Mengenal Nomophobia, Ketika Seseorang Tidak Dapat Hidup Tanpa Smartphone

Nomophobia

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknlogi (IPTEK) di era revolusi industri 4.0 telah mengalami kemajuan yang sangat pesat. Sehingga tidak dapat dipungkiri bahwa hampir seluruh aktivitas manusia di berbagai bidang tergantikan oleh teknologi. Tentunya hal tersebut membuat aktivitas manusia berjalan dengan lebih cepat dan efisien. Namun, di samping itu tahukah kamu bahwa ternyata teknologi juga dapat memberikan dampak buruk bagi manusia?

Advertisement

Salah satu teknologi yang mengalami bahkan selalu berkembang pesat adalah smartphone. Dalam kehidupan nyata, kita sering menjumpai hampir setiap orang mulai dari kalangan anak-anak hingga orang tua telah memiliki smartphone. Pemanfaatannya pun juga sangat bervariatif, mulai dari sebagai sarana hiburan, interaksi sosial, sumber informasi, seperti berita, pendidikan, maupun lowongan pekerjaan, sarana jual beli melalui media online, dan masih banyak lagi. Kondisi ini menunjukkan bahwa smartphone telah mampu memenuhi kebutuhan manusia melalui fitur-fitur canggih yang ditawarkannya.

Kebutuhan manusia tidak hanya bervariatif, tetapi juga terus berkembang seiring dengan perkembangan zaman. Kita sekarang hidup di zaman digital, dimana teknologi digital memiliki peran dominan di dalamnya. Terlebih lagi kemunculan pandemi Covid-19  yang melanda kehidupan mengakibatkan semua aktivitas manusia dialihkan ke dalam jaringan (daring). Hal tersebut membuat smartphone semakin berperan penting dalam menunjang segala aktivitas manusia. Akibatnya setiap orang menjadi semakin intens dalam menggunakan smartphone. Semakin kita intens dalam menggunakan smartphone, maka semakin tinggi pula risiko kita memiliki adiksi terhadap smartphone.   

Dilansir dari laman Business Insider (1/8/2014), menurut Dr. David Greenfield, Asisten Profesor Klinis Psikiatri di Fakultas Kedokteran Universitas Connecticut, adiksi smartphone mirip dengan adiksi yang lain karena melibatkan disregulasi dopamine. Dopamine adalah neurotransmitter yang mengatur pusat penghargaan otak sehingga memotivasi seseorang untuk melakukan hal-hal yang menurutnya akan dihargai. Oleh karena itu, setiap kali kita mendapat notifikasi dari ponsel, saat itulah dopamine mengalami sedikit peningkatan, sehingga membuat kita merasa bahwa notifikasi tersebut adalah sesuatu yang menarik.

Advertisement

Anshari, Alas, & Sulaiman (2019) juga menyatakan bahwa smartphone menciptakan hadiah instan yang dapat memunculkan sensasi atau rasa cemas ketika seseorang mendapatkan notifikasi. Ketika ia mendapatkan notifikasi dari smartphone-nya, teks merupakan hadiah yang baru saja ia dapatkan. Jadi, notifikasi tersebut adalah hadiah, sedangkan smartphone adalah yang menawarkan hadiah itu.

Ketika kita mengetahui hal yang menarik, tentu saja kita akan terdorong untuk mencari tahu hal tersebut. Sama halnya ketika kita mendapat notifikasi dari smartphone, secara refleks kita tidak akan sabar untuk segera membukanya dan mencari tahu apa isi dari notifikasi tersebut.   

Advertisement

Adiksi terhadap smartphone ternyata juga dapat terindikasi melalui kejadian-kejadian yang sering kita lihat atau bahkan tindakan-tindakan yang sering kita lakukan. Namun, terkadang kita tidak menyadarinya. Indikasi tersebut dapat berupa memainkan smartphone ketika sedang di-charge, memainkan smartphone sebelum tidur, smartphone menjadi benda pertama yang dibuka sesudah bangun tidur, dan sering mengecek ada tidaknya notifikasi pada smartphone. Pertanyaannya apakah kamu pernah melakukan tindakan-tindakan tersebut atau menemui kejadian-kejadian tersebut? Jika iya, maka kemungkinan kamu atau orang tersebut memiliki adiksi terhadap smartphone.

Seseorang yang telah memiliki adiksi smartphone menyebabkan ia sulit untuk melepas benda tersebut dari genggamannya. Bahkan dampak terburuknya muncul suatu ketakutan atau kegelisahan ketika ia dijauhkan dari smartphone. Hal ini dikenal dengan istilah Nomophobia (no-mobile-phone phobia). Apa itu?    

Sebuah artikel berjudul Nomophobia: An Individual’s Growing Fear of Being without a Smartphone—A Systematic Literature Review yang dipublikasikan melalui International Journal of Environmental Research and Public Health (2020), menjelaskan bahwa istilah Nomophobia berasal dari Inggris dan merupakan hasil konjungsi “non-mobile” yang dikombinasikan dengan “phobia”, yaitu ketakutan, kecemasan, dan ketidaknyamanan karena tidak memiliki perangkat seluler pada saat tertentu atau tidak memiliki akses ke perangkat seluler saat diperlukan.

Menurut Yildirim & Correia (Garcia, Guererro, & Belmonte, 2020) Nomophobia terdiri dari empat dimensi utama, yaitu ketakutan atau kegugupan karena tidak dapat berkomunikasi dengan orang lain, ketakutan tidak bisa terhubung, ketakutan tidak dapat memiliki akses langsung ke informasi, dan ketakutan akan penolakan kenyamanan yang diberikan oleh perangkat seluler. Pertanyaannya, selama ini apakah ketakutan-ketakutan tersebut pernah muncul dalam dirimu ketika jauh dari smartphone? Jika iya, kemungkinan kamu mengidap Nomophobia.  

Nomophobia juga dapat berpengaruh terhadap perubahan perilaku seseorang. Hal ini dibuktikan oleh sebuah studi yang dilakukan oleh Anshari, Alas, & Sulaiman (2019) terhadap 230 anak muda, yaitu mahasiswa tahun pertama mengenai Nomophobia menunjukkan bahwa terdapat korelasi yang kuat antara perasaan pribadi dan interaksi smartphone. Seseorang yang memiliki Nomophobia akan mengalami kecemasan sosial dan menjadi tertutup, sehingga ia tidak dapat mengekspresikan perasaannya secara langsung dan memilih mengungkapkannya melalui media sosial. Hal tersebut dapat memicu timbulnya gangguan obsesif-kompulsif (OCD) terhadap ponsel. Selain itu, seseorang yang memiliki Nomophobia dapat menjadi antisosial yang berdampak pada kesulitan mencari teman. Akibatnya ia merasa kesepian bahkan stres karena hanya dapat berkomunikasi melalui ponsel.  

Nomophobia merupakan sebuah ketakutan yang muncul di tengah perkembangan teknologi digital yang sangat pesat, sehingga nomophobia dipandang sebagai fobia yang bersifat kontemporer. Oleh karena itu, fobia ini tentu berbeda dengan fobia pada umumnya yang hanya dialami oleh orang-orang tertentu.

Nomophobia dapat diderita oleh siapa saja, mengingat hampir setiap orang di seluruh dunia memiliki smartphone, terutama mereka yang memiliki tingkat intensitas tinggi dalam menggunakan smartphone. Lalu bagaimana cara yang dapat kita lakukan agar terhindar dari phobia ini? 

Menurut Anshari, Alas, & Sulaiman (2019), beberapa cara untuk mengatasi nomophobia yaitu: pertama, membatasi penggunaan smartphone dengan menetapkan batasan phone-free zones (Anshari, Alas, Jaidin, Smith, & Ahad, 2016). Kedua, melakukan percakapan dengan orang-orang di kehidupan nyata. Ketiga, menemukan hobi baru yang tidak melibatkan penggunaan ponsel, seperti membaca buku, melukis, memasak, atau berkebun. Keempat, mengubah aktivitas bermain ponsel di waktu senggang dengan aktivitas lain, misalnya berolahraga. Akan tetapi, jika Nomophobia yang diderita seseorang bersifat kronis, maka langkah yang terbaik adalah melakukan konseling dengan psikiater.

Kita memang hidup di era digital, namun jangan sampai teknologi menjadi pengendali bahkan penjajah kehidupan kita.  

So, let's use technology wisely!

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Editor

Not that millennial in digital era.

CLOSE