[CERPEN] Laki-laki Biasa Itu Bernama Ifan Ibrahim (part 2)

[CERPEN] Laki-laki Biasa Itu Bernama Ifan Ibrahim (part 2)

Rutinitas kantor setiap hari. Datang pagi, absen sidik jari, siang, hingga menuju petang. Keseharian dalam satu kantor yang sama, mengerjakan jobdesk masing-masing atas nama tanggung jawab dan tujuan kami berada di kantor ini. Lelah dari jam 8 pagi hingga 5 sore terbayar karena terbentuknya hubungan emosional antar sesama pekerja. Menjadi dekat satu sama lain. Kedekatan yang bukan  hanya sebagai teman kerja. Melainkan sebagai orang yang menghabiskan hari lebih lama dari bersama keluarganya masing-masing. Enam hari dalam seminggu. Dari Senin hingga Sabtu.

Orang yang sama, rutinitas yang sama setiap harinya. Jenuh pasti ada, lelah sudah pasti sering dirasa. Namun kembali kepada tujuan kami masing-masing. Untuk apa kami bekerja? Untuk apa kami merelakan setiap hari harus menempuh perjalanan sepanjang Mataram-Kuta Mandalika yang jaraknya 100 km pulang-pergi. Setiap hari. Enam hari dalam seminggu.

Begitupun denganku. Dan dia.

Dari awal semuanya berjalan biasa saja. Tidak pernah ada yang tidak biasa.

Sampai akhirnya kami terlibat dalam sebuah percakapan pesan singkat dimana aku mengomentari salah satu status WA yang dia buat bahwa dia sedang berada di suatu tempat yang cantik sekali. Laut.

Dia sedang menikmati liburan akhir pekan bersama keluarganya. Lalu kemudian membagikan momen tersebut di status WA.

Aku mengomentari statusnya. “Dimana nih?! Bagus banget!”

“Villa Bidadari, senggigi” jawabnya singkat.

Aku suka sekali laut. Bukan suka. Tapi cinta. Ya. Aku mencintai laut. Pantai. Air yang bertemu pasir. Angin yang bertemu ombak. Aku sangat tertarik bahkan terobsesi dengan segala yang berhubungan dengan laut.

Jika ada siapapun yang membagikan momen di sosial media atau aplikasi pesan singkat, aku pasti akan mengomentarinya. Termasuk saat dia yang update.

“Bagus tempatnya” balasku.

“Iya, bagus banget” balasnya lagi.

Percakapan selesai. Sesingkat itu.

Keesokan harinya rutinitas kembali di mulai. Berangkat ke kantor, bekerja, memenuhi deadline ke atasan, membuat laporan project dan invoice. Well, sarapan pagi sehari-hari.

Dan kembali aku bertemu dia.

“Woy! Yang abis liburan gaes!” tegurku.

“Hey, iya, bagus tempatnya, kesana deh” jawabnya.

“Iya, nanti gampang. Rencana mau bolos hari ini, mau pulang cepet, pengen kesana. Kamu diem-diem jangan bilang-bilang ya” bisikku ke dia sembari meletakkan jari telunjuk ke bibir.

“Beres!” sahutnya.

“Woy! Ada apaan nih rahasia-rahasiaan segala Ifan sama Dilah?!” Pak Rizki nimbrung.

“Awas kamu ya ember bocorin rahasia ya! Berantem beneran kita” sahutku padanya.

“Iya, beres! Aman” dia menimpali.

Aku segera kembali ke mejaku. Bercandaanku dengannya membuat teman-teman kantor yang lain yang mendengar percakapan kita tadi berasumsi dan berpikir bahwa kita berdua menyimpan rahasia. Bahwa kita berdua ada apa-apa.

Itu terjadi karena kata mereka kita berdua sering saling menggoda. Saling menjahili satu sama lain. Saling mengganggu pekerjaan satu sama lain dalam konteks bercandaan. Saling tertawa bareng berdua. Yang tidak pernah dia lakukan dengan teman perempuan yang lain. Sehingga kedekatan kita dinilai berbeda oleh teman-teman yang lain.

Lambat laun. Ternyata kedekatan kita berdua jadi tidak biasa.

Semakin sering saling mengomentari status WA. Semakin sering saling berkirim DM di instagram. Dan semakin sering chatting di WA.

Kita berdua terbawa suasana.

Tak ada hari tanpa chatting. Dan tak ada hari tanpa saling bertukar senyum tak biasa ketika bertemu di tempat kerja.

Semua terjadi begitu saja. Tidak terduga.

Sesuatu yang dari awal tidak seharusnya dirasa. Sesuatu yang salah. Sesuatu yang keliru.

Orang baru yang belum lama ini masuk ke dalam kehidupan. Dia menyita semua perhatian, waktu, dan pikiran. Hanya untuk memikirkan dia setiap waktu dari pagi hingga petang.

Laki-laki biasa dengan kulit cokelat, rambut pendek rapi, perawakan tinggi tegap dengan senyuman yang menurutku sangat menawan.

Laki-laki biasa yang belum lama ini menjadi luar biasa sekali di mataku.

Laki-laki biasa dari sebuah daerah di tengah Nusa Tenggara Barat yang ternyata mampu membuat hatiku jatuh.

Laki-laki pendiam serba biasa saja namun entah kenapa ke “biasa” annya justru menarikku tenggelam dalam pusaran pesona nya.

Entah apa maksud semesta membuatku merasakan rasa yang tidak seharusnya, merasakan rindu pada yang bukan haknya. Sungguh itu bukan perkara yang mudah dilupa dengan beberapa kerjapan mata.

Dia, singgah yang sungguh nyata. Dia ada, tapi fatamorgana. Seperti berlari di gurun pasir nun jauh dari daratan. Tak paham arah. Lalu kemungkinannya hanya dua. Mati kehausan, atau kaki letih melangkah, ujungnya tetap saja, tersungkur, lalu mati.

Sebegitu sakitkah yang kelak harus dirasakan ketika mencintai seseorang yang salah?

Tuhan tentu bukan tanpa maksud ijinkan kita merasa sedemikian rupa. Barangkali dia sedang ingin bercanda melalui perantara semesta, atau memang Dia sedang menguji umatNya perihal seberapa kuat iman hambaNya.

Dalam seperempat abad kehidupan, belum pernah kurasakan bahagia yang buncahnya sedemikian hingga. Ketika bertemu tatap, atau bahkan ketika menghabiskan hari berdua. Bercengkerama tentang apa saja layaknya muda-mudi dan segala roman picisannya.

Entah apa yang berada di dalam matanya sehingga diri ini rela menjatuhkan diri ke dalamnya, berkali-kali.

Mata itu. Mata yang biasa. Tajam yang meneduhkan. Hangat yang menenggelamkan. Di dalamnya, aku rela tersesat dan tak ingin pulang.

"Aku bahagia sama kamu" ujarnya, lirih. Hampir tidak terdengar.

Aku yang masih hanyut dalam tatapan si empunya mata, seketika menunduk, berusaha untuk menahan bulir cairan bening yang mulai menggenang di kelopak mata.

"Kamu tau persis aku lebih bahagia. Tidak pernah sebahagia ini" jawabku.

Dia merangkulkan lengannya ke bahuku.

Debur ombak pantai Selong Belanak terdengar riuh. Membentur gundukan pasir putih halus yang tersapu buih. Hembus angin yang tidak terlalu kencang seperti meminta ijin berusaha menerbangkan harapan yang memang seharusnya tidak pernah dipupuk sejak awal.

Laut biru, cerahnya langit, beraraknya awan, menyempurnakan sore kita berdua kala itu.

Sepasang manusia dengan perasaan yang sama dalamnya. Sepasang manusia dengan rasa sakit yang sama. Sepasang manusia dengan keharusan untuk saling membunuh rindu yang dirasa.

"Sudah waktunya" kataku.

"Jangan, tolong. Kamu tau aku tidak bisa. Akan sulit sekali. Sudah terlalu dalam. Kita sudah terlalu jauh" ujarnya seraya memohon.

"Justru itu, mas! Justru karena kita sudah terlalu jauh! Aku tidak mau menjadi versi semakin jahat seorang perempuan!" genangan air di kelopak mata itu gagal kutahan.

"Dilah…" suaranya semakin pelan. Berat.

Aku benci jika dia sudah mengubah nada suaranya seperti akan memohon.

Dia tau aku pasti luluh dan kembali berubah pikiran untuk meneruskan lagi kisah yang salah ini. Kisah yang tidak seharusnya terjadi. Cerita yang seharusnya tidak dituliskan dari awal.

"Tolong, jangan memohon lagi kali ini, mas Ifan" giliranku memohon padanya.

Aku memberanikan diri menatapnya. Dengan air mata yang sudah berderai membasahi pipi.

Dia balas menatapku. Tak kalah getirnya. Matanya masih sama. Tajam. Tapi kali ini ada yang beda di tatapannya. Tidak lagi hangat. Sangat menyayat.

Tatapannya seperti busur yang langsung menghujam tepat di jantung. Nyeri. Dadaku pedih sekali melihat mata itu.

Mata yang sekian ratus hari kemarin menjadi hal yang selalu kutunggu untuk berjumpa dengan mataku lalu berlanjut dengan kedipan manja yang disusul dengan tawa kita berdua.

Aku bisa melihat ada genangan juga di dalam mata itu. Tidak banyak, tapi ada.

Mungkin dia juga bersusah payah menahan agar genangan itu tidak menetes membasahi wajahnya juga atas nama pria dewasa.

Sebuah jiwa yang kuyakini juga menderita. Nelangsa yang sama juga dia rasa ketika akhirnya aku benar-benar memutuskan untuk menyudahi semuanya setelah sekian lama kita menjalani sebuah hubungan yang tidak seharusnya.

Rasa sakit yang sama besarnya.

Ketika usaha untuk bersembunyi bersama, berdua, dari dunia akhirnya sia-sia.

Bahagia yang dirampas paksa oleh kenyataan bahwa tidak pernah ada kisah semacam ini yang bisa dipertahankan. Cepat atau lambat, akan berakhir juga, entah dengan cara apa. Dan hari ini, giliran kisah kita berdua yang tiba di titik akhirnya.

"Lalu sekarang mau kamu apa?"

Setelah hening yang cukup lama karena aku larut dalam tangis yang kali ini tidak berusaha diredakan olehnya.

"Aku mau kita mengakhiri semuanya. Menyudahi cerita ini. Menutup kisah yang dari awal memang tidak seharusnya kita jalani" aku masih berusaha menjawab dengan suara yang sudah amat parau. Nyaris tak terdengar karena kuucapkan berbarengan dengan isakku yang belum mereda.

Dia mendengarkan permintaanku dengan seksama. Meremas sendiri jemarinya. Menatap nanar dan kosong jauh ke hamparan laut di depan kita berdua.

"Di tempat ini pertama kali bibir kita bertemu, Dil. Di tempat ini pula tempat aku menemukan bahagia yang sama sekali tidak pernah kurasakan seumur hidupku. Dan di tempat ini juga hari ini akhirnya aku harus mengubur semuanya dalam-dalam. Melepas kamu. Merelakan kita. Menyerah pada keadaan yang tidak pernah mau mengerti bahwa kita berdua sungguh ingin saling memiliki".

Aku menarik napas panjang. Lalu menghembuskannya keras-keras. Mengusap air mataku, dan membenarkan posisi dudukku, menghadap dia.

"Kamu tau persis ini adalah konsekuensi kita berdua. Tidak akan pernah ada yang berhasil dengan hubungan semacam ini, mas Ifan. Kamu tau persis juga aku tidak mau merusak kebahagiaan istrimu lebih jauh walaupun kenyataannya aku sudah melakukan itu sejak awal. Tapi aku sungguh sudah lelah. Aku sudah tidak kuat lagi menahan semuanya. Hati perempuan mana yang bisa tahan menyimpan rahasia sebesar ini dalam hidupnya? Aku tidak mau jadi perusak rumah tangga orang! Aku menyerah".

"Tapi kamu tidak pernah merusak, Dilah. Dari awal pun tidak. Aku tetap memberikan cintaku untuknya sesuai porsinya. Tidak ada yang berubah. Tidak berkurang sedikitpun" dia masih berusaha mencari pembenaran.

"Tolong berhenti, mas Ifan. Sudah cukup" aku hampir menangis lagi.

Giliran dia yang menghela napas panjang. Sedikit lebih berat dari yang kulakukan beberapa menit sebelumnya.

Dengan satu gerakan cepat dia menghapus sesuatu yang jatuh dari sudut matanya.

Aku tau dia menitikkan air mata. Aku juga tau dia sedang setengah mati menahan agar tidak tumpah.

"Baiklah. Aku penuhi keinginanmu"

"Aku, akan, melepaskanmu, mulai hari ini. Untuk selamanya". lanjutnya, lirih, berat, dan sedikit terbata-bata.

Ada rasa sakit luar biasa seperti bombardir seribu pisau menancap di dadaku ketika mendengar dia mengatakan itu. Pedih yang tidak bisa lagi dideskripsikan. Hatiku nyeri mendengar kalimat itu masuk ke gendang telinga. Kata-kata yang sama sekali tidak pernah dia ucapkan.

Dia yang pernah berjanji tidak akan melepaskan aku. Dia yang selalu berjanji untuk saling menguatkan di setiap rasa sakit yang datang saat cemburu. Dan dia yang selalu berucap tidak akan pernah menyerah terhadapku apapun keadaannya.

Kali ini, hari ini, dia benar-benar mengucapkan itu.

Angin mendadak berhembus lebih kencang. Awan mendung datang menyelubungi langit. Hari mendadak gelap sebab matahari dihalangi rombongan awan hitam yang baru tiba. Mendung datang bersamaan dengan sebersit perasaan tidak rela untuk dilepaskan.

Tapi aku sudah tidak mungkin lagi berubah pikiran. Niat dan tekad yang sudah berhari-hari berusaha kubangun dengan kokohnya atas nama agar hidup dan hati lebih tenang tanpa ada lagi yang disembunyikan dari dunia.

Melepaskan apa yang harus dilepaskan. Merelakan apa yang sedari awal memang bukan hak nya. Mengikhlaskan apa yang sedari awal tidak pernah menjadi miliknya.

Seberapapun cinta pada dia yang membawa bahagia sebesar dunia, jika cinta itu ternyata menyakiti perempuan lain yang seharusnya memang memilikinya satu-satunya, maka sia-sia lah.

Cinta yang besar tak akan lagi berguna. Rindu yang dalam tak akan lagi bermakna. Dan rasa yang indah tak akan lagi bernilai bahagianya.

Sejatinya cinta yang benar adalah yang tidak merusak. Cinta yang benar adalah yang tidak menyakiti cinta lain.

Akan selalu disiapkan pengganti yang sekian kali lebih baik jika kita ikhlas setulus hati melepas apa yang bukan miliknya.

Sakitmu akan reda, lukamu akan sembuh. Sekalipun denyut perihnya akan selalu dirasa, waktu akan ambil alih menyembuhkannya.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Penikmat keju. Penggila kafein. Penyuka hujan. Pecandu laut, dan kamu.