#DiIndonesiaAja-Menapaki Situs Purbakala di Gunung Penanggungan

Situs purbakala

Candi sebagai situs purbakala sering kali dianggap sebagai hal yang hanya akan ditemui lewat jalur-jalur yang dianggap membosankan seperti pelajaran sejarah dan sejenisnya, padahal candi juga dapat ditapaki dengan cara yang menyenangkan (sekaligus sebagai cara yang sedang hits saat ini), yakni mendaki gunung.

Advertisement

Satu di antara gunung yang menyajikan panorama candi yang mengagumkan adalah Gunung Penanggungan. Gunung ini memiliki ketinggian sebesar 1.653 meter di atas permukaan laut dan berlokasi di Kabupaten Pasuruan dan Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur. Karena menyimpan beberapa situs purbakala, Gunung Penanggungan dianggap sebagai satu di antara gunung suci di tanah Jawa.

Mendaki Gunung Penanggungan dapat dilakukan dari pelbagai jalur, seperti via Tamiajeng; Jolotundo; Kunjorowesi; Wonosunyo; Gajah Mungkur; atau Kedungudi. Jalur Kedungudi (sebagaimana jalur Jolotundo) dikenal dengan sebutan pendakian situs kuno, karena di sepanjang jalur akan ditemui beberapa candi. Mungkin, sudah saatnya memasukkan pendakian Gunung Penanggungan dapat dimasukkan ke dalam indikator kurikulum bidang studi sejarah (hanya sekadar saran, sih), agar stigma tentang pelajaran sejarah yang membosankan bisa ‘sedikit’ bergeser menjadi pelajaran yang dirindukan.

Pendakian Berwawasan Kesejarahan

Advertisement

Mendaki Gunung Penanggungan via jalur Kedungudi akan dinanti oleh lima candi secara berurutan, yakni Candi Carik di pertemuan pertama; Candi Lurah di pertemuan kedua; Candi Shiwa di pertemuan ketiga; Candi Guru di pertemuan keempat; dan Candi Wishnu di pertemuan kelima. Di setiap candi yang ditemui, terdapat plakat nama pada masing-masing candi agar para pendaki mudah mengingat setiap nama dari masing-masing candi.

Pendakian Penanggungan via Kedungudi dapat dikatakan sebagai pendakian berwawasan kesejarahan, karena para pendakinya dapat menikmati suasana khas pegunungan sekaligus belajar materi kesejarahan tentang bentuk-bentuk candi, nama-nama candi berdasarkan nama-nama dewa, dan kegunaan candi di area wilayah Mojokerto (Mojopahit) yang masih digunakan untuk pemujaan dan doa oleh masyarakat sekitar hingga saat ini.

Advertisement

Untuk pembelajaran sejarah tingkat lanjut (tingkatan yang lebih rumit), mendaki Gunung Penanggungan via Kedungudi dapat juga digunakan untuk mengamati struktur bebatuan yang digunakan untuk menyusun candi di Penanggungan, sekaligus membedakan antara bebatuan yang masih asli zaman kerajaan dan bebatuan baru yang digunakan oleh mayarakat sekitar untuk menambal beberapa bagian candi agar tetap tampak sempurna dan ‘enak’ dilihat.

Tak hanya struktur bebatuan, keberadaan relief di antara candi-candi yang ditemui juga dapat dijadikan penelitian yang menarik, apalagi jika dikaitkan dengan penamaan candi yang memakai nama-nama dewa seperti Shiwa dan Wishnu yang akan memunculkan ‘dugaan’ nama-nama dewa yang lain. Pada dasarnya, memang benda-benda yang terlihat ‘mati’ sejatinya adalah benda-benda yang ‘lebih hidup’ dari makhluk yang jelas-jelas sudah hidup.

Selfie sebagai Ironi Pendaki Masa Kini

Kala perjalanan telah sampai di ujung gunung, tiba-tiba hati mendadak murung. Puncak sudah seyogianya menjadi tempat para manusia merasa kecil, karena di sini manusia tak lebih dari sekadar sekumpulan semut yang berbaris rapi di atas kain panjang nan lebar berwarna putih. Puncak sudah selaiknya menjadi tempat manusia merasa bukan apa-apa, karena nyatanya ia hanyalah sebutir debu yang beterbangan tak karuan hanya gegara sebuah tiupan ringan.

Namun, yang terjadi justru sangat ironi. Manusia justru sibuk merasa bangga dengan membusungkan dada di hadapan kamera. Tafakkur hanya menjadi sekadar wacana untuk bualan belaka di hadapan para wanita. Kebanyakan tertawa cekikikan sembari rangkul-rangkulan daripada tertunduk takzim merenungi keagungan ciptaan Tuhan. Kebanyakan saling bersaut-sautan dengan istilah kekinian yang bernama selfie.

Baiklah, sepertinya di masa kini, satu-satunya tujuan kebanyakan pendaki (penggunaan kata ‘kebanyakan’ karena masih ada harapan tentang satu-dua pendaki yang tidak termasuk dalam kategori ‘kebanyakan’) adalah menjunjung tinggi ‘bahasa selfie’.

Akhir kata, sebagaimana yang disebutkan oleh nasihat bijak pendidikan: Setiap tempat adalah sekolah, maka gunung pun juga layak disebut sebagai sekolah.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

CLOSE