Kita Bukan Berpisah, Hanya Menjaga Jarak Hingga Dipersatukan Dalam Kata ‘Sah’ Dalam Agama

Karena Luka Darimu, Aku Belajar Untuk Lebih Mencintai.

Dalam hidup, selalu ada yang hilang. Entah itu kepergian dari orang yang kita sayang juga benda-benda kesayangan yang rusak lalu tak terpakai seiring waktu berjalan. Begitupun soal perasaan. Dalam hidup, perasaan bisa hilang. Hilang karena cinta, juga bisa hilang karena luka. Sedang aku, akulah orang yang kau hilangkan dari matamu, lalu kau benamkan perasaanku ini tanpa tersisa.

Lucu bukan? Ketika aku merasa punya cerita tentangmu di kepalaku, tapi kau sama sekali abai dengan hal itu. Bahkan mungkin tidak acuh terhadap cerita yang ada di kepalaku ini. Lucu bukan? Tapi, aku hargai itu. Mungkin itu caramu menunjukan kepadaku, bahwa mengingat masa lalu, tak akan ada gunanya.

Saat ini, aku telah kehilanganmu, orang yang tidak mencintaiku.

Tapi, kau juga telah kehilanganku, orang yang benar-benar mencintaimu.

Sekarang, kita adalah dua orang asing. Ingin sekali aku menanyakan kabarmu tiap kali mata kita saling berpandangan. Aku hanya ingin tahu apakah kau berhasil untuk melupakanku dalam pikiranmu itu. Semoga kau berhasil melupakanku. Tapi hal yang paling aku takutkan adalah, kau bahkan tak pernah mengingatku. Jadi, bagaimana mungkin kau melupakanku, kalau kau saja tak mengingatku.

Aku sudah meyakinkan diri, bahwa tidak mungkin ada kita. Tapi perasaan luka yang kau berikan ini masih tak masuk akal. Sebab kau terlihat baik-baik saja sampai saat ini. Kau bahkan terlihat dengan mudahnya tertawa juga melempar senyum ke beberapa orang. Sedang aku, orang bodoh ini, hanya bisa melakukan hal yang tak bermafaat: Pura-pura bahagia. Iya, aku hanya berpura-pura saat ini, tertawa keras adalah kepura-puraan, berbicara dengan banyak orang seolah tanpa luka juga adalah kepura-puraan, dan tersenyum seperti anak kecil kepada banyak orang juga kepura-puraan yang sedang kulakukan.

Tidak sepertimu, aku tidak pernah membencimu.

Jadi, saat kau tak menganggapku sebagai teman, saat itu juga aku menyebutmu sahabat.

Hidup dalam keadaan luka, adalah hal yang tidak menyenangkan memang. Aku pun sebenarnya tidak ingin terlalu larut dalam luka ini. Tapi, mungkin aku pernah terlalu hebat mencintaimu, sampai aku lupa bahwa semakin dalam menanam cinta, maka semakin dalam juga luka yang ditangguk kelak. Iya, aku lupa saat itu. Dan baru teringat sekarang, saat di mana luka sudah menjadi teman sehari-hari dan mengharuskanku hidup dalam kepura-puraan.

Beberapa teman mengatakan bahwa aku adalah orang yang mencintai sebaik-baiknya, sepolos-polosnya, dan juga, sebodoh-bodohnya. Seorang yang setia dalam hal menunggu, tapi juga tak tahu diri saat tengah menunggu karena menunggu seseorang yang tak bergerak ke arahku, begitu pula kata temanku yang lain. Bahkan ucapan keras sering kali terdengar olehku, bahwa cinta itu harus disambut juga oleh yang dicintai. Sebab, bagaimana mungkin mencintai dengan tulus seseorang, yang bahkan orang tersebut tak pernah bisa mencintai balik. Kalau hanya diri sendiri yang mencinta, mungkin itu bukan cinta, melainkan luka.

Aku tidak pernah merasa hina karena meminta maaf.

Aku merasa hina karena tidak memberi maaf.

Tapi, ada pelajaran penting yang kudapatkan dari sekumpulan luka di hati berkatmu. Tidak peduli seberapa besar kau memberikan luka kepadaku dengan cara-cara bijakmu itu, aku akan selalu menanggungnya dengan cara-caraku. Dan apakah kau tahu cara-caraku? Yaitu, memaafkan. Aku tidak pernah peduli bagaimana caramu melukai, yang terpenting adalah memaafkan, sebab itu memberikanku satu ruang di hati yang kunamai kebahagian, untuk menjalani hari-hari yang ada.

Ada satu pertanyaan yang belum kutemukan jawabannya. Mungkin ini untukku karena pernah melukaimu juga. Atau juga ini untukmu, karena pernah melukaiku. Dan bisa saja, ini untuk seseorang yang ada di luar sana.

Mungkinkah, seseorang yang terluka, hanya bisa disembuhkan oleh yang juga terluka?

Luka mengajarkanmu satu hal: dalam hidup, kau harus belajar menghargai tiap orang, sepayah apapun dia.

Benak memaki seakan kecewa kepada singkatnya langit yang menebarkan cahaya jingga di sore hari. Menumbangkan harapan tuk sekedar bersua kembali.

Entah sudah berapa kali menambat resah terhadap kemerah-merahannya langit di pagi hari. Berharap tak lagi menipu diri yang selalu bercita tuk dapat berjumpa, dan terulang menatap tatapan mata itu lagi.

Tatapan yang mendamai jiwa merobohkan setiap keluh kesah dalam benak diri. Yang terkadang datang sebagai obat pelipur lara serta dasar dari setiap kegirangan hati. Dan Menjadikan landasan serta alasan dari setiap kehidupan yang dijalani…

Waktu memang selayaknya terus berputar dan tak dapat mengulang atau dihentikan…

Terkadang waktupun mengajarkan bahwa masa lalu hanya layak menjadi kenangan. Memang kejam, bahkan mustahil dicerna oleh sanubari yang terbuai akan indahnya kebersamaan.

Kebersamaan yang megajarkan sempurnanya kehidupan jika saling memiliki. Kebersamaan yang mengajarkan indahnya mencintai dan dicintai.

Merubah aku dan kamu menjadi kita. saling mengikat ikrar suci bersaksikan ribuan mata serta harapan dari ridho sang maha kuasa. merintih keluarga kecil hingga besar bersama, Sampai kelak sampai anak dan cucu kita bergembira dan menjadi saksi cinta dan kasih abadi kita berdua.

Hingga raga ini terbujur kaku, hingga bibir ini bungkam dan membisu, dan tangan yang selalu mendekap erat dirimu tak sanggup lagi bergerak, serta jantung yang berhenti bekerja dan tiada lagi berdetak. Namun, hati akan selalu setia mencintai dan merindukanmu sampai kelak perjumpaan dikehidupan abadi.

Namun itu semua hanya fantasi gila, bernaung memenuhi relung kosong hati yang telah lama kau tinggalkan. Fantasi yang dihasilkan dari kata seandainya. Dihasilkan dari rasa kekecewan takdirnya. Kekecewaan yang menghantam sanubari dan ditikam nalar yang memaksa tuk segera sadar dari dunia semu, dunia fantasi, dunia rekaan, dan dunia khayalan.

Yang menyadarkanku bahwa masih banyak alasan untuk berlangsungnya kehidupan yang sesaat ini. Aku disini bahagia, apakah kau pun disana bahagia? Kuharap begitu! Sebab hanya kata kebahagian yang selalu kuucapkan di setiap sepertiga malam kesahku padamu..

So thank you ferry much for your sweet memories white me…. see ya! M M130592

Red..

Terimakasih Kamu, Sosok Manis yang Telah Mengajarkanku Arti Kepercayaan Ku.

Mengenalmu adalah salah satu nikmat yang pernah Tuhan berikan kepadaku. Senyummu yang penuh dengan arti sebelum kejadian itu, kini takkan lagi menjadi sama. Aku tahu aku yang memulai membuat serius hubungan ini namun apa mau dikata, ego yang begitu besar memisahkan tujuan utama. Dulu ku anggap hanya aku yang kau kirimi foto tiap pagi, dulu aku anggap hanya aku yang bisa mengantar tidurmu, dulu aku anggap hanya aku yang bisa menjadi tempat berbagi cerita.

Semua kini tlah hilang. Tak berbekas. Hancur.

Beberapa bulan ini setelah aku merenung dan mengumpulkan bukti yang ada, kau membagi kisah. Tidak hanya satu namun lebih. Pernah aku membaca kalimat “Friendzone” di dunia maya. Adalah hubungan mesra dimana status sahabat masih melekat diantara keduanya atau mungkin sebaliknya.

Kau melakukannya. Benar-benar melakukannya. Di depan mataku.

Awalnya ku anggap semua itu hanya luapan emosi karena kau lebih muda. Ku rasakan hal ini semenjak kau menjalani KKN diluar daerah. Tiap pagi aku tunggu kabarmu. Whatsapp, BBM, Line hingga SMS aku lakukan untuk mengetahui kabar terbaru. Namun apa mau dikata hanya layar kosong yang bisa ku tatap hingga entah berapa lama chat kau balas. Sempat terbersit dalam pikiran, dirimu tidak memberi kabar namun bisa update status? Sudah bosankah kau dengan hubungan ini.

Kau meyakinkanku setelah berpisah 3 bulan dengan mengajak bertemu, bercanda dan saling melempar kalimat manja. Aku tersenyum, aku bahagia dan aku bersyukur kau kembali seperti awal kita kenal.

Seperti tersambar petir disiang bolong!

Kau upload foto itu! Ya dengan editan “friendzone” di dalamnya. Aku simpan foto dari feed status BBM-ku. Hatiku remuk, ya remuk entah apa alasan yang kau buat hingga berani melakukan yang seharusnya tak kau lakukan. Malam itu aku hanya ingin sendiri, sendiri melepas hati yang berantakan. Chat ramai mulai masuk namun aku abaikan tapi… aku luluh dengan permintaan maaf-mu.

Berbagai sangkaan mulai muncul. Maaf, aku mulai menyadap perangkat kesayangan yang kau beli bersama diriku di Ambarukmo Plaza. Ilmu sesat yang pernah ku pelajari; isi handphone orang yang dulu sempat aku tinggalkan mulai ku buka, demi kebenaran. Sosial media yang selama ini menjembatani komunikasi kita, aku gunakan untuk memuluskan rencana.

Segala bukti aku kumpulkan. Email, Instagram hingga Line menjadi menu yang hapir tiap hari rajin ku buka. Secara tak sadar setiap status yang kau buat semakin menguatkan bukti-bukti. Aku rangkai, analisa dan simpan. Parahnya, lelaki itu seakan-akan tak tahu atau sengaja masa bodoh bahwa kita memiliki komitmen. Kedekatanmu dengannya sungguh membuatku cemburu.

Mungkin kau akan ingat ketika mengirimkanku foto senyum dengan kacamata, ya foto itu juga yang kau kirimkan pada dia, dia dan dia yang lain. Kecewa hati takkan kau mengerti sampai jauh dimana aku berusaha mengimbangi dirimu. Aku menyadari kau kini begitu jauh.

Mengingat cerita ini, kadang aku tersenyum akhirnya aku tahu siapa dirimu sebenarnya namun dilain sisi aku merindukan kesejukkan yang kau beri. Sanjungan tentang betapa aku bisa membuatmu nyaman dikala kita terbuai, pujian ketika aku bisa memecahkan masalah yang kau hadapi dan indahnya voice note via Whatsapp selalu menghiasi hari.

Hai…

Tahukah kamu? Aku masih menyimpan rekaman semua pembicaraan telfon kita, aku masih menyimpan bukti kau (entah apapapun itu kau sebut) chat dengan lainnya, dan aku masih menyimpan semuanya dengan rapi. Kau takkan menyangka aku melakukan ini. Sengaja aku melakukan semua dan berjaga-jaga suatu saat ada hal yang tak diinginkan terjadi.

Sejauh apapun melangkah melupakan semua ini, tidak akan mudah bagi. Dalam pencarianku tidak mudah percaya pada hati yang baru. Bukan kekhawatiran karena hati ini bisa patah kembali namun kisah yang sama takkan pernah terulang.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Hakikat itu berasal dari hati kita sendiri. Bagaimana kita membersihkan dan melapangkan hati, bertahun-tahun berlatih, bertahun-tahun belajar membuat hati lebih lapang, lebih dalam, dan lebih bersih. Kita tidak akan pernah merasakan kebahagiaan sejati dari kebahagiaan dari luar hati kita. Hadiah mendadak,kabar baik, keberuntungan, harta benda yang datang, pangkat, jabatan, semua itu tidak hakiki. Itu datang dari luar.