[CERPEN] Laki-laki Biasa itu Bernama Ifan Ibrahim (Part I)

Cerpen Laki-laki Biasa itu Bernama Ifan Ibrahim (Part I)

Namanya, Ifan Ibrahim.

Advertisement

Tidak ada yang spesial dari laki-laki ini. Tidak ada yang spesial dari parasnya, dari dirinya, dari gesturnya, dari caranya berbicara, maupun dari caranya menatap lawan bicaranya.

Semuanya biasa saja.

Berawal dari pertemuan pertama saat dia menjadi karyawan baru di kantorku, di salah satu perusahaan konstruksi di daerah Kuta Mandalika, Nusa Tenggara Barat.

Advertisement

Sebuah rumah milik kepala desa yang disulap menjadi kantor konstruksi yang tata letaknya diatur sedemikian rupa sehingga menjadi hunian kantor yang nyaman. Yang tidak terlalu formal, tidak terlalu mengikat, namun masing-masing karyawannya tetap memiliki aturan yang harus dipatuhi dan dijalankan. Tetap profesional.

“Teman-teman, hari kantor kita kedatangan teman baru, yang akan bantu Pak Rizki selaku Accounting Manager untuk jadi adminnya. Namanya mas Ifan” ujar mbak Fina, HRD di kantorku.

Advertisement

“Mas Ifan, kenalin, ini yang di ruang tengah sini ruangan QS (Quantity Survey), yang ini namanya Wahyu". Ifan dan Wahyu berjabat tangan memperkenalkan diri masing-masing. Disusul dengan Reza, Teguh, Fani, Desi, dan terakhir aku. Selesai dia menyalami masing-masing dari kami dia kembali ke tempatnya berdiri, di samping Pak Rizki.

Ruangan accounting terletak di paling pojok. Sedangkan mejaku, Project Admin, tidak di dalam ruangan, melainkan di ruang tengah utama tempat dimana anak-anak QS lain berkumpul.

Dua minggu berselang, semua berjalan biasa saja. Anak baru di kantorku ini ternyata memang pendiam sekali. Dia lebih memilih menghabiskan waktunya di dalam ruangannya bersama Pak Rizki dibanding dengan berkumpul bersama kita-kita para anak muda.

Tidak seperti Wahyu, Reza, Teguh yang masih bisa membaur sesekali bercanda dengan anak-anak perempuan yang memang jumlahnya minoritas. Cuma 4 orang, dari seluruh karyawan di kantorku.

Tapi anak baru itu, tidak. Entah mungkin karena dia berpikir dia masih baru di kantor jadi harus jaga image. Menyesuaikan dengan medan di sekitarnya, sambil mempelajari perilaku dan anatomi makhluk hidup yang ada di lingkungan barunya. Dia betah di dalam ruangan entah apa yang dikerjakan.

Sebagai pribadi yang dinilai paling rame di kantor, paling heboh, dan paling ribut karena memang suaraku adalah yang paling keras di kantor, tiba-tiba aku penasaran dengan laki-laki itu. Dia satu-satunya yang paling tidak banyak ngomong di kantor. Tidak banyak interaksi dengan yang lain. Ngobrol seperlunya dengan rekan kerja kalau memang ada keperluan kerjaan, selebihnya tidak.

Dan aku, jadi perempuan kedua yang mengajaknya ngobrol. Yang pertama tentu mbak Fina, HRD kantorku yang tentu punya banyak kepentingan kerjaan dengan dia.

Sebenarnya aku tidak ingin mengobrol dengannya. Hanya bermaksud menggodanya dengan memanggil namanya berulang-ulang. Dengan nada panggil  yang khas, yang akhirnya ditiru oleh semua orang kantor saat ingin memanggilnya.

“Mas Ifaaaaaaan!” kataku setengah berteriak dari ruang tengah.

Dia menjawab “Iya nyaaaaahhhhhh” sambil setengah teriak pula.

Itu jawaban yang selalu dia ucap ketika ada siapapun yang memanggil namanya dengan nada sepertiku memanggilnya.

Aku menghampirinya di ruangan “Ngapain sih?! Sok sibuk bener, diem-diem bae! Bergaul woy sama temen-temen! Ngobrol!” Kataku.

“Dilah, kamu jangan gangguin Ifan deh. Dia udah nikah!” Pak Rizki menimpali.

“Ya terus kenapa coba kalo udah nikah? Kan aku cuma suruh mas Ifan bergaul sama temen-temen lainnya, bukan mau kusuruh nikahin aku” jawabku.

Pak Rizki tertawa, disusul dia.

Dia tertawa terbahak untuk pertama kalinya. Tertawa yang lepas. Tidak dibuat-buat. Tertawa yang tanpa rekayasa.

Dan tawa itu muncul, karenaku.

Melihatnya bisa tertawa sedemikian, hatiku hangat. Tiba-tiba pipiku memerah. Ada degup asing yang tidak biasa di dalam dada sana. Belum terdefinisi.

Aku undur diri dari ruang accounting. “Mau kemana?” kata Pak Rizki.

“Balik ke meja! Lama-lama disini nanti mas Ifan keganggu” jawabku.

“Eh, gak apa-apa, gangguin aja. Biar seru” katanya sambil tersenyum melihatku.

Entah hanya sekadar melihat atau dia memandangiku. Matanya masih berbinar selepas tawanya yang meledak tadi.

Hari berganti, minggu berjalan, bulan berubah.

Beberapa bulan setelah dia masuk di kantor kami, dia sudah bisa mulai membaur dengan karyawan lain. Sudah bisa mengobrol, basa-basi, bukan hanya sekedar keperluan pekerjaan. Dia, sudah bisa berinteraksi dengan teman-teman yang lain. Sudah bisa lebih sering tertawa, dan sudah bisa lebih sering keluar dari ruang accounting tempatnya berdiam. Singkat cerita, dia sudah tidak pendiam lagi.

Sampai saat ini pun, semuanya masih berjalan biasa saja. Sebagaimana seharusnya. 

Tidak ada yang berbeda. Tidak ada yang berubah. Dan sama sekali belum ada kejadian tidak biasa yang terjadi.

To be continued…

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Penikmat keju. Penggila kafein. Penyuka hujan. Pecandu laut, dan kamu.

CLOSE