk kami yang tinggal jauh di luar kota, beliau terlihat begitu antusias walaupun yang dikirimnya hanya beberapa ikat sayur mayur dan buah mangga yang beliau panen dari halaman rumahnya. Jauh-jauh hari beliau sudah heboh dan sibuk menelpon untuk mengabarkan akan mengirim ini dan itu, dan kabar tersebut bisa disampaikannya berulang kali.

Namun ada satu kejadian yang membuat Ibu sangat marah padaku, sehingga untuk beberapa lama beliau tak lagi mau menelponku. Usut punya usut, ternyata Ibu tersinggung saat kakakku melarangnya untuk tidak terlalu sering menelponku dan menyampaikan keluh kesah yang dapat membuat jantungku sering berdebar.

Aku ingat, aku memang pernah menyampaikan curhatan tersebut kepada kakakku, tapi bukan bermaksud agar kakak menyampaikan hal itu kepada Ibu. Sejak kejadian itu, aku meminta agar kakakku tidak perlu lagi melarang Ibu untuk menelponku, biarkan saja sesenang hati beliau, daripada kita menanggung dosa karena menyakiti hatinya.

Akupun mulai mengingat-ingat, munculnya kebiasaan ibuku tersebut tepat setelah meninggalnya bapakku enam tahun yang lalu. Ya, sejak saat itulah Ibu mulai sering “mengganggu” kami dengan telepon-teleponnya, dengan keluh kesahnya, serta kabar-kabar yang membuat kami kaget dan cemas. Kini aku paham, Ibu sering menelpon kami hanya untuk mencari teman mengobrol, beliau butuh untuk didengarkan, dan yang terpenting, Ibu hanya ingin mengusir kesepian hatinya.

Perlahan-lahan, kami sebagai anak mulai menyadari, bahwa apa yang Ibu rasakan saat ini, mungkin kelak akan kami rasakan pula, maka kami membiarkan saja apapun yang membuat hatinya senang, toh sebagai seorang anak, kita semua berkewajiban untuk  menyayangi, menghormati dan memuliakan seorang ibu melebihi apapun di dunia ini, karena mengingat perjuangan dan penderitaannya sangatlah berat, sejak kita dalam kandungannya sampai kita dilahirkannya, kemudian disusui, dibesarkan dan dididiknya.

Perhatiannya tidak berhenti sampai di situ, karena di mata seorang ibu, walaupun kita telah tumbuh dewasa tetaplah dipandangnya sebagai anak kecil yang membuatnya selalu khawatir. Pantaslah pepatah mengatakan : “Kasih ibu sepanjang jalan, kasih anak sepanjang penggalan”.

Ibu… maafkan kami yang selalu merasa terganggu dengan telepon-teleponmu, yang tak mengerti keluh kesahmu, dan tak berempati dengan kesepian hatimu. Semoga Allah selalu melindungi dan memberi kesehatan untukmu, memperpanjang usiamu, agar bertambah panjang pula keberkahan hidup kami anak-anakmu, aamiin alahumma aamiin.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

CLOSE