Sejak adanya pandemi Covid-19 yang berlanjut dengan perubahan kelaziman atau New Normal, banyak kegiatan masyarakat yang harus di tata ulang, atau bahkan tertunda. Salah satunya adalah pernikahan. Banyak calon mempelai yang menunda rencana pernikahannya karena kondisi dan situasi saat ini berbeda dengan yang mereka harapkan.
Tetapi ada pula yang tetap menyelenggarakan pernikahan. Tentu dengan konsep dan penyelenggaraan yang berubah total dari rencana semula. Pernikahan yang tadinya diharapkan akan dihadiri sahabat serta kerabat dekat maupun jauh yang tinggal di luar kota, tidak bisa dilakukan karena bepergian ke luar kota sangat dibatasi.
Demikian pula pesta yang direncanakan terselenggara dengan mewah batal dilakukan karena adanya larangan orang berkumpul dalam jumlah banyak. Alhasil, sewa gedung, catering, rias pengantin, dekorasi dan semua perangkat yang biasanya mengiringi pernak pernik pernikahan dibatalkan. Pernikahan yang sudah direncanakan jauh hari bahkan bulan, diatur ulang dan diselenggarakan dengan prosesi yang lebih sederhana.
Bahkan beberapa pasangan menyelenggarakan pernikahan dengan memanfaatkan kemajuan teknologi dengan menyiarkan prosesi pernikahan mereka secara langsung kepada kerabat yang tinggal di luar kota. Juga teman-teman yang terpaksa tidak bisa diundang.
Karena hanya dihadiri oleh kerabat dekat dan beberapa sahabat, maka prosesi pernikahan menjadi lebih khidmat. Kesakralan lebih bisa dirasakan oleh mempelai maupun tamu undangan yang hadir. Interaksi antara mempelai dan tamu undangan menjadi lebih intens. Sehingga suasana pesta pernikahan menjadi lebih hangat dan akrab.
***
Sebelum masa pandemi Covid 19, pernikahan biasanya diselenggarakan dengan mewah. Prosesinya panjang dan melibatkan semua anggota keluarga dari kedua mempelai. Setiap prosesi berlangsung khidmat, sakral dan memiliki simbol dan makna yang menggambarkan keluhuran budaya.
Belum lagi acara resepsi yang digelar pada hari pernikahan. Tuan rumah akan merayakan acara pernikahan dengan pesta yang meriah. Semakin kaya, atau semakin tinggi jabatan orang tua mempelai, maka resepsi pernikahan dipastikan semakin mewah. Tamu undangan pun semakin banyak.
Undangan pernikahan yang dikirim kepada kerabat atau teman adalah simbol pengakuan akan kedekatan hubungan kekeluargaan atau pertemanan. Sekaligus penegasan eksistensi bahwa keluarga pengantin memiliki kolega yang terpandang serta pergaulan yang luas.
Banyak pertimbangan yang sangat diperhatikan dalam menentukan siapa tamu yang akan diundang. Beberapa orang mungkin kurang berkenan bahkan merasa tersinggung bila tidak diundang. Di sisi lain tuan rumah juga akan mempertimbangkan apakah setiap tamu yang diundang bersedia secara ikhlas untuk menghadiri pernikahan yang diselenggarakan. Karena setiap undangan memiliki konsekuensi tersendiri, yaitu bingkisan atau uang kasih sayang yang akan dihadiahkan kepada mempelai.
Tamu undangan berasal dari keluarga dekat, keluarga jauh, atau keluarga jauh banget. Juga berasal dari teman-teman kedua mempelai, mulai dari teman SD sampai teman kuliah, teman kerja, teman main, teman nongki, teman medsos, teman baru kenal, dan masih banyak lagi. Tidak ketinggalan teman dan kolega dari orang tua mempelai. Seperti teman kerja, teman klub olah raga, teman arisan, teman ghibah, teman paguyuban, teman mancing, teman ketemu di pasar dan lain-lain. Juga tetangga kiri kanan, satu dusun sampai sekelurahan. Jadilah jumlahnya ribuan.
Apalagi jika orang tua yang punya hajatan adalah pejabat di daerah. Maka bisa dipastikan dari pimpinan daerah sampai tukang kebun di kantornya akan mendapat undangan. Prosesi pernikahan sudah menjadi alat mendongkrak prestise, dan eksistensi akan status sosial yang punya hajatan.
Durasi resepsi biasanya hanya sekitar 3-4 jam sedangkan tamu undangan mencapai ribuan. Maka seringkali para tamu tidak memiliki cukup waktu untuk sekedar menyampaikan doa dan turut berbahagia.
Resepsi yang tadinya bertujuan untuk mempererat persaudaraan dan pertemanan menjadi kurang bermakna. Sering kali para tamu datang ke resepsi pernikahan hanya sekedar memenuhi “kewajiban” sebagai yang diundang. Bersalaman sekedarnya dengan tuan rumah dan mempelai tanpa punya waktu cukup untuk berinteraksi yang semestinya. Gelar acara pernikahan sudah bergeser dari yang seharusnya bersifat sakral dan khidmat menjadi acara seremonial belaka.
Bandingkan dengan acara pernikahan bangsa Barat yang biasanya hanya dihadiri puluhan orang dari keluarga dan sahabat dekat. Suasana sakral dan khidmat tetap terjaga sekaligus kedekatan hubungan yang hangat antara mempelai bersama keluarga dan sahabat dekat sangat terasa.
Rangkaian acara yang berlangsung berhari-hari dan melibatkan seluruh anggota keluarga dari kedua mempelai tentu membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Seperti busana pengantin, baju seragam bagi orang tua mempelai, pendamping pengantin dan among tamu, sewa gedung, catering, dekorasi, kartu undangan, souvenir, dokumentasi, dan lain-lain. Bisa mencapai ratusan juta sampai milyaran rupiah.
Untuk keluarga yang berkecukupan, tentu biaya tidak menjadi kendala. Dana dan semua perlengkapannya telah dipersiapkan jauh hari sebelumnya. Penyelenggaraan pernikahan yang mewah merupakan penegasan eksistensi status sosial yang tinggi.
Lain kisah bagi masyarakat kelas menengah ke bawah. Bagi mereka, menyelenggarakan pesta pernikahan adalah upaya untuk mendapatkan pengakuan dan prestise. Keterbatasan seringkali diabaikan. Segala daya dan upaya akan diusahakan agar pernikahan berjalan semeriah mungkin.
Pernikahan yang sederhana biasanya akan mengundang cibiran dan ghibahan. Maka jika perlu pernikahan diselenggarakan dengan uang pinjaman. Dan sayangnya hal ini sudah menjadi kelaziman bagi masyarakat kita.
***
Pernikahan pada hakekatnya adalah urusan private bagi mempelai dan keluarganya. Rangkaian prosesi dan ritual yang ada di dalamnya adalah adat dan budaya yang menggambarkan keluhuran dari pernikahan itu sendiri.
Dengan kondisi pandemi saat ini, berbagai kegiatan masyarakat dibatasi. Menggelar pernikahan secara mewah dengan mengundang banyak tamu hampir tidak mungkin dilakukan. Di sisi lain, inilah saatnya mengembalikan tradisi pernikahan kepada ruhnya semula, yang sakral, khidmat dan penuh makna.
Dengan menggelar pernikahan dalam skala yang lebih kecil tentu banyak hal bisa dihemat. Waktu, tenaga, pikiran dan terutama biaya. Dana yang tadinya dialokasikan untuk penyelenggaraan pernikahan yang mewah bisa dimanfaatkan untuk keperluan yang jauh lebih penting. Antara lain untuk dana cadangan selama masa pandemi, menyiapkan tempat tinggal bagi keluarga yang baru dibangun, menabung untuk dana kesehatan, atau kegiatan produktif lain.
Tentu tidak mudah untuk mengubah mindset yang sudah mengakar di masyarakat. Dibutuhkan keberanian untuk memulai perubahan. Generasi sekarang harus lebih cerdas dan bijak dalam memandang permasalahan ini. Dan perlu mengedepankan pertimbangan-pertimbangan rasional dalam menyeimbangkan antara hasrat dan kemampuan.
Dampak positif lainnya adalah, mempelai dapat lebih berkonsentrasi mempersiapkan diri pada kehidupan pasca hari pernikahan. Kehidupan yang sebenarnya dalam membentuk sebuah keluarga baru. Sebuah keluarga yang siap dengan tanggung jawabnya menyambut generasi baru yang akan lahir.
Di era New Normal sekarang ini, waktunya kita berbenah diri. Pernikahan adalah ranah privat yang sakral bagi pelakunya. Tidak elok jika prosesi yang sarat makna dan luhur ini dicampuradukkan dengan perilaku berlebihan dengan menggelar resepsi pernikahan yang melampaui batas kemampuan. Saat inilah momentum untuk mereset ulang dengan mengembalikan tradisi pernikahan kepada ruhnya semula.
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”