[CERPEN] Menunggu Sepasang Bola Mata

Katanya, sudah seharusnya Tuhan baik karena ia selalu meminta hal yang baik

Pagi ini Delila belajar bersama ibu di depan teras rumah. Teras reot dari kayu tua, di depan rumah bambu sederhana yang sebagian permukaan kulitnya mengelupas dimakan rayap dan usia. Ia tahu ibunya sedang membuka halaman demi halaman sebuah buku. Kemarin sore ibu bercerita jika buku itu didapatnya sewaktu berjualan pecel keliling di desa tetangga. 

Advertisement

Dibacakan nama pemilik si buku pada Delia, “Eka”. Kata Ibu, buku itu pasti akan dikembalikannya jika saja ia tahu alamat rumahnya. Untuk sementara ibu berniat menyimpannya untuk mendongengi Delila yang gemar mendengar cerita.

“Warna dan kertasnya bagus. Ini pasti harganya mahal, Delila.” ujar ibu sambil menuntun tanganku mengusap buku di tangannya. “Pasti kamu akan suka.”

“Dongengi aku, bu.” rengek Delila.

Advertisement

Kemudian ibu mulai membacakan cerita tentang Jaka Tarub dan tujuh bidadari pembuat pelangi. Belum lagi usai ibu bercerita, Delila sudah memotong dengan kata tanya.

“Pelangi itu seperti apa, bu?” tanya Delila sembari memandang tak kemana-mana.

Advertisement

Delila mendengar suara ibu menutup buku lalu beringsut merapat padanya.

“Pelangi itu serupa jembatan dari gabungan 7 warna berbeda, Delila. Konon katanya menghubungkan dua dunia berbeda, langit dan bumi. Indah sekali.”

Delila kebingungan mengartikan maksud ibunya. Dalam hatinya penuh tanda Tanya, keindahan seperti apa yang dimaksud? Tak pernah sekalipun ia tahu warna selain hitam sepanjang tujuh tahun silam. Sejak ia terlahir di bidan dekat rumah. Saat itu ayah Delila masih sehat walafiat. Delia pernah merasai digendong oleh tangan ayahnya, hanya saja maki hari ia lupa rasanya. Ayahnya sering menggendong Delila ketika terbangun di pagi hari sembari menjerit ketakutan dan menjawab pertanyaannya, “kenapa dunia tidak pernah terang?

“Gelap itu lebih indah dari warna-warni dunia yang sesungguhnya, Delila.” ucap bapak sembari memeluk Delila seerat mungkin.

Delila tak pernah percaya kata-kata ayahnya. Bahkan sampai ia berumur enam dan berhenti menangis.Hingga ayahnya tiada lagi mendekapnya. Kata ibu, ayah Delila wafat karena malaria.  

Delila menangis sejadi-jadinya di makam ayahnya yang belum lagi kering itu. Hawa kengerian makam di sore hari tak juga membuatnya angkat kaki. Sampai akhirnya ia digendong paksa oleh pak RT atas permintaan ibunya, dipulangkan ke rumah. Sejak itu ia bilang tuhan tidak sayang padanya. Tuhan tidak membiarkannya memandang wajah ayahnya sama sekali. Ibu yang tak pernah terdengar isak tangisnya mencoba menenangkan Delila. Diucapkannya kata yang lembut dan lirih di samping telinga Delila.

“Tuhan selalu baik jika kau meminta yang baik-baik pula.” ujar ibu.

Maka, mulailah Delila tekun berdoa. Permintaannya tak muluk-muluk, seperti kebanyakan anak-anak seusianya yang meminta boneka atau mobil tamiya. Ia hanya ingin bisa melihat wajah ibunya. Ibu yang dibayangkannya seperti bidadari cantik tiada dua dalam legenda Jaka Tarub. Atau mungkin ibu serupa kupu-kupu bersayap yang terbang kian kemari mencari makan dan cerita-cerita untuknya. Hanya Delila dan tuhan yang tahu seperti apa bidadari dan kupu-kupu yang dimaksudkannya.

Setiap ibunya tak mendongeng, berkeliling selama beberapa jam untuk berjualan pecel, Delila selalu khusuk berdoa. Tak pernah barang sekali ia lelah dan menyerah. Bahkan di tahun kedelapan tanpa jawaban dari tuhan. Ia terlanjur mewarisi ketekunan dan keteguhan sang ibu yang sangat dicintainya.

“Ijinkan aku bisa melihat ibuku setiap saat, Tuhan yang Maha baik.”

***

Barulah keajaiban datang dua tahun setelahnya. Sekelompok orang datang bersama ibunya ke gubug reot mereka. Delila tahu dari suara majemuk mereka, tetapi tak tahu persis berapa jumlahnya. Ia mencuri dengar dari kamar yang hanya bersekat gorden kain tipis dengan ruang tamu. Mereka berasal dari yayasan sosial di pusat kota yang ingin membantu biaya operasi mata Delila. 

Delila menangis tertahan mensyukuri kemujurannya. Ibunya memang tak pernah berbohong. Tuhan itu baik, jika ia meminta yang baik-baik. Itulah pertama kalinya Delila mendengar suara tangis ibunya pecah. Ibu pasti terlampau bahagia aku bisa segera melihatnya.

Keesokan harinya Delila diantar ibu, Pak RT dan perwakilan yayasan untuk memeriksakan kondisi matanya ke rumah sakit di pusat kota.

“Kenapa tempatnya jauh sekali, bu?” tanya Delila kepada ibunya. “Nggak bisa di dekat rumah saja?”

Ibu mengelus rambut Delila yang kini sudah memanjang sebahu, “Di kota lebih lengkap, Nak. Dokternya lebih pandai.”

Lagi-lagi ibu benar, Dokter di sana pandai juga ramah. Ia diperkenalkan pada berbagai alat yang dipakai untuk mengecek kondisi mata Delila. Slit Lamp, oftamoskop, dan alat lainnya yang tak pernah ia kenal sebelumnya di puskesmas dekat rumah.

“Dokter di sini juga baik, Bu. Mereka bilang aku akan segera bisa operasi dalam dua hari lagi.” ujar Delila dengan bungahnya. “Saat yang kutunggu akan tiba, aku akan bertemu ibu.”

Terkembang senyum lebar di bibir tipis Delila. Sebulan lagi ia akan melihat wajah ibunya. Ia tak sabar menunggu untuk memastikan, apakah ibunya serupa bidadari atau kupu-kupu?

Sejak itu Delila tak pernah berhenti sedetikpun membicarakan rencana setelah operasi matanya nanti, bahkan setelah ia kembali ke rumah sebelum karantina operasi cangkok mata. Katanya, pertama-tama ia pasti akan melihat ibu, lalu ia akan mencari kupu-kupu dan bidadari untuk membandingkan kecantikannya dengan Ibu. Belum juga membuktikan, ia sudah yakin bahwa ibunya yang paling cantik di atara ketiganya. 

Ditambahkannya dalam hati, ia ingin membuktikan kebohongan almarhum ayahnya. Dunia berwarna lebih indah dari yang gelap gulita. Tapi, tak sampai hati diungkapkan keraguannya itu pada sang Ibu. Takut ibu menangis lagi teringat ayahnya dan tak lagi cantik saat diliat Delila.

***

Satu hari sebelum jadwal operasi, sekelompok orang datang ke rumah Delila lagi. Kali ini membawa berita yang tidak menyenangkan hati. Operasi Delila terancam gagal jika hingga lusa dokter masih tak menemukan donor mata. Bak piring kaca yang terbanting di atas lantai, seperti itu hancurnya hati Delila dan ibunya. Seketika dan berkeping-keping. Sekuat tenaga ibu memeluk Delila yang meraung-raung pada lantai ruang tamu sempit yang makin sesak akan kesedihan mereka. 

Itu kali pertama Delila menepis tangan ibu dan memukulkan tangannya membabi buta ke segala arah. Delila mengamuk tanpa jeda. Sekelompok orang dari yayasan dan ibu menyingkir jauh, menunggu hingga amarah Delila runtuh. Baru setelah Delila sedikit tenang salah satu orang yayasan berkata,

“Delila pasti bisa operasi. Kami akan bantu carikan donor secepatnya” ujarnya. “Nanti sore Delila tetap kami antar menginap ke rumah sakit. Jaga-jaga, siapa tahu kami dapat donornya.”

Sekuat hati ia mencoba menepis kesedihannya dan kembali percaya bahwa operasi matanya akan berjalan lancar. Namun terlanjur, keraguannya pada Tuhan menjadikannya arogan. Ia mulai mendikte. Katanya, sudah seharusnya Tuhan baik karena ia selalu meminta hal yang baik untuk kesembuhan matanya. Hanya matanya, tiada lain.

***

Di suatu pagi Delila mampu membuka mata, dikerjap-kerjapkannya mata barunya yang asing. Satu persatu warna dan bentuk tampak, tapi bukan yang paling ingin dilihatnya untuk pertama kali. Gelisah ia mencari-cari ibunya. Masih marahkah ia pada Delila karena telah mengamuk sebulan lalu? Rasa-rasanya ibu tak pernah semarah ini kepadanya selama 17 tahun masa hidupnya. 

Bahkan di hari operasi yang ditunggu Delila ibunya juga tak hadir, baik sebelum maupun sesudahnya. Sehari setelah matanya dapat melihat barulah ia berani bertanya, pada orang-orang yayasan yang membantu operasi matanya itu. Ke mana gerangan perginya sang Ibu?

Bersamaan dengan terjawabnya pertanyaan Delila, tak henti pula cucuran air matanya. Ternyata ada yang ia lupakan selama ini, mendoakan baik-baik tentang ibunya. Ia teramat mencintai matanya, ketimbang ibunya yang selalu menjaganya. Kata mereka ibunya meninggal kecelakaan di malam saat Delila dikarantina. Di malam yang tanpa henti ia layangkan doa-doa baik kepada Tuhan untuk segera mendapat donor mata.

“Sebelum pergi, ibumu meminta dokter untuk mencangkokkan sepasang bola matanya padamu, Delila.” tambah seorang anggota yayasan yang Delila kenali melalui suaranya. Persis suara yang menyemangatinya saat ia mengamuk di rumah sebulan lalu. “Juga untuk tidak memberitahumu, sampai kau menanyakannya”.

Kali ini barulah ia percaya. Ayahnya tak pernah berdusta, jika gelap lebih baik dari warna-warni dunia. Penglihatan yang ia tunggu bertahun-tahun lalu serasa tak ada arti tanpa kehadiran ibunya. Hatinya dirundung mendung, tapi semua juga berkat keegoisannya. 

Delila memang tak lagi bisa menemui ibunya, tetapi ia yakin bahwa ibunya jauh lebih cantik dari segala yang ada di dunia, tanpa perlu membandingkan dengan bidadari atau kupu-kupu. Karena kecantikan sang ibu terpantul dalam sorot mata barunya, beserta segala pengorbanannya. Kecantikannya purna.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

CLOSE