Menguak Kekurangan dan Dampak Negatif yang Muncul dari Media Sosial bagi Para Penggunanya

Tidak dapat dipungkiri bahwa teknologi digital dengan segudang fitur dan aplikasi berbasis media sosial memberikan kemudahan bagi manusia dalam mengkampanyekan suatu gerakan. Pada tahun 2020, #BlackLivesMatter memuncaki trend disetiap teknologi digital dan media sosial selama beberapa hari untuk menuntut keadilan orang-orang kulit hitam karena kasus kematian Geogre Floyd. 

Advertisement

Selain itu, aksi masa yang memboikot tersangka pedofilia, SJ, dari seluruh stasiun televisi setelah bebas dari penjara juga memuncaki trend disetiap media sosial dan membuat petisi ‘Boikot SJ Mantan Narapidana Pedofilia, Tampil di Televisi Nasional dan Youtube’ dengan petikan dalam petisi bernarasi, jangan biarkan mantan narapidana pencabulan anak usia dini (pedofilia) masih berlalu-lalang dengan bahagia di dunia hiburan, sementara korbannya masih terus merasakan trauma.

Sekilas tagar yang trendy tersebut menggambarkan solidaritas kolektif guna memberikan rasa aman bagi setiap masyarakat. Di satu sisi memang benar menghadirkan kesolidaritasan kolektif, di sisi lain, para pengguna menjadi seorang yang individualis. Tidak bisa dipungkiri bahwa solidaritas tersebut seringkali muncul ketika ada peritiwa besar terjadi, dalam keseharian para pengguna disulap menjadi orang yang anti sosial, bahkan tak jarang menghakimi orang lain. 

Banyak pengguna madia sosial mengunggah keluhannya bahwa kesolidaritasan komunal tersebut hanya akan muncul bagi seseorang yang memiliki privilege tertentu selebritis, seseorang yang memiliki ekonomi di atas rata-rata, atau seseorang yang dianggap ­good looking secara penampilan.

Advertisement

Sejumlah penelitian menunjukan keironisan teknologi digital yang mengaburkan perhatian para penggunanya dalam melihat sebuah peristiwa tertentu, saat terjadi kecelakaan lalu lintas atau kebakaran, misalnya, akan kita temui segerombol manusia yang jumlahnya tidak sedikit mengabadikan peristiwa tersebut dengan handphone dan mengunggahnya ke sosial media. Hal tersebut menandakan bahwa manusia mengaktualisasinkan dirinya pada teknologi yang mereka genggam. Kejadian tersebut secara gamblang membuktikan bahwa semangat gotong royong masyarakat semakin mendekati jurang degradasi dan berdampak pada moral dan etika sebagai manusia, makhluk yang berpikir.

Weil, filsuf Prancis abad ke-20 mengatakan bahwa, attention is the rarest and purest form of generosity. Weil meyakini bahwa untuk memberikan perhatian pada makhluk lain dalam kerumitan, kita mesti menyingkirkan diri kita sendiri. Ia menyebutnya sebagai decreation, lebih lanjut ia mengatakan bahwa, attention consist of suspending our thought, leaving it detached, empty … ready to receive in its naked truth the object  that is to penetrat it. Pemikiran ini tentu sangat berhubungan dengan masyarakat Indonesia yang mengusung gaya hidup budaya Timur, bagaimana pentingnya menurunkan ego dan mampu menerima mahkluk lain di luar diri kita.

Advertisement

Namun konsep tersebut menerima bantahan menurut peneliti moral, Beverley McGuire, sejarawan agama University of North Caralina Wilmington bahwa, konsep decreation berlawanan dengan budaya massa. Ia mengatakan bahwa, kehadian sosial madia (facebook, instagram, twitter, dan lainnya) menggambarkan sebuah kontruksi identitas. Pengguna media sosial tersebut membangun versi aspirasional diri mereka sendiri dengan menambahkan unggahan-unggahan demi mengejar satu label selebriti pada diri mereka. Selain itu, media sosial secara tidak langsung membentuk suatu persaingan antar penggunanya, mendorong para penggunanya untuk membandikan dirinya dengan orang lain. 

Persaingan dan perbandingan tersebut mengarah pada satu kesimpulan siapa yang lebih baik dan buruk antar penggunanya dengan penilaian yang dilihat dari seberapa banyak pengguna lain yang menyukai dan komentar-komentar positif pada unggahan tersebut. Para pengguna media sosial akan memamerkan pencapaian-pencapaian meraka demi meraup suka dan komentar positif, dan yang lebih ironinya lagi, mereka melakukan itu hanya untuk konten unggahannya. Secara tidak sadar, para pengguna media sosial terus menghamba diri dengan suka, komentar, dan pengikut yang terus bertambah.

Persaingan di atas tidak hanya menimbulkan pengkategorian atau strata hierarki dari para penggunanya, tetapi juga mengatur perhatian atau minat bagi para penggunanya. Dari sejumlah aplikasi sosial media, atau perangkat internet popular, menggunakan sistem algoritma untuk mengatur hal-hal yang menjadi perhatian pengunanya. Pada fitur instagram misalnya, algoritma tersebut bisa dilihat secara gamblang pada eksplor yang tersedia sebelum kita mencari akun pengguna lain. Dalam fitur itu akan menampilkan unggahan-unggahan mengenail hal-hal yang sering pengguna lihat, sehingga perhatian atau minat pengguna hanya akan berkutat pada apa yang menurutnya familiar. Seolah system yang digunakan lebih mengenali penggunanya dari pada pengguna itu sendiri.

Teknologi digital tidak hanya tentang eksistensi pengguna yang menghamba diri dan algoritmanya yang sangat mengatur sehingga mampu mengalihkan perhatian penggunanya, teknologi digital juga mengalihkan perhatian kita pada infomasi yang terpisah, sehingga berita yang anda lihat akan sama sekali berbeda dengan kebenaran yang ada. Hal tersebut terbukti pada saat Pemilu 2019, di mana kubu Prabowo Subianto yang mengklaim kemenangan sebelum hasil penghitungan suara selesai. Ketika kubu mereka kalah, mereka menganggap kekalahan tersebut adalah konspirasi yang dibuat dari kubu lawannya. Keruwetan ini disebut sebagai era post-truth, di mana kebohongan menjadi sebuah kebenaran mutlak. Kekeliruan informasi ini membuktikan dampak serta kekurangan teknologi digital dalam perkembangannya.

Sigal Samuel, reporter senior Vox’s Future Perfect, mengatakan dalam artikelnya berjudul It’s Hard to be a Moral Person. Technology is Making it Harder bahwa, hal yang mampu kita lakukan adalah meregulasi secara mandiri teknologi digital. Menurutnya, kita harus mulai menyadari bahwa tidak mungkin mengubah regulasi teknologi digital kecuali hukum yang memaksa merubahnya, atau menjadikan teknologi digital tersebut sebagai sesuatu yang eksklusif secara finansial maupun reputasi. Sejarawan Tim Wu dalam bukunya berjudul The Attention Merchants mencatat, we’ve got reason to be hopeful about a regulatory approach: in the past, when people felt a new invention was getting particulary distracting, the launched countermovements that successfully curtailed it.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

CLOSE