#MudaBerkarya – Bertahan Demi Merawat Mimpi dan Mewujudkan Harapan

Di masa lalu, saat masih mengenyam pendidikan menengah atas, saya punya keinginan untuk mengambil jurusan komunikasi publik. Jurusan itu amat asing untuk keluarga kami. Jurusannya hanya ada di Pulau Jawa, tempat yang amat jauh dalam memori keluarga kecil kami. Sementara di pulau tempat kami menetap hanya memiliki Fakultas Pendidikan dan Kesehatan. Niat itu pun kandas. Tak bisa diwujudkan. Ia terlebih dulu ditikam kemiskinan. Selebihnya tak perlu dibeberkan di dalam catatan ini terkait alasannya.

Advertisement

Pilihan terakhir usai menamatkan pendidikan menengah atas yakni dengan mengambil Fakultas Pendidikan. Saya melanjutkan pendidikan tinggi di ujung barat Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur. Jurusan yang diambil Pendidikan Guru Sekolah Dasar. Tujuannya untuk menjadi Guru SD, sama seperti profesi dari ayah dan kakak sulung di dalam keluarga kami.

Awal perkuliahan, di sembilan tahun lalu, saya bergabung dengan teman-teman dari ragam budaya berbeda. Berbekal dukungan dari kedua orang tua dan keluarga besar, saya percaya diri melangkah ke dunia kampus.

Selama perkuliahan kedua orang tua mewanti-wanti saya agar lulus tepat waktu, pesan yang kerap terngiang di dalam ingatan. Mereka selalu menitipkan pesan yang sama saat lagi berbagi kabar via telepon.

Advertisement

Semenjak masuk kuliah pelbagai aktivitas kampus berjalan bersama waktu. Awal perkuliahan kelampau santai, terasa memberatkan di semester akhir, semester-semester tidak enak. Namanya kuliah tentu tak muluk-muluk amat, kerikil-kerikil tajam menghadang ayunan langkah di setiap hari, hambatan selalu datang setua perjalanan mewujudkan harapan.

Saban bulan kedua orangtua saya mengirim uang bulanan pas-pasan. Saya tak dapat memaksa seturut kemauan diri. Apalagi biaya perkuliahan di kampus saya tidaklah sedikit, namanya kampus swasta. Bayaran setiap semester sangat mahal. Amat tidak elok kalau meminta uang bulanan sesuai keinginan diri.

Advertisement

Selama perkuliahan berjalan dan untuk biaya tambahan, saya terkadang mengambil kerjaan dadakan yang diadakan oleh lembaga non-profit. Pekerjaan menjadi enumerator dengan masa kerja yang singkat dan fleksibel, tetapi dengan bayaran besar selalu diembat. Kerap kali pekerjaan-pekerjaan tersebut menambah sedikit pundi-pundi rupiah, agar tidak melulu membebankan orang tua.

Bukan hanya mencari kerjaan semata, selama kuliah, kadang saya mengikuti ragam perlombaan. Niatnya untuk meraih juara, bonusnya mendapatkan uang. Terkadang bernasib untung, lainnya bernasib buntung. Namanya proses. Saya dua kali mendapatkan juara menulis artikel di tingkat kampus, hadiahnya lumayan menggairahkan.

Perkuliahan terus berlanjut. Masa-masa itu akses internet tidak sebagus sekarang. Warnet (warung internet) menjadi salah satu andalan dari mahasiswa untuk mengakses ilmu pengetahuan. Tempat kami kuliah, jumlah warnetnya tidak banyak. Jumlahnya dapat dihitung dengan jari. Kami kerap antre saat hendak menggunakan jasa warnet.

Pada semester lima, semangat yang ada dalam diri untuk mengakses ilmu pengetahuan amat bergelora. Pelbagai kegiatan ilmiah diikut. Bagi saya, diskusi akademik di kampus memiliki magnet tersendiri, saya sering menjadi peserta. Beruntung di dalam beberapa kesempatan, saya kerap didaulat menjadi moderator. Sungguh sebuah kesempatan yang istimewa.

Selain aktif di kampus, saya turut terlibat dalam organisasi ekstra kampus. Pilihannya bergabung dengan organisasi kemahasiswaan nasional. Masa-masa berproses di dalam organisasi itu, kami dibentur dan dibentuk dari berbagai disiplin ilmu. Proses di dalamnya cukup lekat dengan rutinitas akademik, misalnya diskusi, debat, menulis dan bedah buku, kesempatan berharga dalam ziarah intelektual mahasiswa.

Iklim ilmiah organisasi ekstra kampus turut mempengaruhi minat baca di dalam diri saya. Awal-awal kuliah yang tak akrab dengan membaca, perlahan lentur saat sudah berproses di dalam wadah kemahasiswaan itu. Saya kerap kali menyisihkan uang bulanan untuk membeli buku, meski untuk mendapatkannya ditebus dengan harga yang selangit. Pelbagai buku dibeli. Sebagaian besar buku-buku bertema nasionalisme dan fiksi.

Berita baiknya, saat-saat bergabung di dalam organisasi kemahasiswaan turut mengurangi beban dari kedua orangtua di rumah. Ceritanya organisasi itu memiliki sekretariat organisasi. Anggota oganisasi diperbolehkan untuk tinggal di sekretariat. Saya termasuk salah satu mahasiswa yang memilih untuk tinggal di sekretariat. Dengan begitu, biaya makan dan uang kos-kosan dipangkas. Organisasi yang tanggung. Saya memilih tinggal dan terus berproses di dalamnya dari waktu ke waktu.

Waktu terus berlalu, masa –masa perkuliahan terus berlanjut. Semester akhir di depan mata. Sebelum menyelesaikan skripsi, mahasiswa keguruan terlebih dulu dikirim ke sekolah selama tiga bulan. Tujuannya untuk magang dan mengajar di dalam kelas. Istilahnya PPL. Saya bersama tiga orang teman mengajar di tempat Ayah mengajar, kebetulan saat itu ia menjabat sebagai Kepala Sekolah.

Setelah magang selesai, kami kembali ke lingkungan kampus. Program studi kami membagi pembimbing skripsi. Saya mulai merangkai kata demi kata untuk menyusun skripsi. Acapkali saat konsultasi dengan pembimbing kerap menemukan jalan buntu. Ada-ada saja yang dicoret. Saya terus bertahan, melihat sisi yang kurang dari skripsi tersebut, sembari memperbaiki kekurangan yang ada sesuai harapan dari pembimbing.

Penyusunan skripsi berjalan dengan mulus. Sidang skripsi pun berlangsung. Meski dibantai oleh penguji, paling tidak karya ilmiah yang telah saya kerjakan, dapat dipertanggungjawabkan. Dari itu semua, hal yang teramat penting, kuliah saya tepat waktu. Jumlah semesternya pas, harapan dari kedua orangtua di rumah terpenuhi. Semesta memang sering memberikan kejutan bagi jiwa-jiwa yang kuat dalam merintis jalan panjang di dalam kehidupan.

Saat diwisudakan, kedua orang tua saya hadir. Mama meneteskan air mata, Papa juga begitu. Jiwa laki-lakinya goyah. Mereka telah mengantar saya sampai di depan pintu akhir pendidikan tinggi. Seketika saya memadahkan puji syukur atas kebaikan Tuhan serta kedua orang tua yang telah mendukung saya.

Sekarang saya sadar, bertahan dalam keadaan memang harus dilakukan oleh siapapun. Asalkan selama bertahan, kita terus merawat harapan tanpa henti. Jangan cepat mengangkat tangan, tetapi terus terbang tinggi meraih angan.

Kawan-kawan pembaca Hipwee yang budiman, teruslah bertahan menuju harapan. Hanya dengan bertahan, kita akan menjadi sang juara. Terus bertahan merawat mimpi-mimpimu. Semangat!

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Pecinta Kopi Colol dan Sopi Kobok. Tinggal di Manggarai Timur, Flores. Amat mencintai tenunan Mama-mama di Bumi Flobamora.

CLOSE