Indonesia merupakan negara yang dikenal memiliki berbagai macam suku, budaya dan adat istiadat. Adanya perbedaan suku, budaya dan adat istiadat ini menjadikan Indonesia sebagai negara dengan kearifan lokal yang beragam. Kearifan lokal merupakan bagian dari budaya suatu masyarakat yang diyakini diwariskan secara turun temurun.
Sebagai masyarakat yang berbudaya, nilai dan norma memiliki kaitan penting dalam kehidupan bersosial. Adanya nilai dan norma ini mampu memberikan tuntutan atau sebagai tolak ukur dari tindakan seseorang. Seperti yang dikatakan Risyad (2018), adanya norma ini mampu mendorong seseorang untuk berbuat baik dan sopan santun serta beretika.
Pamali merupakan sebuah fenomena di masyarakat sunda yang pada dasarnya tidak terbentuk secara tertulis. Pamali adalah salah satu kearifan lokal yang dibuat oleh masyarakat melalui pengalaman-pengalaman yang diintegrasikan dalam larangan atau sebuah peraturan. Pamali ini sudah ada sejak zaman dahulu.
Beberapa orang menganggap aturan atau larangan dalam pamali adalah sebuah mitos belaka. Pamali bertujuan untuk mendidik. Namun beberapa orang menganggap bahwa pamali ini sebagai aturan atau larangan yang ditujukkan untuk menakut-nakuti anak kecil zaman dahulu agar tidak membantah ucapan orang tua. Mereka beranggapan bahwa dengan adanya pamali mereka dapat membentuk tindakan yang sesuai dengan nilai dan norma terlepas dari kepercayaan terkait mitos atau faktanya.
Seiring berkembangnya zaman serta perubahan pola pikir, aturan atau larangan pamali dianggap mitos oleh sebagian orang. Namun sebagian masyarakat sunda tetap masih menggunakan aturan atau larangan pamali. Mereka beranggapan beberapa aturan tersebut memiliki nilai dan norma positif bagi keberlangsungan kehidupan bersosial. Beberapa pamali yang ada di masyarakat sunda, yaitu :
1. Ulah kaluar imah sareupna
Pamali ini berhubungan dengan aturan jangan pergi keluar malam-malam atau segera pulang sebelum magrib. Jika mereka tidak pulang sebelum magrib nanti diculik setan atau jin. Namun pada dasarnya hal ini dilakukan untuk menahan anak-anak supaya beristirahat di malam hari.
2. Ulah cicing di lawang panto
Pamali ini merupakan pamali yang sering didengar di banyak daerah di Jawa. Katanya anak gadis perempuan yang belum menikah dilarang duduk di depan pintu. Dikhawatirkan akan mempersulit datangnya jodoh.
Sebagian dari masyarakat juga beranggapan bahwa duduk didepan pintu dapat membuat sakit karena pintu adalah akses jalan makhluk halus. Terlepas dari hal itu, aturan atau larangan pamali ini memberikan pengertian secara logika bahwa ketika seseorang duduk didepan pintu itu akan menghalangi akses orang keluar masuk rumah atau mengganggu mobilisasi orang rumah.
3. Ulah sok sasapu wengi-wengi
Dikatakan bahwa ketika seseorang menyapu pada malam hari itu akan membuang yang ada di dalam rumah sehingga mendatangkan kesusahan pada diri.
4. Ulah muka payung di jero imah
Ada yang beranggapan bahwa ketika membuka payung di dalam rumah akan mendatangkan musibah bagi orang yang ada di dalam rumah tersebut.
5. Ulah sok calik dina bantal
Kata orang dulu, duduk di bantal itu akan menimbulkan bisulan. Namun pada logikanya aturan atau larangan ini berguna untuk memunculkan etika sopan santun anak agar tidak menduduki tempat kepala.
6. Ulah dahar bari ceplak
Pamali ini berisi larangan untuk tidak mengeluarkan suara dari lidah dan mulut ketika makan, karena hal ini akan membuat orang sekitar tidak nyaman dan menjadi bahan pembicaraan negatif orang sekitar.
7. Ulah hudang beurang
Pamali ini berisi kata ibu yang sering dilontarkan kepada anaknya. Pamali ini memberi pengertian bahwa kita harus rajin dan giat di pagi hari.
Munculnya pamali sebagai larangan adalah bentuk efektif untuk menakut-nakuti anak-anak. Namun dengan seiring berjalannya waktu pamali ini sudah tidak efektif bagi generasi modern. Adanya pola pikir kritis membuat mereka berpikir bahwa semua bentuk pamali adalah aturan atau larangan yang dapat mereka telusuri kebenarannya sehingga tidak ada hubungannya dengan kehidupan sehari-hari.
Sebagian dari mereka beranggapan bentuk aturan atau larangan pamali ini harus dilestarikan. Mereka tetap menginginkan pamali diturunkan secara turun temurun di setiap generasinya untuk tetap menjaga budaya Indonesia yang penuh dengan kearifan lokal karena keragaman, kemakmuran, serta ketatakramaannya.
Dari penjelasan di atas, ditemukan bahwa adanya budaya dan presepsi dalam pelaksanaan aturan atau larangan pamali dalam kehidupan sehari-hari. Karena pola pikir generasi modern yang berubah mengakibatkan sudut pandang yang berbeda. Mereka beranggapan pamali tidak mempengaruhi kehidupan sosial mereka. Meskipun demikian, sebagian besar dari mereka juga setuju bahwa pamali harus tetap dijaga, dilestarikan, dan diwariskan.
Sumber:
Syarubany, A. H., Azzahra, M. P., Rahayu, R. S., &ampampamp Prayoga, S. (2021). Rantelino, H. (2015, Februari 3). Ruhimat. (2021, Maret 21).
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”