[CERPEN] Ayahku Masuk dalam Daftar Calon Korban

Dini hari 30 September 1965 atau 1 Oktober 1965, di Lubang Buaya, Jakarta Timur terjadi peristiwa mengharukan.

Dini hari 20 September 1965 atau 1 Oktober 1965, di Lubang Buaya, Jakarta Timur, peristiwa mengharukan dan mengenaskan, juga berbau teror, telah terjadi. Tujuh manusia dikubur setelah mengalami penyiksaan yang tak terperi. Sumur tua menjadi saksi bisu. Enam jenderal Angkatan Darat dan satu kapten dibunuh secara keji oleh orang-orang yang kemudian kita ketahui sebagai Gerakan 30 September.

Para korban kita kenal sebagai Pahlawan Revolusi. Mereka adalah Jenderal Ahmad Yani, Letjen Suprapto, Letjen Haryono, Letjen S. Parman, Mayjen Pandjaitan, Mayjen Sutoyo, dan Kapten Piere Tendean. Di Jakarta, sebelumnya juga telah jatuh korban, anggota polisi AIP Karel satsuit Tubun. Di Jogjakarta, jatuh korban Brigjen Katamsod dan Kolonel Sugiono. Revolusi memangsa anak-anaknya sendiri.

Kedatangan Tamu

Ketika peristiwa itu terjadi, saya masih bocah berusia tujuh tahun. Kelas satu Sekolah Dasar (SD) di sebuah desa di Jawa tengah. Saya tahu di Jakarta telah terjadi "goro-goro" pada 30  September 1965 dini hari, dari koran yang dilanggan ayah. Di halaman pertama terpampang korban pembantaian.

Beberapa bulan sebelumnya  ayah pernah kedatangan tamu. Malam hari. Dua orang. Mereka ini anak buah ayah. Pegawai pasar di desa yang merangkap kecamatan. Ayah menjabat kepala pasar.

Anak buah ayah merupakan pengurus Partai Komunis Indonesia (PKI) di tingkat ranting. Ayah saya pengurus ranting Muhammadiyah. Meskipun demikian, hubungan personal tetap berlangsung normal dan elegan. Selain itu, sikap ayah juga moderat.

"Jika nanti terjadi perubahan kepemimpinan di pemerintahan, bagaimana sikap Bapak?" Tanya anak buah ayah.

"Saya akan mengikuti dan tunduk kepada siapa pun yang akan memerintah di negeri ini," jawab ayah.

Setelah peristiwa tragedi 30 September 1965 terjadi, ayah bercerita bahwa ayah masuk dalam daftar orang-orang yang akan "dihabisi". Namun, karena jawaban yang melegakan mereka, ayah tak mengalami peristiwa yang menyakitkan. Takdir berkata lain.

Hari-hari sebelumnya, di jalan yang sepi ayah juga pernah dihadang oleh beberapa pemuda anggota Pemuda Rakyat (PR) yang menjadi underbouw PKI, ketika pulang setelah selesai shalat isak di masjid di dekat rumah. Akan tetapi, beberapa pemuda anggota Muhammadiyah dan Ikatan Pemuda Nahdatul Ulama (IPNU) yang mengawal ayah dapat menggagalkan penghadangan ini.

Situasi pada saat itu seperti api dalam sekam. Sewaktu-waktu bisa diramalkan akan terjadi peristiwa mengguncangkan anak bangsa. Lintang atau bintang kemukus tampak di langit malam. Seperti memberikan sinyal. Apakah akan terjadi perang saudara? Rupanya darah benar-benar tertumpah.

Antiklimaks PKI

Pendulum jam dinding berputar terbalik. Peristiwa berdarah 30 September 1965 di Jakarta, menjadi antiklimaks bagi PKI. Belum sempat bergerak menghabisi lawan-lawan politiknya, di daerah kampung halaman saya, orang-orang PKI ditangkapi tentara.

Sebagian dapat meloloskan diri, kemudian bergabung dengan Mbah Suro di Randublatung, dekat Blora, Jawa tengah. Sebagian lagi lari ke ke Blitar Selatan, Jawa Timur. Mereka melakukan perlawanan di sana. Meskipun akhirnya mereka dapat dtangkap dan ditumpas.

Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD), sekarang Kopasus, masuk ke desa saya. Para pemuda bukan anggota dan simpatisan PKI dilatih baris berbaris, menggunakan senjata (meski cuma dengan senjata laras panjang replika), dan meronda pada malam-malam mencemaskan dan menggelisahkan.

Pemuda Barisan Srbaguna (Banser) milik NU dan pemuda Muhammadiyah berjaga-jaga pada malam hari di gedung tempat orang-orang — baik yang jelas-jelas maupun yang diduga — pengurus, anggota, dan simpatisan PKI, ditahan.

Saya mendengar bahwa para pentolan PKI dipenjara di Nusakambangan. Namun, yang lebih menggetarkan adalah ketika pada setiap tengah malam, saya mendengar deru truk tentara yang lewat di depan rumah. Pagi hari saya mendengar kabar bahwa orang-orang PKI dieksekusi di hutan jati yang sepi.

Adakah darah orang-orang yang tak bersalah karena buta buta politik atau korban balas dendam, juga tertumpah di hutan  yang sunyi? Atau mungkin revolusi meminta tumbal nyawa orang-orang tak berdosa?

Cibinong, 29 September 2019

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Penulis dan pensiunan guru SMP di DKI Jakarta. Dengan suka hati menulis artikel, cerpen, dan puisi di media massa cetak, media online, dan media sosial. Menulis buku puisi Mik Kita Mira Zaini dan Lisa yang Menunggu Lelaki Datang (2018). Selain itu, juga menulis buku nonfiksi Strategi Menulis Artikel Ilmiah Populer di Bidang Pendidikan sebagai Pengembangan Profesi Guru (2018) Tinggal di Cibinong, Kabupaten Bogor, Jawa Barat.