[CERPEN] Tentang Menunggu dan Belajar Mendewasa, Nikmati Saja!

Ini cerita tentang menunggu. Mengenai aku yang baru saja ditinggalkan tanpa jejak. Padahal sudah menunggu tanpa jaminan jejak.

Ini cerita tentang menunggu. Kamu boleh beranjak pergi jika sudah tahu, bahwa arti dari menunggumu sebenarnya adalah kesia-siaan. Kamu juga boleh menetap jika ternyata setelah membaca ini, kamu merasa tak sendiri mengalami patah seperti itu. Bukan,,, ini bukan tentang pengumuman besar-besaran.

Mengenai aku yang baru saja ditinggalkan tanpa jejak. Padahal sudah menunggu tanpa jaminan jejak. Lalu akhirnya dijawab sesak. Semua pertahanan seketika koyak. Atas semua itu, apa mungkin aku yang tak layak?

Setelah membaca, kamu mungkin berpikir aku sedang terpuruk dengan harapan-harapan yang sudah kubangun. Lalu dijatuhkan tiba-tiba tanpa aba-aba dan ancang-ancang. Dan kini sedang mencari-cari jalan untuk keluar dari labirin yang tak nyata. Kamu tak perlu menanyakannya lagi! Sebab semua yang di depanku kini berantakan. Aku berusaha bangun dari mimpi-mimpi ini. Namun ternyata ini hal nyata. Geezzz.. Aku bisa apa? Kali ini sedang meraba-raba gundukan mana yang akan menjatuhkanku lagi. Ataupun jika beruntung kutemukan satu celah untuk memulai hal baru. Mengakhiri semua kekacauan ini.

Masih terbayang hari itu. Beberapa bulan lalu kita dapat tertawa hanya dengan saling menatap. Penat kerja akan hilang setelah kita menghabiskan hari libur bersama. Masih kuingat di bawah langit senja Balikpapan. Banyak janji yang kita rapikan dalam susunan memori kita bersama-sama. Saking rapinya, aku kesulitan untuk membongkarnya sekarang. Bahkan hanya untuk sekedar mengacaubalaukan urutannya saja sulit. Apalagi sekarang berusaha menghapusnya seorang diri.

Kali pertama kamu membawaku masuk di dunia-dunia mesinmu. Padahal aku setiap hari bergelut dengan dunia kesehatan manusia. Ia… Kita dipertemukan dari perbedaan. Kau  tahu… Awalnya aku sangat bahagia kita memutuskan bersama karena hal itu. Sebelum kutahu pada akhirnya, perbedaan adalah akar permasalahan mengapa kita tak berujung disatu titik yang sama sekarang.

Hari-hari setelah idul fitri. Tahun ini seharusnya menjadi penantian terbahagiaku tiada tara. Kau suruh aku menunggu. Kamu bilang ingin menghabiskan waktu denganku ke jenjang yang lebih serius. Hari baik benar-benar kudapatkan. Pikirku saat itu… Kuberbenah secepat kau mengikrarkan janji pada orang tuaku. Kudekap erat janji suci yang kau sodorkan. Saking bahagianya aku terus membawanya dalam doa. Takutnya impian ini bisa saja hanya sekedar angan.

Seperti pasangan pada umumnya kita pun mempersiapkan hal yang sama. Kau tahu! Waktu-waktu yang kita habiskan membicarakan rencana itu adalah kenangan paling manis sejauh ini. Kau bilang: “buat seperti yang kamu senangi saja”. Aku semakin yakin ini bukan hanya khayalan. Saat-saat dimana kamu membantu menyusun kata yang akan kusampaikan pada orangtuamu adalah saat paling menegangkan dihidupku. Bagaimana kamu tertawa geli melihatku yang tegang dan lupa cara tersenyum. Tetapi sayangnya setelah semua terjadi, kutahu itu komunikasi terakhirku bersama orangtua yang kukira akan menjadi orangtuaku pula.

Pagi itu rintik hujan membangunkan segala harapan-harapanku dengan teduhnya. Hari itupun tiba. Walau sebenarnya mulai ragu merangkai hari-hari ke depan dengan keinginan besar. Satu hal yang kutunggu berhari-hari adalah kabarmu. Seperti merasakan penantian dua kali lipat. Pertama kehadiran orangtuamu ke rumahku. Kedua adalah pesanmu yang tiba-tiba hilang. Semua rencana yang sudah kususun terpaksa kuhentikan. Tampaknya sistem penyelamatan dalam otakku bekerja dengan sigap. Entahlah bagaimana cara kerja perasaan. Ia selalu punya radar untuk mampu menerawang bahkan sebelum menemukan fakta. Dan beberapa kali sering tepat sasaran.

Bak sinetron yang habis dipenghujung waktu. Hubungan ini tergantung begitu saja. Penantianku semakin panjang rasanya. Hatiku habis diremas sampai mengerucut. Telepon orangtuaku diabaikan sama seperti pesan-pesanku. Awalnya kupikir kamu takut menghadapi hari bahagia kita yang kian dekat.

Lalu perlahan harapan positif itu luruh dan berubah menjadi kehilangan. Sakit itu mulai menggerogoti seluruh batinku saat sinyal kepergianmu perlahan muncul kepermukaan. Aku harus kuat! Kataku saat itu. Kuterka-terka akan datang hari dimana aku dicampakkan sementara aku berlagak biasa seolah kepatahan ini biasa-biasa saja.

Dua minggu terlewat, tiba-tiba pesanmu menjadi pemberitahuan paling pertama yang kubuka di layar handphone. Tanpa permasalahan apa-apa, kamu mengirimkan foto wanita lain. Percayalah saat itu aku ingin melemparkan telepon genggam yang memunculkan wajah kalian berdua. Kuingat jelas kau bilang akan menikahinya. Tetapi lebih jelas kuingat kau pernah berjanji memberikan kado ulangtahun untukku di Bulan September.

Benarlah ini terjadi. Awalnya ingin menjadikanku labuhan terakhir nyatanya menjadikanku permainan terakhir. Sekarang kamu mengakhiri pilihan di dermaga yang ditunjuk oleh orang tuamu. Satu pertanyaanku: Mengapa kamu memperjuangkanku sejak awal jika pada akhirnya tidak membawaku bersama sampai akhir?

Ketika kamu membaca ini, kuharap kejadian itu terhapus dari memorimu. Kejadian saat aku berkali-kali meminta penjelasan, sementara kamu hanya bilang “Kita sudah selesai.” Oh rasanya sumpah kutuk serapah tak sanggup mengatasi  kemarahanku saat itu. Serasa saraf-saraf kesadaranku banyak yang putus setelah itu. Aku bahkan bisa menangis saat rebahan sendirian. Bahkan kuminta lembur untuk terus menyibukkan diri agar tak teringat lagi. 

Tetapi sudahlah. Semua telah terjadi. Hari-hari memang masih terasa berat. Bahkan saat pagi datang kuhanya bertanya mengapa mataku masih saja sembap. Mimpi buruk ini setidaknya membuatku lebih tegar dan belajar mengiklaskan.

Tidak ada yang perlu dipaksakan. Setidaknya aku belajar untuk menunggu hal yang pasti-pasti saja. Biar ujungnya bukan kekosongan lagi J. Ini hanya tentang harapan yang patah dalam penantian panjang. Kepergian memang menyakitkan tetapi setidaknya kita berlajar menjadi lebih baik untuk dipertemukan dengan manusia yang tepat. Kuharap kau bahagia! Sebanyak orang-orang menyemangatiku untuk kembali tersenyum lagi.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Anak 93. Suka baca, suka kata, suka nulis, suka kamu :)