Lemahnya Negara Indonesia Dalam Menjamin HKSR, Kasus WA Jadi Bukti

Masa remaja merupakan masa yang sangat penting untuk masa depan. Berbagai perilaku terbentuk dan terbawa ke fase kehidupan selanjutnya yang lebih dewasa. Berbagai masalah yang dapat muncul di masa remaja pun dapat mempengaruhi masa depan secara drastis. Untuk hal ini, diperlukan penjaminan hak dan kesehatan seksual dan reproduksi.

Advertisement

HKSR merupakan konsep Hak Asasi Manusia (HAM) yang diaplikasikan ke seksualitas dan reproduksi. Ia terdiri dari 4 bidang, antara lain hak seksual, hak reproduksi, kesehatan seksual, dan kesehatan reproduksi. Keempat bidang ini, walaupun beda, saling terikat.

Sebagai contoh, salah satu hak seksual menurut WAS Advisory Council adalah hak atas kesehatan, termasuk di dalamnya kesehatan seksual, dengan kemungkinan mendapatkan pengalaman yang menyenangkan. Mungkin dari contoh kecil ini, HKSR terdengar seperti sesuatu yang dapat merusak moral, namun pemenuhan HKSR berarti, memastikan bahwa setiap orang berhak atas tubuhnya sendiri, dan mereka bebas dari berbagai bentuk kekerasan, termasuk kekerasan seksual.

Di Indonesia sendiri, kondisi HKSR untuk remaja bisa dibilang ketimpangan. Di satu sisi, terdapat perundangan yang menjamin kesehatan remaja dan kesehatan reproduksi. Di sisi lain, praktik perkawinan anak, pembatasan besar terhadap aborsi, susahnya dan bahkan mustahilnya mengakses kontrasepsi di beberapa tempat menunjukkan bahwa masih banyak hal mengenai HKSR untuk remaja yang tidak terjamin.

Advertisement

Salah satu kasus yang belakangan ini naik menunjukkan seberapa lemah negara Indonesia menjamin HKSR untuk remaja. Di Jambi, seorang perempuan, WA, yang berusia 15 tahun divonis penjara setelah ia mengaborsi kehamilannya yang sekitar 7 bulan. Ia hamil karena diperkosa kakaknya yang berusia 18 tahun beberapa kali. Akibatnya, ia menjadi hamil. Ibunya WA membantunya aborsi karena merasa malu. Dari kasus ini, terlihat ada beberapa lapis kegagalan pada kasus ini, antara lain kegagalan Negara menjamin hak atas tubuh, bebas dari kekerasan, hak atas kesehatan, hak atas informasi, hak atas keinginan memiliki anak, dan hak atas keadilan dan restorasi.

Dalam lapisan pertama, WA diperkosa oleh kakaknya. Hak atas tubuhnya dan bebas dari kekerasan terlanggar. Namun mengapa saya menitikberatkan Negara? Hal ini karena belum ada pendidikan seksualitas yang komprehensif. Seringkali pendidikan seksualitas komprehensif dilihat sebagai dosa. Sekalinya ada pendidikan macam ini, dititikberatkan pada kesehatan reproduksi, seperti kehamilan, IMS, HIV, dll. Padahal, pendidikan seksualitas komprehensif juga mempromosikan nila-nilai penghargaan terhadap tubuh, termasuk tidak memperkosa.

Advertisement

Hal ini mungkin terdengar bodoh, bahwa pendidikan secara umum seharusnya sudah memastikan hal itu. Namun, pendidikan di Indonesia seringkali ditunggangi nilai-nilai yang ada di masyarakat, termasuk nilai patriarkis, seperti bahwa perempuan seharusnya perawan tapi laki-laki tidak.

Pada lapisan kedua, kegagalan terlihat dari WA yang aborsi sendiri dibantu ibu tanpa bantuan medis. Hal ini merupakan aborsi yang tidak aman. Seperti yang diberitakan, WA dibantu ibunya aborsi dengan cara mengurut perut sampai terjadi abortus. Tidak ada bantuan ahli dan keadaan kemungkinan besar di tempat yang tidak memadai secara medis.

Namun, sekali lagi, kesalahan bukan terletak pada WA yang melakukan aborsi tidak aman, namun pada Negara yang sangat membatasi akses ke aborsi. Secara hukum, aborsi hanya diperbolehkan pada kasus di mana keadaan ibu terancam nyawanya atau korban perkosaan. Untuk korban perkosaan, ada batas waktu, yaitu 40 hari kehamilan. Bukan 40 hari dari perkosaan, tapi dari usia kehamilan yang dihitung dari hari pertama terakhir menstruasi. Ini merupakan waktu yang sangat singkat untuk korban perkosaan memilih untuk melakukan aborsi, belum lagi proses yang harus dilaluinya, seperti konseling yang melibatkan tokoh agama.

Fakta ini pada pokoknya membatasi, bahkan melanggar, hak atas tubuh, hak atas keinginan memiliki anak, dan hak atas kesehatan. Hak yang terakhir mungkin terdengar aneh, namun seperti yang telah disebutkan, aborsi yang dilakukan WA merupakan aborsi yang tidak aman. Aborsi tidak aman merupakan salah satu penyebab terbesar kematian ibu, dan sangat berisiko untuk berbagai masalah lainnya.

Lapisan ketiga dan terakhir yang saya akan jelaskan adalah putusan pengadilan. WA pada akhirnya divonis penjara 6 bulan karena melakukan aborsi, sesuai UU Anak. Dalam hal ini, pengadilan memprioritaskan hukuman untuk apa yang Wa lakukan, daripada dirinya sebagai individu yang telah mengalami berbagai hal. Ia telah diperkosa, lalu terpaksa melakukan aborsi secara tidak aman. Daripada diberi restorasi(seperti konseling dll), diperlakukan sebagai korban, ia dikriminalisasi. Haknya atas keadilan dan restorasi terlanggar.

Seperti yang telah disebutkan, berbagai hak WA telah terlanggar. Kasus WA bukan kasus sekali-kali, namun sebuah kewajaran di Indonesia dengan berbagai derajat kemiripan. Wajar bukan berarti seharusnya, ia berarti umum. Fakta bahwa pelanggaran berbagai hak ini umum menunjukkan seberapa besar masalah HKSR untuk remaja di Indonesia, sebuah PR yang besar untuk kita semua.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

CLOSE