[CERPEN] Kita Bisa Bersama Lebih Lama Kalau Kita Mau Bersabar Sedikit Lagi

Benar kata kamu, kita terlalu keras kepala untuk hal ini

Mungkin saat itu, semesta sedang tak bercanda. Di hari pertama kali aku melihat dan berkenalan denganmu, ada rasa yang terusik mengucap dalam hati, “Suatu saat nanti, pasti kita berdua akan dekat.” Dan semesta mendengar, lalu mengaminkan.

Advertisement

Memang tidak secepat itu semesta menjalankan misinya. Aku sendiri sempat lupa bahwa pernah berucap, tapi kehadiranmu yang seringkali tiba-tiba membuat aku mulai terbiasa. Ulah-ulahmu yang semula membuat keki berubah jadi pakai hati. Lalu, sempat terlintas di pikiranku, siapa yang sebenarnya sedang menjalankan misi? Semesta atau kamu?

Seperti yang kukatakan, keki berubah jadi pakai hati. Lebih buruk lagi, aku melibatkan semua emosi dan menjadikan kamu sebagai pengontrol diri. Semudah itu aku bisa merasa bahagia walau hanya sekedar mendengar kamu bersuara atau tertawa walau bukan aku lawan bicaranya. Semudah itu aku bisa menghilangkan perasaan lelah walau hanya sekadar kamu tanya, “Kamu kenapa?”

Perasaan ini semakin tidak terkontrol sejak masuk di bulan pertama tahun ini. Aku merasa memiliki dan dimiliki. Ada kamu tempat di mana aku tidak lagi perlu merasa takut terbangun karena mimpi buruk. Kamu akan selalu terbangun karena teleponku, menenangkanku, menemaniku sampai aku kembali tidur. Ada kamu tempat di mana aku tidak lagi takut menyeberang atau jalan sendiri karena tanganmu akan selalu memegang tanganku. Ada kamu tempat di mana aku tidak lagi merasa takut sendiri karena kamu akan selalu datang.

Advertisement

Ini tentang kamu yang selalu menyediakan peluk beraroma sabun yang membuat aku kecanduan, yang mengelus puncak kepalaku dengan lembut, dan mencubit pipiku dengan gemas tiap kali aku mulai diam. Bahkan, ini tentangmu yang mencium pipiku dan aku yang lebih dulu mencium bibirmu malam itu.

Dan semua bahagia itu terjadi di bulan pertama.

Advertisement

Di hari-hari selanjutnya aku mulai merasa ada yang aneh dari kita—dan kamu. Kamu duduk di sampingku, menyandarkan kepaladi bahuku. Aku mengelus lembut pipimu, aku tanya keresahanmu. Kamu hanya berkata, “Aku nggak suka hidupku diurus sama orang lain.”

Aku tidak tuli, aku juga mendengar apa yang sedang terjadi di antara kita berdua. Orang-orang itu mulai sibuk mengomentari urusan pribadi kita. Lebih buruknya, orang-orang itu beranggapan bahwa dirinya punya hak untuk hidup kita.

Setelah menghela nafas, aku katakan padanya, “Nggak usah dipikirin, ya.”

Kesalahanku adalah menganggap bahwa kata-kata itu saja sudah cukup.

Puncaknya kamu menarik diri, menjauh, dan menjadi asing. Tidak ada yang pernah tahu bagaimana perasaanku saat itu: patah dan hancur. Aku sangat kehilangan seseorang yang masih berada di satu atap gedung yang sama. Aku kehilangan seseorang yang selintas terlihat bayangannya, berusaha keras untuk menghindar. Perlu kamu tahu, perasaan aku saat itu sangat tidak baik-baik saja.

“Ini buat kebaikanmu,” katamu malam itu setelah hampir dua minggu menghindar. Hari itu aku paksakan untuk kembali menghubungimu, mengajakmu bertemu untuk bicara, “Aku nggak mau kamu terus-terusan jadi bahan omongan. Ini dan itu yang sebenarnya nggak benar. Aku nggak suka.”

“Aku juga nggak suka, tapi aku nggak peduli sama omongan orang lain itu,” sahutku.

“Aku tahu kamu keras kepala, tapi untuk kali ini… tolong hilangin dulu,” kamu sudah seputus asa itu. “Dari awal aku sudah tahu kalau akan begini jadinya. Dari awal aku yang juga keras kepala untuk lanjutin semua ini, coba buat ingkari, coba buat berhentiin waktu biar kita bisa bahagia,” sepasang matanya melemah. “Tapi, nggak bisa… waktunya nggak bisa berhenti lebih lama.”

Aku dan kamu diam, saling sibuk memainkan minuman masing-masing.

“Aku minta maaf karena sudah buat nama kamu jadi jelek. Aku minta maaf karena sudah bawa-bawa kamu,” katanya.

Aku mendesis, membuang muka, “Nggak seharusnya kamu minta maaf. Kamu minta maaf sama aja kalau selama ini kita berdua salah. Aku adalah kesalahan.”

“Kamu bukan kesalahan," katamu.

Aku kembali menatap sepasang matanya yang sudah lebih dulu menatapku, “Kamu tahu? Ini rasanya kayak diputusin, tapi kita berdua nggak punya hubungan itu.”

Satu hal yang bisa kupastikan, kita berdua sama-sama tidak baik-baik saja. Ada rasa yang ingin berontak lebih, tapi sulit untuk dilakukan. Aku kira, pertemuan ini akan membuatku merasa lega. Ya, sedikit. Setelah kamu memberikan aku sebuah pelukan dan aku menangis di dalamnya. Rasanya benar-benar berantakan dan kamu tetap memintaku untuk terus bahagia.

“Jadi kamu yang bahagia seperti sebelum ada aku.”

Lega yang sedikit itu perlahan memudar. Aku dan kamu tetap bisa saling sapa, bicara, dan mengobrol seperti biasa. Tidak jarang juga kita berdua sekilas bercanda. Tapi, buat aku yang pakai hati dan pernah memberikan kontrol emosi diri ke kamu itu tidak mudah. Seringkali menyalahkan diri sendiri yang begitu lemah saat tidak sengaja berpapasan. Nyatanya, debar jantung ini masih dibuat tidak normal oleh kamu atau oleh hal-hal yang tanpa sengaja kamu lakukan karena sempat terbiasa.

Sampai saat ini aku masih berusaha untuk menahan rasa ingin. Karena sesulit-sulitnya melepaskan, lebih sulit lagi menjelaskan ke diri sendiri bahwa semua sudah selesai. Waktunya sudah habis dan harus mulai kembali diubah. Mengembalikan kebiasaan menjadi hal yang biasa.

Terkadang, aku membenarkan keadaan ini. Tapi lebih sering, aku menolak keadaan ini. Harusnya kita bisa lebih lama merasa bahagia berdua kan, ya?

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

I am a window. Break me and you bleed.

CLOSE