#MimpiMasaMuda-Untuk Menjadi Jurnalis, Aku Harus Sehat!

Sempat menyepelekan anemia, mimpi menjadi jurnalis hampir terkubur dalam ingatan!

Mimpi? Seingatku dulu, di saat teman-teman berteriak "aku ingin jadi dokter "aku ingin jadi pilot, aku mau jadi guru, aku mau jadi" dalam hati aku hanya mampu bergumam, "aku ingin bahagia" Ya rasanya hanya itulah mimpi terbesarku.

Advertisement

Hidup sebagai seorang anak perempuan yang tumbuh dengan segala keterbatasan, kekecewaan dan luka yang dalam, membuat masa mudaku tidak cukup stabil. Kendatipun demikian, aku tetap bersyukur telah melewati masa-masa itu. Namun, untuk bermimpi lagi ”ah, sudahlah”.

Setelah masa putih abu-abu berakhir, aku bertekad ingin melanjutkan pendidikan sebagai seorang jurnalis. Berawal dari kekagumanku pada seorang “Najwa Shihab” yang membuatku tak henti-hentinya berkhayal bahwa aku akan menjadi Najwa Shihab jilid 2. Singkat cerita, khayalan sepintas tersebut kemudian berubah menjadi sebuah mimpi dan tujuan hidup ku. Namun sayang, keinginan tersebut ditolak mentah-mentah oleh Bapak dengan alasan bahwa aku perempuan, nanti kerjanya susah dan beragam alasan lainnya yang tidak mampu terbantahkan.

Bapak menyarankan untuk memilih salah satu jurusan yang ada di Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, sebab tidak ada pilihan lain karena aku mendaftar digelombang terakhir. Aku lulus ujian masuk di jurusan Biologi, satu dari sekian bidang ilmu yang paling sering membuat ku mendengus kesal akibat pupusnya mimpi untuk menjadi jurnalis. Dunia perkuliahan yang ku jalani dengan setengah hati tersebut ternyata berdampak buruk terhadap kesehatanku.

Advertisement

Entah kapan pastinya aku merasakan bahwa tubuh ini tidak baik-baik saja. Selama menempuh pendidikan di Universitas Riau, aku berstatus sebagai anak rantau. Selama di negeri perantauan itulah, aku mengacaukan sistem kerja tubuh yang telah Tuhan ciptakan dengan sempurna. Jangankan makan-makanan bergizi, selain membayar kos bulanan, kiriman uang dari bapak ku habiskan hanya untuk menambah tumpukan buku yang ada di dalam kamar berukuran 2 x 3 m tersebut. Tak jarang dalam sehari lambung malang ini hanya dicekoki dengan semangkok bubur ayam bersama 1 buah  bakwan dan 1 buah tempe goreng.

Anehnya, hingga malam tiba aku masih tidak merasa lapar sehingga aku pikir ini baik-baik saja. Lambat laun, tubuh ini mulai menunjukkan kemurkaannya bermula dari kepala yang mulai pusing, mata berkunang-kunang dan terasa seperti melayang-layang.

Advertisement

Pernah suatu ketika, aku tiba-tiba terjatuh dengan keringat dingin dan jantung berdebar-debar, namun beberapa menit kemudian semua rasa tersebut menghilang. Meski bingung, aku tidak terlalu memusingkan hal tersebut dan mengabaikannya serta kembali menjalani aktifitas sebelumnya tanpa rasa ingin tahu yang lebih. Beberapa bulan kemudian, aku kembali merasakan hal yang sama namun dengan intensitas yang lebih kuat dan gejala tambahan lainnya seperti perut yang terasa sangat mual dan muntah secara terus menerus hingga tidak ada lagi yang bisa dikeluarkan.

Beberapa bulan berikutnya aku mulai merasakan gejala aneh lainnya yakni kepala yang teramat sakit namun hanya disatu sisi saja. Selain itu, mata ini juga terasa sangat sensitif terhadap cahaya dan suara. Dengan berbagai gejala-gejala aneh tersebut, aku mulai mencari-cari informasi di internet terkait apa yang sebenarnya terjadi pada tubuh ringkih ku ini. Dari hasil yang kubaca….. “ahh, cuma anemia rupanya” batin ku. 

Tanpa terasa 2 tahun sudah aku menjalani pola hidup yang makin memburuk. Dengan aktifitas kuliah yang padat, jangankan minum vitamin atau tablet tambah darah, untuk makan saja aku lakukan seadanya dan seingatnya saja. Menjelang sidang skripsi, tubuh dan otak terkuras maksimal namun masih tidak diiringi oleh asupan nutrisi yang baik dan istirahat yang cukup. Alhasil, seminggu menjelang sidang skripsi berlangsung, kepala ini tiba-tiba merasakan sakit yang amat sangat hebat, kemudian berputar-putar dan pada akhirnya tubuhku ambruk.

Beruntung, tubuh ini segera dibawa ke rumah sakit oleh teman-teman demi mendapatkan pertolongan medis secepatnya. Aku terbangun dan mendapati tangan ku telah terpasang selang infus. Di samping ku, terlihat wajah cemas Bapak saat mendengar diagnosa dokter bahwa aku menunjukkan gejala vertigo dan tipes. Mengingat anak perempuan sulungnya yang meninggal akibat tipes, Bapak langsung terduduk lemas dengan keringat yang mengucur deras dari pori-pori kulitnya yang keriput.

Setelah 2 hari kondisi ku membaik dokter memperbolehkan ku pulang. Di perjalanan bapak terus mengomeliku.  Ya beliau marah, aku begini sebab salah ku. Siang malam beliau bekerja keras agar hidupku baik. Tapi kenyataannya, uang saku yang beliau kirimkan ternyata habis hanya untuk menambah tumpukan-tumpukan buku yang beliau anggap tidak berguna. Dalam kemarahannya beliau selalu menyebutkan "kalau lemah begini, bagaimana mungkin bisa menjadi jurnalis”.

Aku tersentak mendengar perkataan Bapak tersebut. Dalam hati “gimana juga mau jadi jurnalis pak e, wong seminggu lagi aku resmi jadi sarjana biologi kok”. Meski kesal aku lebih memilih diam dan tak menjawab perkataan Bapak. Karena aku sadar ini juga salah ku. Dalam pantauan bapak, pola hidupku perlahan mulai berubah dan tentu saja kesehatanku pun membaik berkat asupan nutrisi dengan gizi yang seimbang. Walau kadang anemia masih datang menyerang, beruntung tidak sampai vertigo. Vertigo adalah tanda anemia kronik yang dapat disebabkan oleh kekurangan zat besi dan rendahnya penyerapan nutrisi. Vertigo ini sendiri biasanya ditandai dengan hilangnya keseimbangan tubuh akibat kurangnya pasokan oksigen ke dalam otak. Keluhan yang dialami dapat berupa sakit kepala yang hebat dan terasa berputar-putar, berkeringat hingga pingsan. Hm, kira-kira begitulah teori yang kubaca.    

Tahun 2013 lalu, aku akhirnya resmi bergelar ‘Sarjana Biologi’. Mimpi menjadi jurnalis telah terkubur hilang dalam ingatan. Sepeninggal bapak aku menjadi anak yatim piatu dan fokus hidup ku saat itu hanyalah bagaimana caranya agar aku bisa secepatnya bekerja dan menghasilkan uang agar tetap bisa makan. Hingga takdir kemudian memintaku untuk kembali merantau. Dan kalian tau, pola hidup ku kembali mengacaukan sistem kerja tubuhku dimana dokter akhirnya menjatuhkan vonisnya bahwa aku Vertigo Sentral yakni gangguan pada sistem saraf pusat yang berpotensi menyebabkan stroke atau kelumpuhan.

Membayangkan ibu, yang sepanjang hidup hingga akhir hayatnya menderita stroke, tubuhku mulai merinding. Dalam tekad yang bulat pelan-pelan aku mulai memperbaiki pola makan ku kembali dengan membuat daftar menu makanan yang telah ku sesuaikan gizinya serta tidak lupa membuat jam tidur lebih disiplin. Aku melewatkan supplement atau tablet tambah darah dan menggantinya dengan rutin mengkonsumsi buah dan sayuran hijau yang kaya akan vitamin dan mineral serta tinggi zat besi. Awal menjalani hidup tersebut cukup berat, terutama ketika aku merindukan nikmatnya pisang goreng, bakwan dan kawan-kawannya. Tapi apa daya dari pada aku harus menderita sepanjang hayat akibat lumpuh lebih baik aku tahan saja semua ini hingga terbiasa.

Alhamdulillah keterbiasaanku menjalani pola hidup yang baru tersebut juga ternyata berdampak pada kesehatan mentalku. Aku kembali mengingat-ingat lagi mimpi ku yang ingin menjadi jurnalis, ah rasanya sudah terlalu tua.

Aku mulai mencari-cari mimpi ku yang lain, berawal dari sesuatu yang ku sukai. Nah disini masalahnya, aku menyukai banyak hal tapi ketika aku mendalaminya aku buntu. Aku suka bernyanyi tapi suara ku terlalu kurang enak untuk didengar. Aku suka bermain gitar tapi hanya kunci dasar yang bisa ku andalkan. Aku suka melukis tapi hanya disaat-saat tertentu lukisan ku dapat dibaca. Aku suka memasak tapi tak pandai menebak rasa. Namun ketika aku menulis, pujian mulai berdatangan. "Penulis ? Bukankah Najwa Shihab juga penulis? Keren juga nih." pikirku.

Sebenarnya, sejak kuliah aku sudah terbiasa menulis laporan-laporan yang luar biasa bikin otak ku kembang-kempis. Dalam sehari, aku dipaksa harus menyelesaikan 3-4 laporan, belum lagi esay dan tugas presentasinya. Dengan jadwal siangnya yang sangat padat hingga kadang untuk napas saja mesti dipercepat, terpaksa aku menulisnya di tengah malam hingga azan subuh berkumandang. Sejak saat itu aku terbiasa menulis di tengah malam dan diwaktu itu pulalah inspirasi ku mengalir deras bak hujan di malam minggu yang bikin para jombloan bersorak horay.. hehehe

Setelah selesai masa studi pun aku masih tetap menulis. Ditengah malam tentunya. Walau kadang seperti baling-baling diatas bukit, kadang mengambang kadang melayang-layang bahkan kadang menghilang. Mungkin disebabkan oleh sifat aku yang moody buat aku tidak konsisten untuk menulis. Hingga akhirnya aku menikah, aku mulai dibangkitkan lagi oleh suami ku untuk menulis. Dan fokus tulisan kami ya tak jauh dari latar belakang kami sebagai scientiest. Namun bedanya sekarang aku tidak lagi bisa menulis di tengah malam sebab aku dipaksa ikut tidur oleh anak-anak ku.

Yah mau tidak mau aku harus mencari waktu lain. Setelah sekian lama bertualang, akhirnya ku putuskan bahwa setiap jam 4 sore aku harus menulis. Meski kadang mulut menguap-nguap dan kelopak mata turun-naik, namun tetap ku paksa otak ini untuk bangkit. Dan, Alhamdulillah otak beserta organ-organ tubuh lainnya mau bekerja sama dalam membantuku berkarya. Walau kadang harus ku sogok dengan segelas kopi pahit dan 3 potong donat.

Saat ini namaku telah termuat dalam baris daftar penulis di 3 buku antologi yakni “Agroforestry, Sebuah Pesan Dari Kenangan, dan Kelana”. Namun, pencapaian tersebut tidak serta-merta membuatku merasa puas. Mimpi menjadi jurnalis kembali melintas dalam lamunan. Apa mungkin aku masih bisa mewujudkan mimpi itu disaat umur ku sudah hampir setengah abad ?

Dalam kehampaan, suami menyadarkan ku bahwa tidak ada kata terlambat, “Mulailah menulis tentang fenomena sekitarmu. Dan ingat, janganlah hanya sekedar menulis lalu terbit buku. Tapi menulislah, dengan tulisan tersebut engkau mampu memberi manfaat bagi orang sekitar. Karena sejatinya seorang jurnalis bukan hanya mencari informasi dan mendapat royalti, namun bagaimana informasi tersebut mampu memberi arti bagi dirinya dan sesama.

Hingga hari ini aku masih berusaha untuk terus menulis tentang fenomena sosial yang terjadi di sekitarku. Meski tidak berada di bawah naungan media, mimpi masa mudaku menjadi seorang JURNALIS perlahan-lahan mulai nyata. Disamping terus belajar dan menempah diri, pengalaman juga menyadarkan ku bahwa peran gizi sangat berdampak besar dalam perjalanan ku mengejar mimpi. Sebab, bagaimana mungkin aku bisa menjadi Najwa Shihab jilid 2 jika terus abai pada kesehatanku. Tubuh yang sehat adalah modal menjadi manusia yang hebat. Oleh karena itu, aku harus sehat.

Nah, itulah sekilas cerita tentang #mimpimasamuda ku yang cukup mendewasakan diri ini.  Semoga menginspirasi. Terima kasih.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Terlahir di Pekanbaru Kota Bertuah, 28 tahun silam| Seorang ibu muda-berwajah flat, selalu terkesan cuek dan anti sosial padahal Si melankolis yang kadang sanguinis| Punya hobi bermain gitar, menulis, mengumpulkan sampah dan barang bekas| Pemerhati lingkungan hidup dan penggiat daur ulang limbah organic dan anorganik|Tercatat sebagai Alumni Biologi Universitas Riau Angkatan 2009| Jejaknya bisa dilacak melalui akun Instagram @namakuade. Kicauannya kadang terselip di akun Facebook Ade Rahmayanti. Tulisannya yang masih seumur jagung bisa dilihat di tintalusuhkemudian.blogspot.com.|

CLOSE