Latah Sosial, Cara Seseorang Merespon Sebuah Fenomena

Kita harus menyikapi dengan baik, jika ikut-ikutan dirasa baik dan akan membawa pengaruh positif bagi diri sendiri dan sekitar, alangkah baiknya turut serta.

Latah adalah sebuah fenomena sosial yang sedang marak di masyarakat urban. Bentuk respon yang dimiliki sebagian individu. Gejala ini lebih banyak muncul melalui sosial media. Ini karena sosial media dapat membuat orang cepat latah. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, latah adalah menderita sakit saraf dengan suka meniru-niru perbuatan atau ucapan orang lain.

Advertisement

Latah di media sosial yang dimaksudkan ialah ketika ada sebuah postingan mengenai sesuatu yang baru dan menarik perhatian. Dari situ akan membawa orang-orang untuk turut memposting. Tidak hanya itu, apabila ada orang yang mengunggah sebuah informasi mengenai tempat baru, maka orang lain akan berdatangan dan turut mengunggah.

Bukan suatu hal yang buruk mengalami ke-latahan sosial. Menjadi lebih peka dan perhatian terhadap sesuatu, itu yang terjadi. Tentunya, akan lebih menyenangkan jika mendapat respon yang baik. Apalagi latah membuat kita secara tidak langsung terus memperhatikan seseorang dan lingkungannya.

Sebagai contoh, beberapa waktu lalu MRT sedang hangat dibicarakan. Orang-orang banyak yang memposting foto dan memberi komentar mengenai adanya ‘masalah’ pada moda transportasi baru di Jakarta ini. Dilansir dari instagram @jktinfo, ada sebuah postingan yang menampilkan kejadian beberapa orang sedang asik duduk dan makan di salah satu sudut terowongan MRT. Banyak dari orang-orang yang kemudian turut memposting dan berkomentar. Komentar yang diberikan adalah sebuah kritik membangun untuk peduli dan dapat menjaga lebih baik kondisi MRT serta sekitarnya.

Advertisement

Walau begitu, latah juga tidak menutup kemungkinan memunculkan sisi negatif. Jika tanggapan seseorang mengenai suatu hal atau postingan di media sosial buruk dan itu dianggap benar oleh orang lain, maka orang tersebut akan turut memberi penilian buruk juga.

Seperti yang pernah terjadi adalah perundungan massal. Orang beramai-ramai mengeluarkan komentar negatif terhadap suatu hal yang dianggap buruk. Kasus bunuh diri melalui live facebook yang sempat menggemparkan masyarakat Indonesia, sebagian yang menonton memberikan tanggapan negatif. Parahnya, ada yang menyuruh untuk bunuh diri saja. Akibatnya, orang itu benar melakukan bunuh diri.

Advertisement

Latah dengan Psikologi

Dikutip dari Detik Health, latah tidak dikategorikan sebagai sebuah penyakit, tetapi psikiater mengatakan perilaku ini masuk ke dalam kategori gangguan gejala kejiwaan. “Makanya latah jadi masuk ke gangguan (gejala psikiatri) dan berhubungan dengan kultur atau budaya. Kalau dibilang penyakit itu belum termasuk penyakit, istilahnya hanya gejala perilaku dan pikiran saja, dan susah juga dikategorikan sebagai penyakit,” jelas dr Andri, SpKJ, psikiater dari Klinik Psikomatis RS Omni Alam Sutra, Tangerang.

Hal ini membuktikan bahwa latah datang dari lingkungan sosial individu. Adanya persuasif yang secara tidak langsung dari individu satu, membawa ke individu lain untuk turut serta. Sikap dan perasaan sama dari individu lain terhadap pernyataan individu satu memunculkan latah.

 

Latah itu Kekinian

Latah membuat seseorang disebut kekinian. Bagaimana tidak? Ada yang viral, satu posting, posting semua. Satu pakai, pakai semua. Orang berlomba-lomba siapa yang terbaik, paling menarik, dan paling benar menurut netizen.

Semakin sebuah postingan itu bernilai di mata netizen, mendapat banyak like atau retweet atau balasan, semakin ‘berharga’ postingan itu. Membuat viral, banyak dibicarakan. Kemudian berkompetisi mencari perhatian dan jadilah panjat sosial.

“Panjat sosial terus bro sampe naik status,” petikan lagu Panjat Sosial yang pernah tren di tahun 2016. Sebuah lagu tanggapan atas orang yang beramai-ramai mencari perhatian lewat sosial media.

Latah adalah sebuah solusi agar dirinya dapat diterima di lingkungan sosial, sebagai ekspresi diri dari kekangan-kekangan sosial. Seseorang dapat dianggap buruk, bahkan hingga dijauhi circle-nya karena tidak ikut-ikutan.

Sebuah pilihan menjadi orang yang ikut-ikutan atau tidak. Bukan hal buruk jika kemudian kita tidak mengikuti tren tersebut. Bukan berarti kita kampung, tidak mengikuti perkembangan. Lebih kepada diam, menyimpan segala tanggapan untuk diri sendiri.

Bukan hal baik pula jika kita terus mengikuti tren. Bukan sebuah hal yang harus dibanggakan ketika kita mendadak menjadi perhatian netizen. Kecuali sebuah postingan yang anda panjatkan mampu mengubah dunia.

Namun, tidak ada salahnya juga turut menyampaikan pendapat melalui tren ikut-ikutan. Menunjukkan kepedulian, kepekaan sosial kita terhadap suatu masalah, suatu hal, sebuah tempat, hingga sebuah fenomena. Barangkali, salah satu postingan kita dapat membawa pengaruh positif.

Kita harus menyikapi dengan baik, jika ikut-ikutan dirasa baik dan akan membawa pengaruh positif bagi diri sendiri dan sekitar, alangkah baiknya turut serta. Apabila tidak dan dirasa hanya sebuah ‘panjat sosial’ demi sebuah ketenaran sosial belaka, maka urungkan saja. Kita tidak harus ikut-ikutan untuk menjadi baik di mata netizen, yang harus dilakukan adalah menjadi diri sendiri, menciptakan sebuah karya, atau mengubah dunia dengan cara kita masing-masing. 

 

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Mahasiswa jurnalistik di Ilmu Komunikasi, UPN "Veteran" Yogyakarta. Mengisi waktu luang dengan part time barista di Kopine Eyang.

CLOSE