Kim Ji-Yeong, Born 1982: Realita yang Tak Seindah Drama Korea

Kim Ji-Yeong, Born 1982, novel ini cukup kontroversial di negara asalnya (Korea Selatan) karena mengangkat isu feminisme yang masih dianggap tabu. Bahkan beberapa selebriti Korea yang terciduk membaca novel ini dikritik habis-habisan. Jung Yu Mi, Sooyoung SNSD, dan Irene Red Velvet mendapatkan reaksi tak pantas dimana selain mendapatkan ujaran kebencian, foto-foto mereka diinjak dan dibakar. Padahal, Yeo Jae Seok dan Kim Namjoon BTS juga melakukan hal serupa namun tak mendapat reaksi yang berlebihan. 

Advertisement

Tidak berhenti di novel, versi filmnya pun dikecam. Sebelum tanggal penayangan pertama pada oktober 2019, muncul petisi online yang ditujukan kepada Presiden Korea Selatan agar melarang penayangan film ini. Padahal, dari pihak perempuan Korea sendiri, tidak sedikit yang berkomentar bahwa mereka merasakan apa yang Kim Ji-Yeong rasakan, tentang bagaimana sulitnya hidup sebagai perempuan di tengah masyarakat yang patriarkis.

 

Memangnya, apa sih isi novel Kim Ji-Yeong, Born 1982? Yuk, simak penjelasan berikut!

Advertisement

 

Kim Ji-Yeong hidup di lingkungan yang sangat menghargai peran laki-laki dan cenderung menganggap remeh perempuan. Di pikiran orang tua zaman itu, melahirkan anak laki-laki lebih baik dibandingkan anak perempuan. Melahirkan anak perempuan merupakan hal yang tak diinginkan dimana para ibu sangat sedih karena memang tingginya ekspektasi orang-orang akan anak laki-laki. 

Advertisement

Dari segi pekerjaan, anak laki-laki dianggap sebagai tulang punggung, alat memperbaiki keadaan, serta kunci kesuksesan dan kebahagiaan keluarga. Anak perempuan akan dengan senang hati mendukung saudara laki-laki mereka bahkan jika harus mengorbankan mimpi mereka sendiri. Mereka rela bekerja dan mengumpulkan uang agar bisa menyekolahkan saudara laki-laki. Hal ini dialami Kim Ji-Young dan kakak perempuannya dimana adik laki-laki mereka mendapatkan perhatian dan perlakuan yang berbeda seperti dalam hal pakaian, makanan, dan kebutuhan lain. 

Masuk ke bagian tengah cerita. Di masa remajanya, Kim Ji-Yeong harus menikmati kehidupan sekolah dengan peraturan yang tidak adil bagi siswa perempuan, seperti seragam yang ditentukan sementara siswa laki-laki bebas memilih mau mengenakan apa tanpa ada tanggapan serius dari guru. Guru SMA-nya pun ada yang cabul dengan alasan memeriksa seragam siswa. Di tempat kerja, karyawan seperti Kim Ji-Yeong harus menghadapi atasan yang memotong gaji mereka dengan alasan pelayanan yang diberikan tak baik, juga harus menghadapi perilaku tak masuk akal pelanggan yang merasa mereka dapat melakukan apapun terhadap karyawan karena sudah membeli produk. Ketika mengikuti kursus, ia diikuti seorang anak laki-laki yang mencurigakan. Ayahnya yang datang terlambat malah memarahinya, ia malah dimarahi tentang kenapa ia berbicara dengan sembarang orang, kenapa pakaiannya terlalu pendek, kenapa mengambil tempat kursus yang jauh. Kejadian-kejadian yang ia alami membuat perasaan takutnya terhadap laki-laki tumbuh dari waktu ke waktu.

Di lingkungan kerja, ia sulit sekali mendapat pekerjaan karena sejak di Universitas, yang direkomendasikan ke perusahaan kebanyakan laki-laki. Lagi-lagi dengan alasan yang tidak masuk akal, salah satunya karena perempuan pintar akan membuat perusahaan terbebani, keberadaan mereka terlalu mengintimidasi. Sekalipun diterima, petinggi perusahaan masih berpikir bahwa karyawan perempuan bukanlah karyawan jangka panjang karena wanita dianggap sulit menyeimbangkan pekerjaan dan urusan perkawinan mereka.

Ketika menikah dan memiliki anak, Kim Ji-Yeong mau tidak mau harus merelakan pekerjaannya demi mengurus sang anak. 

Aku sudah melahirkan seorang anak dengan susah payah, aku sudah melepaskan hidupku, pekerjaanku, impianku, keseluruhan diriku demi membesarkan anakku.

Ini merupakan puncak dimana Kim Ji-Yeong terlihat sudah tidak seperti dirinya lagi. Kim Ji-Yeong mulai berubah menjadi orang lain. Ia sering merasa takut, lelah, malu, kaget, bingung, dan frustasi yang berkelanjutan. 

Sebenarnya, apa yang dialami Kim Ji-Yeong juga banyak dialami oleh perempuan-perempuan Korea lainnya, hanya saja sulit bagi mereka untuk speak up apalagi melawan. Hal itu tak lepas dari fakta bahwa Korea Selatan merupakan salah satu negara dengan status terburuk untuk kesetaraan gender. Ketimpangan antara laki-laki dan perempuan terjadi hampir di segala bidang. Sejak kecil sudah tertanam bahwa kedudukan laki-laki lebih tinggi dari perempuan. Hal ini tentunya membuka mata kita bahwa ada kalanya kemajuan suatu negara tidak sebanding dengan tingkat kesetaraan gender.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Halo!

CLOSE