Millenial yang terburuhkan, Berpeluh Ala Buruh yang Bekerja

Kita bisa memulai dari diri kita sendiri, sebelum mengajak orang lain. Maknai hidup tidak hanya untuk berburu rente, jadilah manusia sejati.

Saat aku membaca undangan untuk menulis pada sebuah media, aku teringat tentang perbincanganku dengan mahasiswa S2 kajian budaya dari kota Solo. Saat itu tema yang sedang asyik kami perbincangkan adalah tentang buruh, tepatnya masayarakat yang terburuhkan. Masyarakat modern yang lebih suka menjadi babu ketimbang menjadi dirinya sendiri.

Advertisement

Lalu apakah ada hubungan antara milenial dan terburuhkan tersebut? Keduanya adalah dua fenomena nyata yang ada di masyarakat saat ini, dan dianggap biasa oleh media, karena hidup di era saat ini diharuskan bergaya milenial, berpeluh ala buruh. Kerja, kerja, kerja biar bisa gaya. Sangat berkorelasi.

Menurut  William Strauss dan Neil Howe, milenial merupakan kelompok demografi yang lahir pada tahun 1980-1990-an hingga awal 2000-an atau saat ini bisa digambarkan bahwa usia produktif aktif merupakan generasi milenial. Didukung dengan pelbagai kemajuan di bidang IPTEK dan ideologi generasi milenial merupakan pribadi yang sangat terbuka, lebih mendukung akan kesetaraan hak, memiliki kepercayaan diri yang bagus, lebih ekspresif , liberal, optimis dan lebih menerima ide baru. Generasi inilah yang akan memimpin dunia pada dua dekade mendatang. Milenial juga dikenal sebagai generasi narsis daripada generasi sebelumnya. Narsis akan kebanggaan dan narsis untuk mempertahankan diri.  Dari sinilah bisa ditarik benang, kenapa milenial kini terburuhkan.

Dari sebuah penelitian yang berjudul Monitorig the Future, menunjukkan bahwa kekayaan sangat penting. Sekitar 75% generasi milenial menganggap bahwa harta adalah segalanya dalam menjalani hidup. Terbukti dari menurunnya angka kepedulian antar sesama dan lingkungan hidup dari 33% dari generasi X menjadi hanya 21% pada generasi milenial.

Advertisement

Proses hidup yang semakin cepat, dari tuntutan untuk bekerja, tuntutan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari hingga gaya yang harus dituruti membuat perilaku generasi milenial tak ubahnya seperti robot mekanik. Hal ini diperparah lagi dengan kurikulum pendidikan yang sepertinya tidak akan berubah konsepnya, hanya berubah namanya. Kurikulum yang lebih mementingkan nilai Ujian untuk lulus hingga anak-anak seusia sekolah berlomba-lomba untuk mempelajari setiap mata pelajaran agar menjadi yang terbaik lupa bahwa pada usia middle childhood mereka mempunyai tugas untuk bermain bersama membentuk organisasi diantara anak sebaya. Atau memang budaya sudah bergeser? Bahwa orang tua lebih nyaman melihat anaknya mendapat ranking 1 daripada bermain sepakbola di tanah lapang hingga adzan maghrib berkumandang? Kebiasaan-kebiasaan bersaing disekolah akan mengakibatkan perilaku kelak di usia dewasa.

Repot-repot cari duit, lalu untuk apa jika bekerja hanya untuk mencari duit lalu dihabiskan begitu saja? Gengsi? Gaya? Jika mereka ditanya pasti akan menjawab, “Untuk hidup lebih baik.” Mereka anggap hidup orang jaman dulu itu susah? Atau sama saja? Dulu orang makan tiwul senang-senang saja, tapi sekarang orang banyak makan daging justru banyak sedihnya. Kakek-nenek kita bisa menghadapi para penjajah dengan gagah berani, namun kita sebagai generasi milenial malah takut kalau tidak punya duit. Akhirnya segala cara dilakukan untuk mencari duit. Menipu, curang, menghalalkan segala cara hingga membunuh pun akan dilakukan jika dirasa perlu untuk mendapatkan duit. Benar-benar repot.

Advertisement

Jika hidup dimaknai dengan harta maka hidupmu akan berkembang, dalam sengkarut harta duniawi tersebut. Kita akan lupa bagaimana menjadi manusia seutuhnya. Manusia yang terus berkembang baik secara sosial, relijiusitas, spiritualitas dan aspek ekonomi sebagai penunjang keberlangsungan hidup, bukan tujuan hidup.

Sebagai generasi yang sudah terlanjur terburuhkan akan keadaan maka menebarkan kebaikan diantara sesama adalah jalan baik diantara jalan dunia yang begitu seram. Kembali menjadi seorang yang tangguh, tahan banting, berjiwa besar seperti kakek-nenek kita dulu menghadapi penjajah. Sudi untuk makan tiwul jika keadaan mendesak dan menjadi dermawan terhadap sesama. Kita bisa memulai dari diri kita sendiri, sebelum mengajak orang lain. Maknai hidup tidak hanya untuk berburu rente, jadilah manusia sejati.

Surakarta, 9 April 2019

Salam.

Boyak Ragadian Tambara.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

CLOSE