Masa Pandemi, Tantangan atau Hambatan Pendidikan?

Pendidikan di Masa Pandemi

Covid-19 hadir tanpa aba-aba dan dapat mengubah semua tatanan bidang kehidupan. Ia muncul dari kota Wuhan di China dan merebak hingga ke penjuru negeri. Bukan hanya kematian yang terlumpuhkan, hampir seluruh ekonomi di dunia mengalami inflasi dan pendidikan berjalan pada tapak digitalisasi. Pandemi ini mengatur sistem pendidikan yang pada umumnya pertemuan tatap muka (luring) bertransformasi ke sistem pembelajaran jarak jauh (daring).

Advertisement

Yang mengharuskan seluruh bagian sivitas akademik berubah dari spidol ke smartphone, papan tulis ke laptop, buku ke pdf, metode ceramah ke metode mengasah dan dunia nyata menjadi di dalam dunia maya. Semua berotasi 180 derajat dari kebiasaan pembelajaran, yang pada umumnya dapat memupuk semangat peserta didik karena sistemnya belajar bersama. Namun sekarang, hak itu harus tetap dijalankan meski beralih ke pembelajaran berbasis ICT (Information Communication Technology) yang merupakan konsep pembelajaran dari komputer dan multimedia.

Di Era Revolusi Industri 4.0, tak dapat dipungkiri semua bidang dilakukan dalam wadah teknologi. Pada konsepnya era ini seluruh pekerjaan menguntungkan nilai efisiensi (penghematan waktu). Karena dari sebuah teknologi, semua orang akan bisa saling bertukar kabar dan data secara singkat tanpa bertemu tatap muka. Namun, inilah tantangan yang akan dihadapi pendidikan terutama stake holder ketiga, yaitu guru.  

Seperti wawancara yang dilakukan oleh CNN Indonesia mengenai “Menyoroti Arah Kebijakan Pendidikan di Masa Pandemi”. Komisioner KPAI, Retno Listyarti mengungkapkan bahwa, “Ada anak-anak yang tidak menerima rapot dan bahkan ada yang tidak tahu apakah mereka naik kelas atau tidak. Karena adanya hambatan komunikasi antara sekolah dengan guru dan siswa. Inilah persoalan di depan mata. Belajar di rumah tentu anak akan ada mengalami kejenuhan. Seharusnya penyederhana kurikulum itu sendiri yang mengumumkan solusinya. Dan fasilitas daring harusnya dibantu. Karena rata-rata negara yang terdampak Covid-19 menggratiskan internet. Agar tidak menimbulkan kesenjangan akses digital”. (Sumber: https://youtu.be/fzmcS8hNPdc)

Advertisement

Sejumlah pendapat publik berasumsi mengenai arah pendidikan yang dianggap bahwa masa pandemi ini adalah hambatan. Tak terkecuali sebagai praktisi pendidikan harus menggulirkan waktu menjadi lebih efektif. Apalagi konsep “merdeka belajar” yang dicetuskan oleh Mendikbud Nadim Makarim, yang telah ada sebelum pandemi dan menekankan untuk lebih bebas dalam melakukan pembelajaran.

Bahwa pendidik harus menyesuaikan revolusi zaman dan menyelaraskan pembelajaran bebas tersebut ke arah kreatifitas yang lebih kompeten. Namun, dibalik penyelarasan itu tak dapat dipungkiri hambatan pendidikan selalu terletak pada realokasi fasilitatif dan anggaran pendidikan yang berdampak pada keberlangsungan proses PJJ (Pembelajaran Jarak Jauh) di masa pandemi.

Advertisement

Pada Webinar (Web Seminar) yang ditayangkan oleh Asumsi.co mengenai Transformasi Kebijakan Pendidikan Indonesia Setelah Pandemi, Prof. Satryo Bodjonegoro (Guru Besar Emeritus ITB) mengatakan, “Konsep merdeka belajar itu timely (pas) untuk digerakkan pada saat ini. Dan kita juga tidak menduga Covid-19 muncul. Tanpa Covid-19 pun, konsep itu harus sudah diterapkan.

Seperti terobosan Pak Nadiem tentang merdeka belajar, yang meminimalkan kerumunan dan meniadakan pertemuan fisik serta belajar di rumah. Memang tampak konservatif, namun menurut saya itu tepat. Karena pada awalnya pendidikan kita ini kaku, dengan adanya itu tampak luwes dan mengutamakan keselamatan juga kesehatan di tengah pandemi ini. Walaupun sifatnya Individual Continuous Learning (Pembelajaran Individu secara Berkelanjutan)”. (Sumber: https://youtu.be/D_2vdU2kXls)

Konsep merdeka belajar memang memiliki suatu ciri khas tersendiri, seperti membebaskan guru dan murid untuk berinovasi serta belajar dengan mandiri dan kreatif. Terobosan itu bersamaan pula dengan adanya guru penggerak, yakni yang mengutamakan murid (student centred learning). Secara tidak langsung, konsep ini sudah layak diterapkan dan bukan hanya sebuah jargon. Namun, jika ditelusuri antara hambatan dan tantangan yang menggerus pandangan publik dengan sikap menyerah ketika disodorkan belajar daring.

Ini bukanlah sebuah hambatan, karena ketika mindset itu terjadi akan adanya stagnasi laju pendidikan. Semua bisa diatasi dan memliki jalan tengahnya jika adanya kolaborasi antara orang tua, guru dan murid sesuai dengan kesanggupan menangani anak yang dirancang dari metode dan strategi belajar daring dan merujuk pada penyederhanaan kurikulum pendidikan.

Bukankah harapan pendidikan adalah orang tua harus terlibat? Dan itu adalah suatu sifat mutlak dalam mempertaruhkan pertumbuhan pengajaran. Orang tua adalah agen sosial utama untuk anak, dinobatkan sebagai orang tua penggerak dalam konsep merdeka belajar. Yaitu melakukan dan mempersembahkan yang terbaik untuk anak. Sebenarnya, titik dari sebuah pendidikan ini bukan hanya dibebankan kepada pemerintah dan guru saja. Melainkan sebuah rumahlah yang menciptakan pendidikan paling baik bagi perkembangan anak untuk mencetak generasi penerus bangsa. Orang tua juga yang menyelaraskan lingkungan tempat anak berkembang agar meminimalisir kemerosotan pendidikan karakter. Karena usia perkembangan paling manjur untuk penerapan perilaku anak wajib dimulai sejak dini.

Nah, antara hambatan dan tantangan pendidikan saat masa pandemi ini tergolong dari sisi publik memandang. Lalu, apakah solusi atas semua permasalahan ini? Seharusnya pemerintah bergerak cepat untuk melakukan realokasi anggaran. Karena inilah letak hambatan yang berperan sebagai pemangku kendali laju resolusi pendidikan di masa pandemi. Yang telah kita benarkan fakta krisis ekonomi menurun, karyawan di PHK, pemotongan gaji dan lainnya. Sehingga para orang tua murid sulit membiayai anak untuk memfasilitasi belajar daring.

Kemudian, pemerintah menyederhanakan kurikulum sesuai dengan provinsi daerah Indonesia. Karena tidak semua daerah memiliki kesamaan dalam meregulasi daya pendidikan. Misalnya, bagi daerah yang tidak bisa mengakses internet bisa dilakukan sistem belajar kelompok kecil antara 3-4 orang dan tentunya menggunakan protokol kesehatan Covid-19.

Guru seperti privat dalam sistem mengajar dan menggunakan metode, strategi serta media yang sesuai dengan potensi wilayah masing-masing. Bagi guru, tanamkan mindset bahwa ini bukanlah sebuah hambatan. Melainkan tantangan zaman dalam proses pendidikan agar guru dapat meningkatkan kompetensinya dalam memanfaatkan yang ada. Apalagi sistem daring seperti ini tentunya banyak kekhawatiran mengenai penggunaan gawai bagi anak. Pemerintah juga dapat memberlakukan pelatihan parenting terhadap orang tua agar membimbing anaknya secara edukatif. Atau bisa pula menuntun orang tua mempelajari kendali literasi digital, agar dapat menyesuaikan keselarasan zaman.

*Penulis adalah Mahasiswi UINSU dan Pegiat Literasi di FLP Medan

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Seorang mahasiswi UINSU dan penulis pemula

CLOSE